,

Terbitkan Izin Lingkungan Apartemen, BLH Sleman Digugat

Ceret berbagai ukuran dibawa belasan perempuan warga Karangwuni, Kecamatan Depok, Sleman, di Lobi PTUN Yogyakarta, Senin (28/12/15). Kain merah bertuliskan “Karangwuni mengugat, cabut izin lingkungan Apartemen Uttara dan Jogja Oradidol,” melilit tubuh seorang perempuan, sambil menenteng ceret. Puluhan warga lain mengikatkan slayer tuntutan di kepala. Mereka tergabung dalam Paguyuban Warga Karangwuni Tolak Apartemen Uttara (PWKTAU).

Kedatangan mereka menghadiri sidang persiapan gugatan izin lingkungan pendirian Apartemen Uttara yang dikeluarkan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sleman.

Rita Dharani, perwakilan PWKTAU kepada Mongabay mengatakan, dari awal warga menolak pembangunan apartemen karena khawatir berdampak pada krisis air atau sumur warga kering. Kekhawatiran terbukti, kemarau 2015 beberapa sumur warga kekeringan. Belum lagi, sosialisasi rencana pembangunan tak pernah melibatkan warga.

“Saat ini, sudah pembangunan, banyak kecerobohan pekerja, beberapa kali besi jatuh di halaman rumah saya. Itu sangat berbahaya,” katanya.

Aksi menggunakan ceret sebagai simbol ancaman utama pembangunan apartemen adalah krisis air. Air, katanya, keperluan penting warga sehari-hari.

Dia menilai, perizinan bukan sebagai kontrol tetapi formalitas pembangunan, yang mengesampingkan masyarakat dan lingkungan hidup.

Ikhwan Sapta Nugraha, dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mengatakan, warga menggugat izin lingkungan apartemen karena beberapa alasan, seperti, pertama, izin lingkungan berisi data tidak benar terkait luasan bangunan. Dalam dokumen UKL-UPL luasan bangunan 9.661,2 meter persegi. “Setelah kami kaji dan verifikasi melebihi 10.000 meter persegi. Bangunan melebihi 10.000 m2 wajib Amdal.”

Kedua, izin lingkungan hanya berdasarkan koefesien dasar bangunan (KDB) yang keliru. Hasil verifikasi ternyata KDB bukanlah 40% dari luas lahan 1.660 m2 seperti klaim dalam perencanaan, ternyata 70%. Hal ini melebihi batas dalam izin pemanfaatan tanah, bila dibiarkan pelanggaran berdampak berkurangnya daerah resapan air.

Ketiga, izin lingkungan tak memegang rekomendasi Badan Koordinasi Pemanfaatan Ruang Daerah (BKPRD). “Lebih parah lagi izin lingkungan terbit pada tahapan konstruksi (sudah pembangunan). Padahal izin lingkungan sebagai instrumen pengendalian dampak pembangunan terhadap lingkungan hidup.”

Lebih lucu, katanya, izin lingkungan oleh kepala BLH Sleman, padahal Peraturan Pemerintah tentang izin lingkungan, BLH hanya berwenang memberikan rekomendasi dan pemeriksaan UKL-UPL. Sedang penerbitan izin Bupati Sleman.

“Konyol jika BLH Sleman membuat rekomendasi menerbitkan izin lingkungan yang akan diterbitkan mereka sendiri,” katanya.

Majelis hakim yang akan menyidangkan gugatan sudah ada. LBH mengecek apakah hakim atau ketua majelis sudah memiliki sertifkasi lingkungan hidup atau belum. “Jika belum, kami akan meminta majelis hakim diganti, karena kasus perlu dipimpin hakim punya pemahaman lingkungan hidup baik.”

Suryo Adiwibowo, pakar lingkungan mengatakan, dalam proyek pembangunan yang menerbitkan izin lingkungan kepala daerah. BLH hanya memberikan rekomendasi atau pertimbangan teknis. Dalam kontek Amdal atau UKL-UPL, sekretaris komisi kepala BLHD. Setelah direview komisi, kepala BLHD mengirim surat atau pertimbangan teknis kepada bupati.

“Izin lingkungan bisa keluar jika Amdal atau UKL-UPL menujukkan proyek layak lingkungan,” kata Suryo.

Ishadi, bagian hukum Sleman mengatakan, izin lingkungan sudah ada di website BLH Sleman. Soal waktu perizinan keluar, katanya, sesudah pembangunan atau sebelum serta terhadap berbagai alasan pengugat akan dibuktikan di persidangan.

Pembangunan Apartemen Uttara di Jalan Kaliurang Kilometer 5,5, Sleman, Yogyakarta. Foto: Tommy Apriando
Pembangunan Apartemen Uttara di Jalan Kaliurang Kilometer 5,5, Sleman, Yogyakarta. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,