,

2015, Perdagangan Satwa Ilegal Masih Marak di Sulut

Sepanjang tahun 2015, sejumlah praktik perdagangan satwa ilegal berhasil terbongkar di Sulawesi Utara. Satwa-satwa itu terdiri dari beruang madu (Helarctos malayanus), penyu hijau (Chelonia mydas), kukang jawa (Nycticebus javanicus), lutung jawa (Trachypithecus auratus) serta nuri talaud (eos histrio talautensis).

Billy Gustafianto, Staff Information and Education Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST), Minahasa Utara, Sulawesi Utara mengatakan, pada Februari 2015, terbongkar perdagangan beruang madu (Helarctos malayanus) di Winenet, Bitung.

Beruang madu sendiri adalah satwa yang menjadi simbol provinsi Bengkulu dan maskot kota Balikpapan. Satwa ini tersebar di Kalimantan, Sumatera, Indocina, Cina Selatan, Burma, serta Semenanjung Malaya.

Sehingga, satwa yang berstatus rentan ini, sudah pasti berasal dari luar Sulawesi Utara. Diduga beruang madu tersebut dititip untuk dijual ke wilayah lain. Sayang, saat itu ‘pemilik’ beruang madu tidak berada di lokasi, sehingga proses hukum dan informasi lanjutan tidak bisa didapati.

Kemudian, Sabtu (13/6/2015), Polres Minahasa Utara (Minut), berhasil menggagalkan aksi perdagangan penyu hijau (Chelonia mydas). Satwa ini ditemukan dalam kondisi menderita luka robek karena kedua sirip depan diikat dengan tali nilon.

Penyu hijau tersebut dibeli oleh pelaku, yang berinisial SB, dari nelayan di desa Batu Lubang, pulau Lembeh. Penyu Hijau yang beratnya diperkirakan nyaris 100 kg ini akan dijual dengan harga Rp350.000 ke daerah Wori sebagai hidangan untuk perayaan pengucapan (semacam thanks giving). Akibat aksinya, pelaku perdagangan penyu hijau dikenakan wajib lapor.

Pada Jumat (18/9/2015), tim dari Dinas Kehutanan, Kepolisian Resort Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara berhasil menggagalkan penyelundupan satwa ilegal yang melintasi wilayah mereka.

Satwa dilindungi yang terdiri dari 23 ekor kukang jawa (Nycticebus javanicus) dan 2 lutung jawa (Trachypithecus auratus) ditemukan di kapal penumpang KM Tera Santa yang bersandar di Pelabuhan Tahuna, Sangihe. Sekali lagi, pelaku tidak berhasil ditangkap karena sudah terlebih dahulu melarikan diri.

Aktivis pecinta satwa meyakini, adanya jaringan di balik terbongkarnya dugaan perdagangan kukang dan lutung jawa tadi. Sebab, satwa yang dibawa dari Pulau Jawa itu diperkirakan hanya melintasi Sangihe untuk diteruskan ke Filipina.

Dugaan tadi diperkuat Sudiyono, kepala BKSDA Sulut. Dilihat dari faktor ekonomi hingga geografis, ia meyakini, perdagangan ilegal ini direncanakan dengan baik dan pelakunya mengetahui bahwa kukang dan lutung tersebut berstatus dilindungi.

Akhir 2015, perdagangan satwa ilegal kembali terbongkar. Kali ini, satwa yang diperdagangkan adalah nuri talaud (eos histrio talautensis). Kasus ini terbongkar setelah pihak BKSDA Sulut menggeberek sebuah rumah di kawasan Mapanget, kabupaten Minahasa Utara. Pada pertengahan Desember 2015, menurut Sudiyono, pelaku telah menjalani proses persidangan.

Polisi gagalkan penyelundupan nuri Talaud, Dokumentasi Rychter (Kompak).
Polisi gagalkan penyelundupan nuri Talaud, Dokumentasi Rychter (Kompak).

Kasus perdagangan nuri talaud atau red and blue lory bukan yang pertama kali. Menurut catatan Burung Indonesia, pada 2004-2006, setidaknya sebanyak 358 individu dalam kurun tersebut dikirim atau siap dikirim ke Filipina.

Sementara itu, hasil investigasi komunitas pecinta alam Talaud, Oktober 2013, berhasil menyita 115 individu nuri talaud yang siap dikirim ke Filipina. Hasil sitaan kemudian dikirim ke PPS Tasikoki dan dilepasliarkan kembali pada Agustus 2014. Diyakini, maraknya perdagangan nuri talaud dikarenakan penduduk sekitar merasa lebih mudah dan menguntungkan menjual satwa ini langsung ke Filipina.

