,

SRAK Orangutan: Antara Harapan, Kenyataan dan Catatan Penting di 2015

Bali, 10 Desember 2007. Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, saat itu, dalam Konferensi Perubahan Iklim mencanangkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007-2017. Dalam kesempatan itu, Presiden menyatakan bahwa semua orangutan yang ada di pusat rehabilitasi harus dikembalikan ke habitatnya paling lambat tahun 2015. Sementara, target utama dari rencana aksi ini adalah menstabilkan populasi orangutan dan habitatnya sejak dicanangkan hingga 2017.

Sebagaimana dikutip dari SRAK, dalam sambutan tersebut, Presiden SBY menuturkan pelaksanaan rencana aksi ini akan melibatkan semua pemangku kepentingan, menciptakan koalisi yang kuat dalam memperjuangkan dan melindungi orangutan, satwa ikonik Indonesia. “Kelangsungan hidup orangutan sejalan dengan kelestarian habitat alaminya yaitu hutan hujan. Artinya, untuk menyelamatkan orangutan kita harus menjaga dan menyelamatkan hutan.”

Presiden pun menyatakan, penyelamatan orangutan harus dilakukan. Dalam 35 tahun terakhir, terhitung hingga 2006, sebanyak 50 ribu individu orangutan telah kehilangan sebagian besar habitatnya. “Jika kondisi buruk terus berlanjut, satwa cerdas ini akan menuju kepunahan di 2050.”

Apakah harapan pelepasliaran orangutan di seluruh pusat rehabilitasi di 2015 ini tercapai sebagaimana target SRAK?

Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia, sedangkan tiga kerabatnya yaitu gorila, simpanse, dan bonobo ada di Afrika. Diperkirakan, sekitar 20 ribu tahun lalu, orangutan tersebar di seluruh Asia Tenggara, dari ujung selatan Pulau Jawa hingga ujung utara Pegunungah Himalaya dan Tiongkok bagian selatan. Kini, 90 persen orangutan hanya ada di Indonesia yaitu di Sumatera dan Kalimantan, sementara sisanya ada di Sabah dan Sarawak, Malaysia.

Menyempitnya wilayah persebaran orangutan, disebabkan adanya kesamaan antara manusia dan orangutan yaitu menyukai tempat hidup yang sama, dataran di sekitar daerah aliran sungai dan rawa gambut. Alih fungsi lahan yang dilakukan manusia untuk kegiatan ekonomi, budaya, dan sosial inilah yang membuat habitat orangutan berkurang.

Terkait persebaran orangutan saat ini, para ahli primata sepakat, orangutan yang hidup di Sumatera atau Pongo abelii merupakan jenis berbeda dengan yang ada di Kalimantan. Populasi orangutan sumatera terbesar ada di wilayah Leuser. Jumlahnya yang diperkirakan sekitar 6.500 individu membuat IUCN (International Union for Conservation of Nature) menetapkan statusnya Kritis (CR/Critically Endangered).

Sementara, orangutan borneo (Pongo pygmaeus), hampir berada di seluruh hutan daratan rendah Kalimantan (Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah) kecuali Kalimantan Selatan dan Brunei Darussalam.

Orangutan borneo ini dikelompokkan dalam tiga anak jenis yaitu Pongo pygmaeus pygmaeus yang berada di bagian utara Sungai Kapuas hingga ke timur laut Sarawak; Pongo pygmaeus wurmbii yang tersebar dari selatan Sungai Kapuas hingga bagian barat Sungai Barito; serta Pongo pygmaeus morio, yang terlihat dari Sabah hingga selatan Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Populasi keseluruhan orangutan borneo diperkirakan 54  ribu individu dengan status keterancaman Genting (EN/Endangered).

Orangutan kalimantan jantan. Foto: Rhett Butler

**

Jakarta, 6 November 2014. Jamartin Sihite, CEO Yayasan BOS (Borneo Orangutan Survival Foundation), di acara #Climb For Orangutan memaparkan kondisi orangutan yang dalam penanganan BOSF. Menurutnya, sekitar 750 individu orangutan berada di pusat rehabilitasi dengan rincian 220 individu di Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Timur (Samboja Lestari) dan 530 individu di Program Reintruduksi Orangutan Kalimantan Tengah (Nyaru Menteng). “Untuk merehabilitasi orangutan butuh waktu tujuh tahun, bukan waktu yang sebentar,” paparnya.

