, ,

Catatan COP: Modus Perdagangan Satwa Makin Canggih dan Terorganisir

Sepanjang 2015, kasus perdagangan satwa liar terus terjadi. Penilaian Centre for Orangutan Protection (COP), kejahatan menggunakan metode lebih modern (via online) dan terorganisir baik. Dalam catatan akhir tahun, COP menyebutkan, dalam lima kali penggerebekan, ada 50 satwa dilindungi diperjualbelikan.

Daniek Hendarto, Manajer COP wilayah Jawa-Sumatera kepada Mongabay mengatakan, dari lima kasus ditangani COP, tiga ada putusan pengadilan. Putusan huku maksimal dua tahun untuk pedagang orangutan di Aceh, terendah tujuh bulan buat pedagang elang di Surabaya. “Kita berharap hukuman maksimal lima tahun dapat diterapkan pada semua pelaku kejahatan ini. Dengan hukuman maksimal akan menjadi catatan positif dalam upaya perlindungan satwa liar di Indonesia,” katanya.

Dalam perdagangan online, katanya, modus operasi mereka, yakni, kelompok pedagang membuat grup komunikasi pedagang dalam sosial media Facebook dan transaksi tanpa tatap muka langsung. Dalam perdagangan online, baik melalui Facebook atau lainnya pedagang melengkapi grup jualan dengan sarana transaksi bersama atau sering disebut rekber (rekening bersama) hingga lebih aman.

Orangutan Kalimantan di PPS Tasikoki, Sulawesi Utara. Foto: Tommy Apriando
Orangutan Kalimantan di PPS Tasikoki, Sulawesi Utara. Foto: Tommy Apriando

Cara kerjanya, rekber menjadi pihak ketiga dalam transaksi, menjembatani pedagang dan pembeli. Kala pedagang dan pembeli sepakat, pembeli mengirimkan uang menuju rekber dan penjual mengirimkan satwa menuju pembeli. Jika pembeli sudah menerima satwa dan sesuai spesifikasi, pembeli konfirmasi kepada rekber. Rekber akan mengirimkan uang ke rekening penjual. Dalam grup pedagang online ini biasa ada jasa pengiriman satwa khusus.

“Majunya teknologi bagaikan dua mata pisau berbeda, bisa berbahaya mendukung kejahatan bisa membantu mendukung konservasi satwa,” katanya.

Catatan COP menyebutkan, bisnis satwa liar online sangat besar, sistematis dan terorganisir baik. Penjualan satwa, mulai orangutan, beruang, harimau sampai bagian tubuh gajah.

Contoh, harga bayi orangutan, ketika masih hutan Kalimantan atau Sumatera Rp2 juta-Rp5 juta. Kala sampai di Jawa harga bisa Rp50 juta-Rp70 juta, beda lagi jika diselundupkan ke luar negeri harga bisa 10 kali lipat. Jadi, katanya, bisnis ini subur karena perputaran uang sangat besar.

Sepanjang 2015, COP bersama aparat beberapa kali operasi penyitaan dan mendorong penegakan hukum, seperti 21 Februari 2015, Dittipiter Bareskrim Mabes Polri dibantu COP dan JAAN menggrebek pedagang satwa di Kampung Balong Desa Gandamekar, Kadungora, Garut, Jawa Barat. Tim menangkap pedagang bernama Dicky Rusvinda dan mengamankan 18 jenis satwa dilindungi berjumlah 33 ekor seperti orangutan, beruang madu, tarsius, rangkong, julang emas, kus kus beruang, yaki, kakatua jambul, kucing hutan dan banyak lagi.

Salah satu trenggiling hasil sitaan yang dilepasliarkan. Foto: Ayat S Karokaro

Untuk menekan perdagangan satwa liar makin marak di media online, COP menyarankan perlu sistem pengawasan ketatb aparat terkait.

Kejahatan ini, kata Daniek, subur manakala pengawasan dan penegakan hukum tak tegas dan berani. Menurut dia, sudah waktunya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan tekanan kepada pengelola jejaring sosial untuk membuat sistem portal menekan kejahatan ini.

Saat ini, bisa dikatakan perdagangan satwa liar online menggeser pola perdagangan konvensional. Kejahatan ini, mudah dilakukan dan sulit terpantau petugas.

COP meminta, menetapkan kejahatan satwa liar menjadi prioritas penanganan pemerintah. “Ini kejahatan serius, aparat penegak hukum dan pemerintah selayaknya bertindak serius.”

Bagian tubuh beruang yang ditemukan di gudang milik terdakwa. Sayangnya, barang bukti ini dalam sidang perdana PN Medan tak disebut-sebut sama sekali. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , ,