,

Rosek Nursahid, Pendekarnya ProFauna

Tahun 1992, perdagangan satwa liar marak, termasuk di Pasar Burung Pramuka, Jakarta, yang saat itu terbesar di Asia. Sejumlah satwa dilindungi dijual terang-terangan, seperti orangutan, komodo, hingga burung langka.

Upaya mencegah, mengurangi, hingga menghentikan kegiatan terlarang itu dengan cara melaporkan kepada pihak terkait, nyatanya belum efektif. Langkah konkrit dengan membentuk sebuah gerakan masyarakat menjadi pilihan utama guna penyelamatan satwa liar Indonesia.

Kondisi itulah yang mendasari Rosek Nursahid bersama istrinya, Made Astuti, mendirikan organisasi ProFauna Indonesia pada 23 Desember 1994, di Malang, Jawa Timur. Pria kelahiran 12 April 1971 ini, membentuk organisasi yang awalnya bernama Konservasi Satwa Bagi Kehidupan dengan tujuan melindungi satwa terpinggirkan dan tidak tertangani akibat hidup di  luar habitatnya.

“Awalnya saya dan istri saja. Di awal, terasa sulit karena Profauna didirikan oleh orang yang tidak terkenal, hanya berbekal kepedulian,” ujar Rosek, saat ditemui di Petungsewu-Wildlife Education Center (P-WEC), Malang, beberapa waktu lalu.

Rosek yang sejak SMP menyukai kegiatan alam, makin cinta mati akan lingkungan ketika sering menonton acara televisi berlebel “Flora Fauna.” Tayangan televisi milik pemerintah yang banyak menampilkan kisah penyelamatan satwa liar dan pelestarian lingkungan ini, membulatkan tekadnya untuk mendalami ilmu Biologi setamat SMA.

Namun, saat kuliah, semangatnya sempat surut, saat menerima kenyataan bahwa belajar Biologi di kampus, hanya berkutat di laboratorium, ketimbang di alam. Ilmu koservasi satwa liar juga tidak diperolehnya, kecuali sebagai relawan yaitu membantu para peneliti. Meski tidak dibayar, Rosek ikhlas melakukannya demi menyerap ilmu para pakar dunia mengenai konservasi satwa dan lingkungan.

“Kalau mau jujur, saya mendapat ilmu biologi, justru tidak dari kampus. Tapi, dari laboratorium besar bernama alam Indonesia,” ujar Rosek.

Di tahun pertama berdirinya ProFauna, Rosek hanya mampu merekrut 3 anggota, atau disebut supporter. Bahkan, tahun kedua, jumlahnya malah 1 anggota. Jadi 3 dengan istrinya. “Profauna Indonesia sedari awal berdiri memang bertujuan sebagai organisasi yang 100 persen didanai swadaya atau tanpa sponsor.”

Cita-cita dan panggilan hati untuk bisa berbuat bagi lingkungan menjadi dasar berjalannya organisasi yang berpusat di Malang, Jawa Timur ini. “Upah” terbesar bagi anggotanya adalah ketika mereka berhasil membantu masyarakat melestarikan hutan serta menyelamatkan satwa liar. “Sampai sekarang masih swadaya. ProFauna itu harus berbasis masyarakat,” tegas ayah dua puteri bernama Nada Prinia dan Chanakya Galerita.

Jumlah anggota yang minim, tidak menyurutkan niat Rosek untuk terus mengibarkan bendera ProFauna. Perlahan, keberadaan organisasi ini terlihat di usia ke-15 nya. “Setelah 15 tahun, supporter kami yang dulunya muda dan sekarang sudah mapan, menjadi pendukung utam. Ini yang membuat posisi Profauna kuat dan independen.”

Rosek Nursahid bersama Slank, yang aktif mendukung kegiatan penyelamatan lingkungan Indonesia. Foto: Dok. Rosek Nursahid
Rosek Nursahid bersama Slank, yang aktif mendukung kegiatan penyelamatan lingkungan Indonesia. Foto: Dok. Rosek Nursahid

Aksi nyata

Tidak hanya melakukan edukasi ke sekolah atau kampus, ProFauna juga terlibat langsung dalam penyelamatan hutan dan satwa. Beberapa supporter, ikut menjaga hutan melalui kelompok Ranger ProFauna. Tugasnya, menjaga kelestarian kawasan hutan dan satwanya serta melakukan investigasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai larangan berburu satwa liar. Saat ini, fokus ranger di dua tempat, yaitu Hutan Lindung Wehea di Kalimantan Timur dan Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Yang, Jawa Timur.

Langkah ini diambil sebagai bentuk kepedulian masyarakat yang juga diatur dalam peraturan perundangan. Setiap anggota masyarakat mempunyai kewajiban untuk berpartisipasi menjaga serta melestarikan lingkungan hidup.

“Misalnya, kawasan seluas 14.000 hektar atau 20.000 hektar, hanya dijaga 3 orang dengan pintu masuk ke kawasan yang banyak, ini tidak efektif. Seperti di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), hanya terjaga di kawasan yang ada tiket masuk wisata,” ungkap Rosek yang juga membentuk Green Warrior, tim yang khusus melakukan kampanye.

