, , ,

Catatan 2015 : Tata Kelola Alam Masih Perlu Banyak Pembenahan

Tahun 2015, segera berlalu. Sepanjang tahun ini, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan Walhi Jawa Barat, menilai masih banyak catatan hitam pengelolaan alam dan lingkungan hidup di negeri ini. Dari Sumatera Utara, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser juga memaparkan berbagai kasus, terutama soal perburuan dan perdagangan satwa yang terus marak. Salah satu penyebab, karena aturan hukum lemah hingga UU harus direvisi.

Catatan kritis ICEL menyoroti beberapa aspek, seperti sektor kehutanan dan lahan, sampai pencemaran. Citra Hartati, Divisi Hutan dan Lahan ICEL mengatakan, tata kelola hutan dan lahan tak kunjung membaik. Hasil penelitian Indeks Kelola Hutan dan Lahan Daerah (IKHL) oleh ICEL dan Seknas Fitra 2015 di 16 Kabupaten, antara lain Kubu Raya, Malinau, Kutai Kartanegara, Kapuas Hulu, Kayong Utara, Muara Enim, Ketapang, OKI, Paser, Sintang, Banyuasin, Musi Banyuasin, Bulungan, Musi Rawas, Berau dan Melawi.

Dalam penelitian itu, baseline data merupakan penilaian kinerja pemda dalam tata kelola lahan 2012-2013. Pada 2015, mereka memotret kinerja pemda 2014 guna melihat peningkatan atau penurunan angka indeks.

Hasil penelitian menunjukkan, kinerja buruk pengelolaan hutan dan lahan terlihat dari perbandingan rata-rata indeks IKHL 2012, skor hanya 18,7 (kategori buruk) dan indeks IKHL 2014 22,7 (buruk).

“Pada pengukuran indeks 2012, hanya satu kabupaten kategori baik dan satu kabupaten sedang. Pada pengukuran indeks 2014, tidak satupun daerah studi masuk kategori baik.”

Kondisi ini menunjukkan prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan koordinasi pengelolaan hutan dan lahan daerah lemah.

ICEL juga menyoroti program 12,7 juta hektar rakyat. Semula alokasi lahan untuk hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan adat, hutan rakyat, dan kemitraan. Kebijakan itu malah tercantum RPJMN 2014-2019 tetapi terbentur regulasi.

Citra menyarankan , KLHK menggabungkan tiga peraturan tentang hutan desa, HKm, dan HTR. Revisi kedua regulasi ini sebenarnya sejak Juli 2015. Namun proses pengesahannya mengalami kendala. Selain itu juga tidak dilakukan secara komprehensif.

Salah satu KPH unggulan di Sumbawa, KPH BAtu Lante. Ini KPH Lindung, yang menjadi tempat warga mencari madu hutan. Madu hutan, salah satu produk andalan dari daerah ini. Foto: Sapariah Saturi
Salah satu KPH unggulan di Sumbawa, KPH BAtu Lante. Ini KPH Lindung, yang menjadi tempat warga mencari madu hutan. Madu hutan, salah satu produk andalan dari daerah ini. Sayangnya, ada beberapa KPH lain di Sumbawa, yang bisa dibilang, hidup segan mati tak mau…Foto: Sapariah Saturi

“Beberapa materi seperti seperti Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), perizinan,pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus, dan lain-lain belum diakomodir,” katanya.

Hal lain disoroti Citra adalah soal penerapan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Komitmen pemerintah, katanya, dalam menerapkan sistem itu masih setengah hati.

Di tengah penolakan sebagian pelaku industri mebel, Kementerian Perdagangan menerbitkan Permendag 89 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Permendag ini
menghapus ketentuan kewajiban Deklarasi Ekspor bagi industri perabotan kayu (furnitur). Sebelumnya disebutkan Deklarasi Ekspor berlaku hingga Desember 2015.