“Jarak yang dekat, kemudahan izin tinggal antara penduduk lokal di perbatasan, serta banyaknya kerabat antara penduduk Talaud dan Mindanao menyebabkan pilihan menjual lory ini ke Filipina merupakan salah satu pilihan yang menguntungkan bagi penduduk Talaud,” demikian ditulis Hanom Bashari dalam Perdagangan Burung Paruh Bengkoko di Kawasan Wallacea: Isu-Isu Penting Perdagangan Burung Paruh Bengkok dari Kawasan Wallacea ke Luar Indonesia.

Terbongkarnya kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa Sulawesi Utara masih menjadi wilayah perdagangan satwa ilegal. Pada satu sisi, dilihat dari asal satwa yang diperdagangkan, provinsi ini menjadi wilayah target dan pasar. Sementara, di sisi lainnya, Sulawesi Utara diyakini menjadi wilayah singgah perdagangan satwa ilegal untuk diteruskan, baik ke wilayah lain di Indonesia ataupun ke luar negeri.

Bagaimana Penegakan Hukumnya?

Meski berhasil menggagalkan sejumlah kasus perdagangan satwa ilegal, namun proses pengawasan di lapangan dinilai kurang maksimal. Billy mengatakan, sejauh pengamatannya pada tahun 2015, cukup banyak masyarakat yang melaporkan dugaan perdagangan satwa ilegal. Namun, tindak lanjut dari laporan-laporan tersebut dinilai lambat.

Selain itu, Billy menambahkan, kasus-kasus perdagangan satwa ilegal yang berhasil dibongkar, minim memberi efek jera bagi para pelakunya. Sebagian besar pelaku berhasil lolos dari jerat hukum. Bahkan, aparat terkait dinilai belum menyentuh aktor utama perdagangan satwa ilegal ini. “Yang ditindak hanya pelaku perdagangan burung, tapi pelaku lain lepas, hanya satwanya yang disita. Kemudian, yang dibongkar hanya pedagang-pedagang kecil saja,” ujar Billy.

Tersngka Nur Hasan dengan barang bukti Nuri Bayan. Foto: COP
Tersngka Nur Hasan dengan barang bukti Nuri Bayan. Foto: COP

Sementara itu, berdasarkan data Macaca Nigra Project (MNP), selama Januari hingga November 2015, ditemukan 69 jerat, baik jerat untuk burung, ayam dan babi. Jumlah jerat yang ditemukan dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi. Pada tahun 2012 ke tahun 2013, mengalami penurunan dari 181 jerat menjadi 122 jerat. Sedangkan 2013 ke 2013, mengalami peningkatan menjadi 139 jerat.

Lokasi penemuan jerat hanya terbatas di areal penelitian MNP, yang terdapat 4 kelompok Macaca nigra liar. “Artinya, penemuan jerat ini hanya suatu luasan yang kecil dibanding seluruh total area kawasan konservasi Tangkoko,” kata Stephan Miloyski Lentey kepada Mongabay melalui surat elektronik.

Meski demikian, pihak BKSDA Sulut mengaku telah berusaha maksimal dalam mengawasi peredaran satwa liar. Bahkan, dikatakan Sudiyono, pengawasan di beberapa titik sudah cukup ketat. Namun, keterbatasan personil ditambah ‘kecerdikan’ pemburu serta pelaku perdagangan satwa ilegal menjadi permasalahan yang tidak terhindarkan.

“Di bandara, sebenarnya, pengawasannya sangat bagus. Tapi, untuk jalur laut itu yang agak susah. Karena terlalu banyak pintu-pintu tidak resmi, kemudian memungkinkan juga menggunakan kapal-kapal kecil, mereka bisa melintasi antar pulau,” jelas Sudiyono.

“Kita memang, menempatkan petugas di sana. Tapi, kendalanya, jumlah petugas yang terbatas. Kemudian, yang melintasi pelabuhan kecil itu relatif kecil. Justru pelabuhan-pelabuhan ilegal yang sulit kami awasi.”

Namun, Sudiyono meyakini, praktik perdagangan satwa di Sulawesi Utara cenderung menurun. Keyakinannya, didasari oleh minimnya laporan-laporan perdagangan satwa ilegal di pasar-pasar tradisional di Sulawesi Utara. “Indikator kami di pasar. Kami sudah tidak mendapat informasi mengenai perdagangan tersebut.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,