, ,

Sampai Akhir 2015, Jogja Cabut 28 Izin Pertambangan

Dinas Pekerjaan Umum-Energi dan Sumber Daya Mineral (PU-ESDM) Yogyakarta mencabut 28 izin pertambangan hingga akhir 2015. Izin-izin itu ada yang tumpang tindih dengan hutan lindung maupun tak aktif. Demikian dikatakan Edi Indrajaya, Kepala Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Dinas PU-ESDM di Yogyakarta, akhir Desember.

“Sepuluh IUP dicabut karena overlapping dengan hutan lindung dan sudah tidak aktif. Delapanbelas masa berlaku habis dan tidak diperpanjang,” katanya.

Kala koordinasi dan suvervisi (korsub) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mei 2015, Dinas PU-ESDM mendata izin pertambangan, kewajiban keuangan usaha pertambangan, pengawasan produksi, kewajiban pengolahan dan pengawasan penjualan maupun pengangkutan hasil tambang.

Dalam penataan pertambangan, katanya, sudah ada koordinasi pendataan IUP dengan seluruh di Yogyakarta. Ada 51 IUP terbit sebelum UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan ada 18 pemegang IUP clean and clear (CnC)

“Dalam temuan kami sebagian besar perizinan IUP operasi produksi, tidak melalui WIUP dan IUP ekplorasi. Tidak ada biaya pencadangan wilayah dan jaminan kesungguhan.”

Kini, ada 19 IUP di Yogyakarta masih berlaku, satu izin logam, 13 batuan dan empat izin khusus (dua di Sungai). Terkait Kewajiban keuangan pertambangan, setelah pendataan, 26 IUP membayarkan jaminan reklamasi dan pasca tambang, 11 pemegang IUP membayar iuran tetap dan 26 pemegang IUP membayar pajak mineral bukan logam dan batuan. Serta tujuh pemegang IUP mencairkan jaminan reklamasi 100%.

“Terkait pengawasan produksi pertambangan sudah diterbitkan 89 surat peringatan dan 10 lokasi penindakan hukum bersama aparat penegak hukum,” katanya.

Adapun rincian daerah penegakan hukum kegiatan pertambangan, operasi tangkap tangan (OTT) di Sleman empat lokasi, Bantul dua, Gunungkidul dan Kulon Progo masing-masing tiga lokasi. Adapun sitaan 13 ekssavator, 21 truk, tiga forklift, dua buldoser dan empat pompa sedot.

“Hingga akhir Desember 2015, 159 permohonan pertambangan, 56 berkas kembali, 98 IUP rekomendasi Dinas PU-ESDM Yogyakarta dan lima rekomendasi Kementerian ESDM.”

Untuk pertambangan di Bentang Alam Karst (KBAK) Gunung Kidul, ada tiga blok masih nambang. Yakni, Blok Ponjong, Tepus dan Panggang.

Tata kelola tak transparan

Tenti Novary Kurniawati, Koordinator Divisi Advokasi Anggaran IDEA Yogyakarta juga penelitian tentang pendapatan dari sektor pertambangan minerba Yogyakarta menjelaskan, di sini ada 19 perusahaan pertambangan mengantongi IUP dan satu memegang kontrak karya (KK). Di setiap perizinan baik KK, IUP atau PKP2B dan setiap tahapan tertentu dalam pertambangan (WIUP, ekplorasi, dan eksploitasi), perusahaan tambang harus menyetorkan pajak pertambangan, land rent dan biaya pencadangan pertambangan.

Dalam temuan riset, potensi penerimaan pemerintah dari bea pertambangan selalu kurang optimal bila dibandingkan potensi. Sistem self assessment dalam pembayaran bea pertambangan menjadi salah satu faktor kekurangoptimalan negara. Selain itu, katanya, ada ketidakjujuran pelaku industri ekstraktif terkait data dan informasi pertambangan, semisal besaran volume produksi tambang.

Dalam riset itu, Tenti tak hanya fokus pendapatan negara sektor pertambangan dan minerba juga tata kelola. Temuan Tenti, tata kelola pertambangan dan minerba Yogyakarta belum transparan dan tak partisipatif.

Dalam standar internasional tata kelola industri ekstraktif mulai dampak sosial dan lingkungan harus detail. Contoh, pertambangan pasir besi di Kulon Progo pada tahap eksplorasi sudah menimbulkan dampak buruk, warga kampung saling tak bertegur sapa. “Sosial masyarakat menjadi rusak. Pada tahap operasi produksi, lingkungan rusak dan tatanan sosial rusak.”

Temuan riset itu juga soal jaminan reklamasi yang tak sebanding dengan kerusakan. Seharusnya, dana reklamasi lebih besar karena tak hanya lingkungan diperbaiki juga risiko sosial. Di Yogyakarta, hingga kini reklamasi pertambangan belum berjalan.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta Hamzal Wahyudi menolak keras usaha pertambangan Yogyakarta karena lebih banyak dampak negatif, salah satu masalah sosial masyarakat dan lingkungan. Dia mencotohkan, pertambangan pasir besi Kulon Progo menyebabkan warga yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pesisir (PPLP) dikriminalisasi.

“Dalam proses kontrak karya banyak kejanggalan, tidak ada pelibatan masyarakat. Amdal tidak jelas, dampak sosial dan lingkungan sudah terjadi.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,