“Regulasi ini membuat kemunduran. Karena tidak mewajibkan dokumen verifikasi V-Legal atau setidaknya Deklarasi Ekspor bagi industri ini. Kebijakan ini rentan dimanfaatkan mafia kayu.”

Seharusnya, pemerintah memperkuat landasan yuridis bagi peredaran kayu legal, bukan sebaliknya. Kedaaan ini menunjukkan komitmen pemerintah lemah dalam mencegah pemberantasan kayu ilegal.

Regulasi lain yang dianggap lemah,  adalah UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAE). UU ini sedang pembahasan untuk revisi.“Pemerintah perlu memberi dasar hukum solutif bagi pengentasan masalah terkait konservasi keragaman hayati.” Terkait juga, katanya, ancaman keragaman hayati dalam tiga tingkatan yakni, genetik, spesies dan ekosistem. Pengaturan mengenai genetik, katanya, wajib masuk dalam perubahan, karena banyak sumber daya genetik Indonesia dibajak asing.
Pembaharuan pengaturan mengenai ekosistem penting, mengingat UU ini belum memberikan solusi bagi peran dan keberadaan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi. Padahal, fakta menunjukan konflik antara masyarakat dengan pemerintah karena penetapan kawasan konservasi.

Ada juga soal pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang masih banyak menemui kendala. Hingga Desember 2013, ada 120 KPH model dengan luas 16.439.718 hektar, terdiri dari 80 KPH produksi luas 12.888.863 hektar (78.4%) dan 40 KPH lindung luas 3.550.855 hektar (21.6%).

“Walaupun didukung berbagai peraturan nasional termasuk kebijakan terakhir soal kehutanan dari pusat ternyata KPH belum optimal.”

Dia mencatat, berbagai kesenjangan aturan operasional KPH, menyebabkan tugas dan fungsi tak jalan baik. Hampir semua tugas dan fungsi dilaksanakan Kepala KPH hingga beban kerja penuh. Jadi, perlu dipikirkan mutasi dan promosi kepala KPH hingga bisa menjalankan tugas dengan jangka waktu wajar.
Soal penataan kelembagan, terkendala pembagian kewenangan pemerintahan pusat dan daerah belum tuntas. Kepastian kelembagaan KPH, katanya, sangat tergantung penuntasan agenda pemerintahan daerah.

Lalu, hal paling mendapat sorotan tajam banyak pihak soal kebakaran hutan dan lahan. Dalam pemerintahan Jokowi-JK, persoalan ini belum mampu diatasi baik.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana,dampak
ekonomi dari kebakaran hutan dan lahan 2015 di beberapa provinsi melebihi Rp20 triliun. Bencana ini menelan korban jiwa. Dari sisi lingkungan hidup, kebakaran menghancurkan ekosistem hutan dan lahan 2 juta hektar lebih.

Sumber: KLHK
Sumber: KLHK

Data LAPAN menyebutkan, Januari-September 2915, ada 16.334 titik api. Data NASA FIRM 24.086 titik api di lima provinsi. Merujuk data Walhi, Kalteng terdapat 5.672 titik api, Kalbar 2.495, Riau 1.005, Sumsel 4.416, dan Jambi 2.842. Data KLHK dari Satelit NOAA 1-24 September 2015, sebaran hotspot pada kawasan hutan 43% hutan produksi, 43% penggunaan lain, 7% hutan lindung dan 7% hutan konservasi.

Pada September, Menteri Siti Nurbaya merilis 413 entitas perusahaan terindikasi kebakaran hutan dan lahan.

Kepolisian RI 20 Oktober merilis 263 perusahaan.Terdapat 50 perusahaan sedang penyelidikan hingga tahap kejaksaan.

“Sayangnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, setelah kebakaran hilang karena turun hujan, upaya-upaya penegakan hukum maupun pemulihan sayup-sayup menghilang. Ini diperparah keengganan penegak hukum merilis jelas pelaku kejahatan.”
Dia mengatakan, penegakan hukum terancam karena proses transparan dan akuntabel lemah.