Supporter ProFauna juga tersebar hingga ke Australia, Inggris, Amerika, Jerman, Swiss, Perancis, Singapura, dan Kanada. Jumlah keseluruhan, hingga 2015 mencapai 600.000 orang. Meski anggotanya mendunia, Profauna tetap mendedikasikan diri untuk alam Indonesia.

Sesuai konstitusi, Rosek tidak menampik bila ProFauna di 18 tahun sebelumnya lebih dikenal sebagai organisasi penyelamatan satwa liar. “Sebenarnya, sejak 1996, ProFauna telah terlibat dalam kegiatan penyelamatan hutan, seperti hutan di Pulau Sempu, Jawa Timur, lalu hutan kota di Malang, dan di Kapuas tahun 2000-an.”

2014, ProFauna Indonesia secara resmi berganti logo dan memberi arti pada namanya. Logo seekor lutung berubah menjadi hutan dan primata. Nama Profauna secara lengkap saat ini adalah Protection of Forest and Fauna. “Porsi untuk hutan dan satwa fifty-fifty guna meningkatkan perhatian pada isu hutan. Awalnya, 30 persen hutan dan 70 persen satwa,” tutur Rosek.

Para suporter ProFauna di Jawa Timur menghadiri peluncuran New Profauna Indonesia. Foto: Petrus Riski
Para suporter ProFauna di Jawa Timur menghadiri peluncuran New Profauna Indonesia. Foto: Petrus Riski

Kerusakan hutan

Persoalan berkurangnya habitat satwa saat ini tidak dapat dilepaskan dari hutan sebagai rumahnya yang rusak akibat pembabatan besar-besaran, maupun kebakaran. Profauna mencatat, laju deforestasi yang semakin besar, menyisakan luasan hutan Indonesia hanya 82-85 juta hektar. Walaupun pemerintah membantah dan menyebut masih 120 juta hektar. Meski ada perbedaan, fakta di lapangan menunjukkan hutan makin berkurang, tidak hanya di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, juga di Sulawesi dan Papua.

“Di Jawa hutan kita sangat terbatas, tetapi perubahan fungsi terus terjadi tanpa kontrol yang baik. Belum di Kalimantan dan Sumatera serta daerah lain,” tutur Rosek.

Tingginya laju deforestasi, menurut Rosek, tidak lepas dari banyaknya kebijakan pemerintah yang tumpang tindih, termasuk masalah pemetaan. “Catatan Profauna hingga 2015, ada konsensi seluas 5,2 juta hektar untuk sawit. Bagaimana mungkin, pemerintah punya program melestarikan hutan dengan pemberian izin sawit, apalagi dilakukan di tempat yang sama.”

Di lapangan, ditemukan juga berbagai izin pembukaan hutan yang legal tapi ilegal. Rosek menyebut legal karena memang ada izin yang dikeluarkan, namun dianggap ilegal karena dilakukan di kawasan-kawasan konservasi alam yang sebetulnya tidak boleh ada tambang maupun aktifitas perkebunan.

Gerakan masyarakat di Indonesia yang memiliki kesadaran terhadap isu lingkungan masih lemah, belum seperti di negara maju. Gerakan menolak sawit atau kegiatan perusakan hutan, seharusnya dapat dilakukan dengan menolak membeli produk dari perusahaan yang terbukti melakukan perusakan lingkungan itu.

ProFauna berharap, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih proaktif dalam konteks penanganan isu-isu satwa liar dan hutan. Bukan sekadar kebijakan yang reaktif ketika kasus yang terjadi membesar atau bertambah parah. “Ketika asap kebakaran muncul, yang di DPR sibuk mengusulkan pembentukan Pansus. Menurut kami, itu tidak perlu karena UU-nya ada dan jelas. Tindakan preventif yang harus dilakukan, bukan membentuk pansus apalagi aturan baru.”

Selain itu, masyarakat juga diajak untuk peduli dan terlibat dalam aksi nyata penyelamatan lingkungan, dalam hal ini hutan dan satwa. Bila masyarakat tidak peduli, apa pun upaya pemerintah tidak akan membuahkan hasil untuk menjaga dan melindungi alam beserta isinya. “Sehebat apa pun yang dilakukan negara, tidak akan berhasil selama masyarakat tidak peduli dan tidak beraksi. Hanya menunggu kepunahannya saja.”

23 Desember 2015, ProFauna Indonesia genap 21 tahun. Usia yang tidak mudah dicapai untuk organisasi berbasis masyarakat dengan biaya swadaya anggotanya. Berbagai tantangan harus dihadapi, selain persoalan deforestasi hutan, ada juga daftar panjang satwa Indonesia yang terancam hidupnya baik karena kehilangan habitat maupun perburuan. “Satwa liar dan hutan tidak bisa bicara, namun kita bisa bicara dan berbuat untuk mereka,” papar Rosek.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,