Jamartin menjelaskan, sejak Februari 2012 hingga 2014, Yayasan BOS telah melepasliarkan orangutan sebanyak 162 individu. Lokasi yang dipilih untuk reintroduksi dan konservasi habitat orangutan ini adalah Hutan Lindung Bukit Batikap, Hutan Kehje Sewen, dan Program Konservasi Mawas (309.000 hektar di hutan gambut). Untuk Kehje Sewen, kawasan ini merupakan habitat alami yang berbentuk konsesi Restorasi Ekosistem seluas 86.450 hektar, dengan biaya izin sekitar Rp14 miliar.

Bagaimana dengan target SRAK 2007-2007, paling lambat, semua orangutan yang berada di pusat rehabilitasi harus dikembalikan ke habitatnya pada 2015? Jamartin saat itu menuturkan, kebijakan tersebut dibuat sebagai target dalam bekerja. Pemerintah, sebagai regulator tentu telah memperhitungkan dan menyediakan hutan untuk tempat pelepasliaran orangutan. “Kita mengapresiasi target tersebut dan berharap terlaksana. Namun, keselamatan orangutan pasca-pelepasliaran harus diperhatikan juga.”

Hal penting lain yang harus dipikirkan, papar Jamartin adalah, nasib orangutan yang tidak dapat dilepasliarkan (unreleasable) karena mengidap penyakit, cacat, atau perilakunya tidak liar lagi karena terlalu lama dipelihara manusia. Dipastikan, orangutan unreleasable ini tidak akan bertahan lama hidupnya di hutan karena selain tidak memiliki kemampuan bertahan hidup, juga tidak bisa berkompetisi untuk mencari pakan. Apalagi, melawan musuh alaminya di hutan. “Diperkirakan, sekitar 10 persen dari total populasi yang ada di pusat rehabilitasi BOSF merupakan orangutan unreleasable yang juga berhak hidup di hutan.”

Dalam perkembangannya, Yayasan BOS Nyaru Menteng, tengah mengupayakan rumah nyaman bagi orangutan unreleasable di kawasan Badak Besar dan Badak Kecil, Pulau Salat Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Lahan yang dibutuhkan untuk program ini sekitar 655 hektar dari luas total Pulau Salat yang diperkirakan seluas 3.419 hektar.

Anak orangutan yang diserahkan oleh warga ke pusat penampungan. Foto: Hendar

Bagaimana kondisi orangutan di pusat rehabilitasi BOSF, 2015 ini? Jamartin Sihite, saat pelepasliaran empat orangutan di BOS Samboja Lestari, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Selasa (1/12/2015) menjelaskan, hingga Desember, sekitar 224 individu orangutan masih berada di Program Reintroduksi Yayasan Bos di Samboja Lestari. Sedangkan jumlah orangutan yang ada di Program Reintruduksi Orangutan Kalimantan Tengah (Nyaru Menteng) sekitar 600 individu.

Untuk melepasliarkan orangutan sebagaimana target SRAK, sangat tidak mungkin. Menurutnya, masalah utama yang dihadapi saat ini adalah masih banyak orangutan yang dikirim ke pusat rehabilitasi. Dengan kata lain, hutan untuk kelangsungan hidup orangutan sudah rusak dan makin sempit. Sementara, lahan yang dimiliki BOS di Hutan Kehje Sewen seluas 86.450 hektar di Kalimantan Timur, sekitar 40 ribu hektarnya belum layak.

Tidak mudah, mencari area hutan yang cocok untuk pelepasliaran. Kriterianya, lokasi hutan tidak lebih dari 700 meter dari permukaan tanah, sudah ada pohon pakan,  orangutan liarnya sedikit yaitu 0,1 persen individu, letaknya jauh dari permukiman penduduk, serta dekat sumber air (sungai atau danau).

Jamartin berharap, pihaknya mendapatkan 40 ribu hektare area hutan di Kalimantan Timur. Namun, regulasi yang menyaratkan pihak yayasan harus membeli hak pengusahaan hutan (HPH) agar bisa mengelola merupakan kendala besar. “Butuh dana besar pastinya dan  waktu lama untuk penggalangan dana,” ujarnya ketika dihubungi kembali Senin (28/12/2015).

Jamartin juga menyoroti Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19 tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit. Ia mengapresiasi regulasi tersebut yang mengharuskan perusahaan kelapa sawit menyisihkan sedikit areanya untuk kawasan konservasi. “Kami berharap areal konservasi itu, akan menjadi sekolah lanjutan orangutan. Kalau dapat dua area konservasi, setiap bulan kita bisa lepaskan 4 individu. Maksimal 15-20 orangutan bisa dilepasliarkan. Ini akan menjadi keberhasilan, apalagi sampai kami tutup pusat rehabilitasi, dengan artian tidak ada lagi orangutan yang tersesat dan cidera,” ungkapnya.

Saat ini, dari 224 orangutan yang tinggal di Samboja Lestari, sekitar 150 individu bisa dilepasliarkan. Sedangkan 50 individu tidak mungkin, karena cacat seperti tangannya buntung, matanya buta, dan cidera.

Data terakhir, total orangutan yang sudah dilepasliarkan oleh Yayasan BOS hingga penghujung 2015 sebanyak 195 individu. “Itu jumlah orangutan yang telah dirilis,” ungkap Paulina Laurensia Ela, Spesialis Komunikasi BOSF, Senin (28/12/2015).

Kawasan Badak Besar, Pulau Salat Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. yang tengah diupayakan sebagai tempat pelepasliaran orangutan. Foto: Yayasan BOS

**

Direktur Program Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) Ketapang, Kalimantan Barat, Karmele Llano Sanchez pun meyakini, target pemerintah melepasliarkan seluruh orangutan dari pusat rehabilitasi tidak akan tercapai di 2015.

Alasannya sederhana. Kondisi terkini jumlah orangutan di pusat rescue dan konservasi orangutan IAR di Ketapang pada pengujung 2015 justru mengalami peningkatan signifikan. “Pada bulan-bulan terakhir sejak September mengalami peningkatan tiga kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya,” jelasnya melalui surat elektronik yang dikirim dari Sarawak, Malaysia Timur, kepada Mongabay Indonesia di Pontianak, Senin (28/12/2015).

Karmele menjelaskan, peningkatan jumlah orangutan yang diselamatkan dipicu oleh kebakaran hutan yang menjadi rumah bagi satwa dilindungi itu. Pada 2015, jumlah orangutan yang telah diselamatkan mencapai 43 individu. Sedangkan jumlah orangutan yang diselamatkan dari lokasi kebakaran sekitar 30 individu.

Saat ini, kata Karmele, jumlah orangutan di lokasi rehabilitasi YIARI Ketapang mencapai 100 individu. Sebagian orangutan dewasa dan sudah lama dipelihara warga, kemungkinan untuk dilepasliarkan sangat sulit. “Ada juga orangutan liar yang telah direscue dari kebakaran sebanyak empat individu. Ini akan dilepasliarkan setelah kondisi mereka pulih,” ucapnya.

Dengan demikian, YIARI Ketapang sudah melepasliarkan 29 individu orangutan. Sebagian di antaranya sudah dirawat sementara, lalu dilepasliarkan lagi ke alam. Namun, ada juga tiga individu orangutan hasil rehabilitasi yang dilepasliarkan.

Lebih jauh Karmele menjelaskan, lokasi pelepasliaran orangutan di Kalbar adalah Hutan Lindung Gunung Tarak dan Taman Nasional Gunung Palung (TNGP). Kedua lokasi ini digunakan untuk translokasi dan release orangutan liar yang telah direscue dari sekitar lansekap TNGP.

“Ke depan kami akan melepasliarkan di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya. Sebab, di Ketapang tidak ada lagi lokasi yang cocok untuk lokasi pelepasliaran orangutan. Apalagi, TNGP juga terdampak kebakaran hutan. Jadi, rencana untuk melepasliarkan seluruh orangutan di pusat rehabilitasi sebagaimana termaktub dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan 2015 tidak mungkin terealisasi,” kata Karmele.