Pencemaran

Margaretha Quina, Divisi Pencemaran ICEL memberikan beberapa catatan. Dia menyoroti soal data pemantauan kualitas air dan udara masih minim. Transparansi penegakan hukum di KLHK juga lemah. Seharusnya, transparansi dimulai dengan mempublikasikan nama dan alamat perusahaan kena sanksi administrasi dan surat keputusan pengenaan sanksi.

Contoh penindakan pelanggaran standar batas aman timbal cat mencapai 78%. KLHK, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian menunggak kewajibkan pelaku usaha memberi informasi komposisi dan dampak sampingan cat bertimbal maupun produk-produk berbahan kimia berbahaya kepada konsumen. Setidaknya dalam label, dan menindak pelanggar.

Dalam hal pencemaran udara, tahun 2015 diperparah dengan kebakaran lahan. Indeks Standar Pencemar
Udara (ISPU) di Pekanbaru, Palembang, Palangkaraya, dan beberapa kota lain sampai batas berbahaya.

Sayangnya, PP Pengendalian Pencemaran Udara justru tidak bergigi dalam melengkapi aspek pencemaran udara kebakaran. Bahkan dalam level normatif, ketentuan pembebanan biaya penanggulangan dan pemulihan, serta kewajiban ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan, tak jalan.

Belum lagi berbagai pencemaran lain, seperti tambang batu bara, PLTU dan lain-lain.

Catatan masalah lingkungan dari Walhi Jabar

Sementara itu, catatan dari Walhi Jabar juga menunjukkan hal serupa. Selama 2015, belum ada kemajuan signifikan dari pemerintahan daerah baik provinsi maupun di kabupaten’kota dalam pemulihan lingkungan hidup. Bahkan kasus-kasus ruang dan lingkungan hidup terus bermunculan.

Berdasarkan laporan pengaduan ke Walhi Jabar, kasus tata ruang dan lingkungan hidup 49 kasus dari 27 kabupaten/kota.

“Kasus-kasus warga berupa pertambangan, pencemaran air dan tanah, alih fungsi lahan, pembangunan properti, pembangunan pabrik semen, pembangunan PLTU, pelabuhan, waduk, jalan tol dan lain-lain,” kata Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Dadan Ramdan.

Kerusakan dan berkurangnya daerah tangkapan air di DAS utama Jabar, seperti Citarum, Ciliwung, Cimanuk, dan Cisanggarung, Citanduy, Cimandiri mencapai 279.000 hektar. “Ini karena alih fungsi lahan tak dikendalikan. Ini berdampak makin meningkat sedimentasi sungai,” katanya.

Selama 2015, luasan lahan non hutan beralih fungsi pada 27 kabupaten kota se-Jabar mencapai 29.940 hektar. “Dari fakta lapangan, lahan-lahan hijau, resapan dan sawah produktif menjadi lahan pertambangan, pemukiman, pembangunan sarana properti komersil, industri, bendungan, jalan tol juga pelabuhan.”

Sungai di Rancaekek, Kabupaten Bandung, yang tercemar beragam limbah, terutama dari industri tekstil. Foto: Kementerian Lingkungan Hidup

Sedangkan alihfungsi kawasan hutan tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya didominasi pertambangan, pembanguna waduk, jalan tol, dan jalan. Luasan hutan beralihfungsi hingga 2015 mencapai 28.900 hektar. Sedangkan pertambangan non hutan mencapai 340.000 hektar, dan hutan rusak akibat kebakaran 1.240 hektar.

“Tidak ada satu kabupaten/kota terbebas banjir. Selama 2015, catatan kami, banjir, longsor dan angin puting beling 528 kejadian,”katanya.

Banjir 110 kejadian, longsor 281 dan angin puting beliung 137. Korban banjir, longsor dan angin puting beliung 2015 ada 110 orang dengan kerugian Rp50 miliar. Luasan banjir di Jabar 200.600 hektar, merendam pemukiman dan sarana 95.000 bangunan, pengungsi 9.500 jiwa. Angin puting beliung merusak 850 rumah. Longsor merusak hampir 1.210 rumah dengan pengungsi 750 keluarga.

