Memasuki musim penghujan, permasalahan banjir kerap kali melanda kawasan Bandung Raya. Bencana banjir seolah menjadi masalah klasik yang sulit diantisipasi. Setiap tahun, selalu saja ada wilayah atau pemukiman warga yang berada di daerah resapan air (DAS) yang terkena banjir.
Salah satunya yakni yang dirasakan warga Kampung Cieunteung, Kelurahan/Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Di tahun 2015 ini warga Kampung Cieunteung sudah merasakan banjir sejak musim penghujan di pertengahan November lalu. Akibatnya sebagian warga harus rela mengungsi dari tempat tinggalnya, dan sebagian lagi memilih bertahan.
Warga Kampung Cieunteung Udin Sopandi (56), mengatakan sering terjadinya banjir di kampungnya diakibatkan oleh posisi tanah yang lebih rendah dari permukaan Sungai Cigado. Sehingga, kata Udin, jika air meluap maka sudah dipastikan akan banjir. Udin bersama sejumlah warga lain belum berniat untuk mengungsi karena banjir belum begitu parah.
“Saya bersama beberapa warga lain belum berniat mengungsi karena melihat debit air masih belum parah. Disamping itu saya memiliki perahu yang sengaja dibeli 2 tahun lalu, sehingga nantinya mempermudah untuk mengungsi apabila banjir makin meninggi,” ujaranya kepada Mongabay pada akhir Desember lalu.
Sungai Cigado sendiri merupakan anak sungai Citarum. Di Kampung Cieunteung terdiri dari tiga RW, yang paling sering terkena dampak banjir adalah RW 20 yang dihuni kurang lebih oleh 400 kepala keluarga. Menurut Udin, faktor lain yang menyebabkan banjir di kampungnya yakni karena kiriman air dari Kota Bandung. Minimnya daerah resapan air di Kota Bandung menjadi sebab air tak terserap dengan baik.
Menurut Udin, saat ini banjir di Kampung Cieunteung belum mendapat perhatian penuh dari pemerintah. Alasannya karena banjir sendiri belum begitu parah dampaknya terhadap warga.
“Sesekali banjir meninggi namun dua tiga hari kembali surut, kadang warga harus dihantui rasa waswas ketika banjir kembali datang sewaktu-waktu. Mau hujan mau tidak teh banjir mah suka datang begitu saja, dari pemerintah warga disuruh waspada aja,” ujarnya.
Kendati begitu, warga Cieunteung tetap menginginkan kepada pemerintah agar segera direlokasi. Pasalnya daerah tersebut merupakan daerah langganan banjir setiap tahun. Namun persoalan relokasi bagi warga yakni harga ganti rugi tanah yang belum sesuai. Warga menginginkan kompensasi dari relokasi sesuai dengan harga tanah saat ini.
Menurut Udin, awal tahun 2015 pernah ada pemetaan daerah langganan banjir yang rencananya akan dibuat kolam retensi. “Untuk biaya ganti rugi sebetulnya masih belum jelas, Cuma kisaranya untuk tanah Rp5 juta per tumbak. Sedangkan rumah kisaran Rp3 juta per meter, tetapi itu masih belum jelas,”.
Evaluasi Tata Ruang
Menanggapi persoalan banjir yang kerap melanda daerah Bandung Raya, Direktur Eksekutif Wahan Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat Dadan Ramdan mengatakan rusaknya daerah hulu yang merupakan daerah resapan air, menyebabkan persoalan di cekungan Bandung sulit teratasi. Sehingga cakupan banjir di cekungan Bandung setiap tahun semakin meluas.
“Menurut catatan kami, banjir Cekungan Bandung sudah menyergap 30 kecamatan di Cekungan Bandung. Pembangunan di Kota Bandung membawa dampak bagi daerah di sekitarnya. Harus ada kajian lingkungan hidup strategis untuk melindungi semua wilayah terdampak,” kata Dadan dalam diskusi dinamika terkait banjir di Kabupaten Bandung, pada akhir Desember lalu.
Dadan mengatakan persoalan daerah resapan air semakin diperparah dengan alih fungsi lahan di wilayah Bandung utara. Data terbaru, katanya, menunjukkan ada 262 hotel baru di wilayah Bandung Utara. “Sementara daerah itu daerah resapan air,” ujarnya.
Terkait penangan banjir, menurut anggota DPRD Kabupaten Bandung Cecep Suhendar menyarankan agar penanggulangan banjir di Kabupaten Bandung untuk segera dievaluasi. Termasuk evalusi di bidang tata ruang dan perencanaan pembangunan di cekungan Bandung. “Penggunaan ruang di cekungan Bandung harus berdasarkan perencanaan bersama dan melihat dampak ke wilayah lain,” ucapnya.
Pakar tata ruang dan drainase Intitut Teknologi Bandung, Agung Wijoyono mengatakan dibutuhkan masterplan perencanaan yang matang untuk cekungan Bandung. Menurutnya pematangan masterplan tidak bisa dilakukan hanya dalam kurun waktu 10 tahun. “Perubahan itu butuh waktu 25 tahun,” ujarnya.
Menurut Agung, masterplan drainase tiap daerah masing-masing memiliki perbedaan. Akan tetapi perbedaan itu harus disesuaikan dengan DAS-nya masing-masing. “Harus bersama-sama mengacu pada drainase sungai masing-masing,” ujarnya.
Pembangunan kanal-kanal, menurut Agung bisa menjadi solusi untuk mengatasi banjir. Meskipun membutuhkan dana yang besar hal itu mesti dilakukan untuk masa depan pembangunan. “Karena tidak mungkin kita balik lagi menjadi hutan,” ucapnya.
Sementara itu Ketua Balai Besar Wilayah Sungai Citarum Yudha Mediawan menyatakan masterplan strategis yaitu pola, rencana dan pengelolaan wilayah Sungai Citarum harus disepakati semua pihak. Sehingga penanganan banjir di cekungan banjir bisa diatasi.
“Selain itu kita juga perlu membangun budaya, pola pikir dan penegakan hukum kepada setiap masyarakat kaitannya dengan sumber daya air,” ujarnya.