,

Cengkih yang Pernah Jaya di Aceh

Cengkih pernah menjadi primadona di Aceh. Tumbuhan yang ditanam mandiri oleh masyarakat di beberapa daerah tersebut pernah melambungkan nama Aceh. Meski pernah ditinggalkan, ketika harganya dimonopoli saat Orde Baru berkuasa, kini masyarakat di Kabupaten Aceh Besar, Sabang, dan Simeulu mulai mengelola kembali kebun yang sempat mereka terlantarkan.

Pemilik kebun cengkih di Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Muhammad, mengutarakan, ekonomi keluarganya pernah berjaya dengan berkebun cengkih. “Sebelum Orde Baru, harga cengkih sangat mahal. Saat itu, satu kilogram setara satu gram emas. Misal, harga emas Rp 500.000 per gram maka seperti itulah harga cengkih.”

Muhammad memaparkan, semua pemilik kebun dapat mengumpulkan uang untuk naik haji, membangun rumah, termasuk menghidupi sejumlah pekerja. Warga tidak membutuhkan lahan yang luas, tidak seperti kebun sawit. “Sekarang, saya punya 50 batang dengan beberapa pekerja untuk memetik.”

Muhammad mengatakan, cengkih merupakan tanaman yang tidak merusak lingkungan. Tanaman ini juga tidak memerlukan banyak air. Harga jual bunga cengkih lebih mahal dari sawit yang harusnya dikembangkan oleh pemerintah, bukan malah membuka lahan sawit dan merusak hutan. “Di Lhoknga, meskipun cengkih banyak ditanam masyarakat, hutan di sekitar tidak rusak. Ini tanaman warisan nenek moyang yang harusnya kita kembangkan.”

Petani di Kemukiman Lamlhom, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh memetik cengkih. Perlahan, masyarakat mulai mengelola kembali kebun mereka. Foto: Junaidi Hanafiah
Petani di Kemukiman Lamlhom, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh memetik cengkih. Perlahan, masyarakat mulai mengelola kembali kebun mereka. Foto: Junaidi Hanafiah

Munandar, warga Simeulue menuturkan, pulau yang dikelilingi Samudera Hindia itu mulai digempur perkebunan sawit. Cengkih mulai ditinggalkan. “Padahal, dulu Pulau Simeulue, dikenal sebagai penghasil cengkih. Saat panen tiba, pekerja dari luar Simeulue datang karena masyarakat di Simeulue kewalahan.”

Munandar mengatakan, Pemerintah Simeulue harus menghentikan perluasan kebun sawit dan membantu masyarakat kembali menanam cengkeh. “Ini penting, untuk menjaga hutan di Pulau Simeulue yang terus berkurang akibat ekspansi sawit.”

Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Besar, Jakfar mengatakan, setelah masyarakat kembali mengurus dan mengembangkan kebun cengkih mereka, pemerintah kabupaten terus membantu petani dengan menyediakan bibit unggul. “Tahun ini, pemerintah membantu bibit 28.000 batang yang dikembangkan di Kecamatan Lhoknga, Peukan Bada, dan Pulo Aceh.”

Jakfar mengatakan, pengembangan cengkih di Kabupaten Aceh Besar tidak terlalu sulit dilakukan karena masyarakat cukup familiar. Aceh Besar juga ditetapkan sebagai daerah pengembang cengkih, lada, dan kelapa. “Aceh Besar merupakan pusat penghasil bibit cengkih,” ungkapnya.

Data Pemerintah Aceh menunjukkan, produksi cengkih yang ditanam masyarakat terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2011, jumlah cengkeh yang berhasil di produksi mencapai 1.435 ton. Berikutnya, 2012 naik menjadi 2.885 ton dan di 2013 meningkat hingga 3.379 ton.

Kebun cengkih masyarakat di Aceh mulai terdesak perkebunan sawit. Foto: Junaidi Hanafiah
Kebun cengkih masyarakat di Aceh mulai terdesak perkebunan sawit. Foto: Junaidi Hanafiah
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,