Kekeringan dialami seluruh kabupaten/kota di Jabar dengan luasan kekeringan 671.200 hektar (18%) dari wilayah Jabar.

“Akibat kekeringan warga kesulitan mendapatkan air bersih karena situ dan mata-mata air mengering,” kata Dadan.

Lalu, penggunaan bahan bakar batubara juga terus meningkat seiring pembangunan industri tekstil dan manufaktur, PLTU dan pembangun pabrik semen. Diperkirakan 2015, penggunaan batubara mencapai 2,69 juta ton dengan limbah B3 269.000 ton per tahun. Operasi PLTU batubara di Indramayu menewaskan 10 karyawan dan lima orang dirawat di rumah sakit karena mesin PLTU meledak.

Hingga 2015, katanya, diperkirakan luasan lahan, sungai dan sawah terkena dampak pencemaran limbah pabrik 105.000 hektar. Pencemaran air dan tanah paling parah di sentra-sentra industri polutif seperti di Kawasan Cekungan Bandung, Subang, Karawang, Bekasi, Majalengka, Purwakarta, Cianjur, Bogor dan Sukabumi. “Bukan hanya kerusakan ekologis, tapi pencemaran menyebabkan kesehatan warga menurun karena sumber air dan udara sudah teracuni zat polutif.”

Dadan mengatakan, pencemaran udara juga makin bertambah sejalan dengan penggunaan kendaraan bermotor terus meningkat setiap tahun. Terutama di kota-kota di Jabar,  seperti di Cekungan Bandung, Kota Bogor,  Bekasi, Depok,  Sukabumi,  Cirebon,  Tasikmalaya.

Begitu juga sampah domestik 2015 mencapai  28.360 ton per hari atau 10,3 juta ton. “Sampah-sampah bisa kita temukan di pedesaan maupun perkotaan.” Secara akumulatif, kerugian ekologis karena  kerusakan dan bencana di Jabar  2015 diperkirakan  Rp19 triliun, tahun sebelumnya Rp16,9 triliun.

Belum lagi masalah sengketa lingkungan hidup berujung kriminalisasi warga.Salah satu kasus, penolakan warga terhadap pertambangan galian C di hutan Perhutani di Gunung Kandaga Antajaya, Kabupaten Bogor, berujung penahanan Muhammad Miki. Enam warga lain harus berurusan dengan polisi dan menjadi target operasi kepolisian.

Banyak warga juga mengalami intimidasi dan ancaman seperti kasus pembangunan pabrik Semen Jawa di Sukabumi, PLTU di Cirebon dan Indramayu, dan penolakan warga atas pembangunan pelabuhan pengumpan regional di Pelabuhan Ratu. Juga warga mempermasalahkan pencemaran di Rancekek, pertambangan liar di Gunung Galunggung, Gunung Guntur dan lain-lain.

Ancaman satwa di Sumatera Utara

Sementara itu, dari Sumatera Utara menyoroti soal kasus perburuan satwa dilindungi, masih terus terjadi sepanjang 2015. Ada yang beruntung diburu masih hidup, juga yang mati dibunuh kemudian dijual.

Aparat penegak hukum dibantu organisaasi sipil seperti Wildlife Crime Unit (WCU), membongkar tiga ton trenggiling mati dan dikuliti dan 93 masih hidup lalu dilepasliarkan di Hutan Sibolangit, Langkat.

Orangutan Sumatera ini hidup terenggut karena habitat mereka telah hancur. Perburuan juga tinggi. Foto: Ayat S Karokaro
Orangutan Sumatera ini hidup terenggut karena habitat mereka telah hancur. Perburuan juga tinggi. Foto: Ayat S Karokaro

Sayangnya, di Pengadilan Negeri Medan, majelis hakim hanya menghukum Soemiarto Budiman, dengan penjara selama satu tahun lima bulan, denda Rp50 juta. Padahal hukum maksimal dalam UU KSDAE ancaman penjara lima tahun, denda Rp100 juta.