Gunung Palung, rumah bagi sejumlah orangutan yang dilepasliarkan. Namun, akibat kebakaran yang terjadi di 2015, wilayah ini mulai tidak nyaman untuk pelepasliaran orangutan. Foto: YIARI

**

Sri Suci Utami Atmoko, peneliti dari Forum Orangutan Indonesia (Forina), yang juga Tim Penyusun SRAK 2007-2017 menuturkan, SRAK yang disusun saat itu bersama Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan, merupakan target pencapaian yang harus dibuat. Saat itu, sekitar 1.000 an individu orangutan berada di pusat rehabilitasi. Masalah yang dihadapi kala itu adalah area pelepasliarannya yang tidak ada. “Dalam hal ini, komitmen pemerintah yang kita tagih, dimana kawasan yang tepat untuk pelepasliaran orangutan tersebut,” ujarnya.

Setelah SRAK ini dibuat, dalam perjalanannya, pemerintah mengeluarkan kebijakan Restorasi Ekosistem. BOSF memiliki kawasan restorasi ini yang memang spesial untuk pelepasliaran. Melalui restorasi, kita berharap dapat dukungan karena memang membantu pemerintah demi capaian pelepasliaran di 2015. “Kenyataannya, restorasi ini harus bayar pajak dan perlakuannya sama sebagaimana pengusaha. Sementara, dari pemerintah sendiri, kebijakan alternatif kawasan untuk pelepasliaran tidak ada.”

Hal lainnya menurut Suci adalah masalah penegakan hukum. Kita tidak akan bisa menyelesaikan target rencana strategi ini bila tidak ada penegakan hukum yang signifikan. Pengalaman saya selama 20 tahun meneliti orangutan di Leuser, tidak pernah ada perdagangan bayi maupun orangutan dewasa, terlebih yang direscue. Sekarang, perdagangan marak. “Ini yang membuat kondisinya seperti tidak ada kemajuan. Kita harus lihat mana saja pusat rehabilitasi yang harus dibantu dan kebijakan apa yang harus dilakukan agar target tercapai. Komitmen semua pihak harus ada.”

Terkait target pelepasliaran yang tidak bisa dilakukan di 2015 ini, Suci berpendapat, revisi SRAK memang harus ada. Menurutnya, evaluasi sudah pasti dilakukan yang dilihat dari kegiatan apa yang sudah berjalan dan mana yang belum sama sekali. Yang jelas, target utamanya adalah pelepasliaran. “Keberhasilan itu adalah bila semua orangutan yang ada di pusat rehabilitasi dilepasliarkan dan pusat rehabilitasi tidak kedatangan orangutan lagi. Untuk itu, penegakan hukum harus dijalankan dan kesadaran masyarakat ditingkatkan.”

Peta Distribusi Orangutan di Indonesia. Sumber: www.forina.or.id

J. Sugardjito, peneliti senior orangutan di Universitas Nasional menuturkan, awal 2016 akan ada evaluasi terhadap SRAK. Segala hambatan dan persoalan yang dihadapi akan dibahas. Menurutnya, hal terpenting yang harus dikritisi adalah habitat orangutan itu sendiri. Kesulitan pelepasliaran saat ini adalah ketersediaan habitat yang makin menyempit. Ini harus dicarikan solusi. “Apakah ada kerja sama dengan swasta yang memiliki konsesi, atau rehabilitasi habitat.”

Terkait peluang pelepasliaran orangutan di pusat rehabilitasi yang jumlahnya ratusan, Sugardjito menyatakan semua itu ada prosesnya. Yang sudah siap sebenarnya banyak, hanya lagi-lagi terhambat tempat itu sendiri. Tempat ini berkaitan dengan ketersediaan pakan dan keamanan juga. “Yang jelas, proses rehabilitasi orangutan terus berjalan.”

Ke depan, perlindungan dan pengawasan harus kita tingkatkan agar orangutan dapat hidup nyaman di alam liar. Di segala sektor, Indonesia paling lemah dalam hal pengawasan. “Untuk itu, hutan harus kita jaga. Biarkan hutan tumbuh dan berkembang secara alami, sementara manusia membantunya melalui manajemen. Dengan begitu, kehidupan orangutan terjaga, tanpa mengesampingkan penegakan hukum bagi pelaku kejahatan,” paparnya.

Tak jauh berbeda, Direktur Orangutan Information Centre (OIC), Panut Hadisiswoyo berpendapat, SRAK Orangutan baru mencapai target bila semua orangutan yang ada di pusat rehabilitasi sudah dilepaskan dan tidak ada lagi orangutan yang diantar ke pusat rehabilitasi. “Perburuan, pemeliharaan, dan perdagangan orangutan harus dihentikan. Begitu juga dengan pembukaan hutan untuk perkebunan,” ungkapnya Rabu (30/12/2015).