Kasus lain pembongkaran perdagangan paruh burung rangkong oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), Minggu (14/6/15). Dua pelaku ditangkap saat akan menjual 12 paruh burung kepada petugas yang menyamar. Ada juga pengungkapan perdagangan kulit harimau oleh BBTNGL di sejumlah lokasi. Harimau dikuliti itu didapat dari TNGL.

BBKSDA Sumut, bersama tim Sumatran Orangutan Conservation Program (SOCP), juga berhasil memulangkan sepasang anak orangutan Sumatera yang diseludupkan ke Malaysia, Selasa (20/10/15).

Kasus perdagangan anak orangutan Sumatera dengan pelaku Vast Haris Nugroho. Pengadilan menjatuhkan vonis dua tahun penjara, Rp10 juta.

Andi Basrul, Kepala BBTNGL, mengatakan, perburuan satwa di Sumut masih tinggi, karena hukuman dalam UU KSDAE dinilai lemah.

Dalam salah satu Pasal disebutkan, untuk satwa penahanan hanya bisa oleh penyidik Polri, PPNS BBTNGL, hanya menyelidiki, menangkap, dan pemberkasan. Untuk penahanan, tidak diatur sama sekali. Jadi, itu dianggap sangat melemahkan penyidik PPNS mempercepat pemberkasan. Padahal, katanya, tak sedikit ruang tahanan di kepolisian lebih kapasitas, hingga pelaku terpaksa ditangguhkan. “Ini bisa dimanfaatkan untuk melarikan diri, menghilangkan barang bukti, bahkan bisa mengulangi perbuatan kembali.”

Berbeda dengan kasus illegal logging. BBTNGL bisa menahan pelaku. “Khusus kasus perburuan, penjualan, dan pembunuhan binatang, pelaku tidak bisa kita tahan. Jadi itu sebabnya harus revisi UU itu, agar pelaku perburuan binatang bisa dijerat hukuman maksimal dan ada penjeraan. Selama ini hukuman lemah. Sudahlah kita sidik, tidak ditahan, hukuman di pengadilan belum bikin jera,” kata Basrul.

Selain memberikan hukuman maksimal dan izin PPNS menahan, hal lain tidak kalah penting, penindakan dan sosialisasi kepada masyarakat atau siapa saja, yang memelihara binatang dalam kandang sempit. “Ini menyalahi aturan dan melanggar hak makhluk hidup, seharusnya merdeka menjalani hidup di alam bebas.”

Selama ini, katanya, tidak sedikit dalam patroli BBTNGL, menemukan orangutan, enggang, owa, dan berbagai jenis burung, dipelihara bebas di rumah maupun kandang sempit. “Dalam UU KSDAE diatur larangan tapi diabaikan.”

Noviar Andayani, Country Director Wildlife Conservation Society-Indonesia, mengatakan, kunci utama penegakan hukum konsisten, adil dan transparan. Konsisten, dengan memegang teguh kebijakan atau peraturan yang dibuat. Khusus spesies dilindungi, parapihak mulai pemerintah, masyarakat dan masyarakat harus melindungi.

Ancaman langsung berdampak buruk bagi satwa, katanya, antara lain, kehilangan habitat, perburuan, perdagangan, dan kematian satwa akibat konflik. “Bagi kami, spesies dilindungi wajib dilindungi. Jadi aturan harus berjalan dengan benar dan baik.”

Trenggiling satu dari sekian banyak binatang yang dilindungi. Namun hak hidup terampas karena perburuan dan dibunuh, dimakan sampai bahan dasar narkoba. Foto: Ayat S Karokaro
Trenggiling satu dari sekian banyak binatang yang dilindungi. Namun hak hidup terampas karena perburuan dan dibunuh, dimakan sampai bahan dasar narkoba. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,