Panut menilai, secara umum, rehabilitasi orangutan di pusat-pusat karantina yang terdapat di Sumatera sudah berjalan baik. Namun, untuk melepaskan orangutan yang telah direhabilitasi ini masih terkendala dengan ketersediaan habitat yang sesuai. Ditambah lagi, orangutan rehabilitasi, tidak bisa dilepaskan begitu saja di hutan yang masih ada orangutan alami. “2016, SRAK Orangutan 2007-2017 akan dievaluasi. Kita berharap, target yang belum tercapai dapat diteruskan dalam SRAK Orangutan 2017-2027.”

Perjalanan pelepasliaran orangutan yang menggunakan transportasi udara menuju Hutan Kehje Sewen, Kalimantan Timur. Foto: Rini Sucahyo/Yayasan BOS

Terhadap SRAK Orangutan Indonesia 2007-2017, secara umum, pemerintah menilai target tersebut telah dilaksanakan. Meskipun, terdapat kendala seperti di Kalimantan, sekitar 500 individu orangutan belum bisa dilepasliarkan ke habitatnya.

Bambang Dahono Adji, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK, Senin (28/12/2015) mengatakan, masalah yang terjadi di Kalimantan sehingga orangutan tidak bisa dirilis adalah terkait kesesuaian lahan sebagai habitatanya serta adanya budaya masyarakat di beberapa daerah yang masih memakan orangutan.

Sementara di Sumatera, wilayah konservasi atau hutan lindung masih tersedia. Sehingga, orangutan yang telah direhabilitasi dapat dilepaskan tanpa terkendala. “Karenanya, di Sumatera, semua target yang telah ditetapkan tercapai dan sebagian besar orangutan telah dikembalikan ke habitatnya,” jelasnya.

Mengenai orangutan yang cacat atau mungkin tidak bisa dilepasliarkan, Bambang menambahkan, untuk masalah tersebut, pemerintah telah mengambil kebijakan dengan membuka kebun binatang alami. Orangutan yang cacat dan tidak bisa disembuhkan, serta orangutan yang terlalu jinak akan ditampung di tempat tersebut. “Nanti, di kebun binatang alami, orangutan akan dikembangbiakkan, sehingga meski induknya tidak bisa dilepasliarkan, namun anak yang dilahirkan dapat dilepaskan ke hutan alami. Kita akan terus mengupayakan, karena kegiatan ini merupakan yang pertama dilakukan di Asia.”

Hingga saat ini, orangutan yang belum bisa dilepasliarkan masih ditempatkan di pusat rehabilitasi, termasuk 14 orangutan yang baru dipulangkan dari Thailand, 12 November 2015 lalu. “Tahun 2016, SRAK Orangutan akan dievaluasi. Masalah yang timbul di Kalimantan akan dicarikan solusi. Diharapkan, semua orangutan yang ada di pusat rehabilitasi akan dikembalikan ke habitatnya. Akan dicarikan hutan konservasi yang sesuai, sebagai rumahnya yang aman dan nyaman,” ungkap Bambang.

Terkait wilayah pelepasliaran, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Tachrir Fathoni, pun menyadari kesulitan areal pelepasliaran orangutan yang berada di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Sumatera.

Menurutnya, tak semua orangutan bisa dilepasliarkan lantaran butuh areal yang terkonsentrasi. Ia berjanji pihaknya akan bekerja sama dengan gubernur dalam rencana mengubah hutan lindung menjadi kawasan margasatwa, agar bisa menjadi tempat pelepasliaran. Selain itu, pihaknya juga akan bernegosiasi dengan perusahaan kelapa sawit untuk menjadikan lahan konservasi sebagai ekosistem esensial.

“Sinergitas yang penting. Pemerintah tidak bisa sendirian melestarikan satwa langka Indonesia. Kerja sama antara pemerintah, NGO, civil society dan pengusaha harus dilakukan,” paparnya, 1 Desember 2015, saat pelepasliaran empat orangutan di Samboja Lestari, Kalimantan Timur.

Induk orangutan sumatera bersama anaknya. Foto: Rhett Butler
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,