,

Dulu Kerap Kekeringan, Kini Desa Patemon Kaya Air

Kisah sukses warga Desa Patemon melakukan konservasi air di Lereng Gunung Merbabu

Halaman rumah Joko Waluyo di Desa Patemon, Kecamatan Tengaran, Semarang, Jawa Tengah, masih basah terkena hujan. Pepohonan dan rumput tumbuh subur. Capung dan kupu-kupu berterbangan, sesekali hinggap di bunga dan dedaunan. Di halaman rumah itu, ada dua sumur resapan bervolume delapan meter kubik.

Sumur resapan Joko dan warga lain bantuan Indonesia Urban Water, Sanitation and Hygiene (IUWASH), tanggung jawab Coca-Cola Foundation, dan Serikat Paguyuban Petani Qoriyah Toyyibah (SPPQT) Salatiga. “Ini baru hujan, semua air masuk sumur resapan,” katanya, Desember 2015.

Waktu menujukkan pukul 10.15. Beberapa warga desa hadir di rumah Joko. Mereka anggota Paguyuban Petani Sendang Rahayu.

Joko mengawali cerita. Pada 2005, dia bersama Kabul, memikirkan kondisi air makin sulit, mulai sumur dangkal, mata air dan sungai. Awalnya, mereka beranggapan penyebab air tanah sudah banyak disedot industri.

Pada 2005, dia mundur sebagai Kepala Desa Patemon. Lalu membentuk Paguyuban Petani Sendang Rahayu, sekaligus didampuk menjadi ketua. Awal pembentukan, paguyuban untuk menyejahterakan petani. Mereka pikir, tak ada sejahtera kalau air sulit.

Mereka merancang aksi melestarikan air, salah satu dengan meresapkan kembali air ke tanah. Ide ini dituangkan dalam peraturan desa. Isinya, setiap warga wajib membuat lubangan untuk menampung air.

“Boleh pakai biopori, sumur resapan, atau lubang dalam bentuk apa saja, yang penting air teresap,” katanya.

Pada 2012-2013, warga mengalami kekeringan parah. Air sehari-hari sulit, apalagi untuk ternak. Setiap hari warga meminta bantuan air pemerintah kabupaten, namun tak bisa mencukupi.

Pada 2014, hadir program sumur resapan IUWASH bersama SPPQT. Awalnya, banyak warga menolak. Joko menerima.“Prinsip saya, apa yang diambil dari tanah harus dikembalikan ke tanah.”

Joko sedang menujukan dan menceritakan cara kerja sumur resapan di depan rumahnya. Foto: Tommy Apriando
Joko sedang menujukan dan menceritakan cara kerja sumur resapan di depan rumahnya. Foto: Tommy Apriando

Kabul, warga Desa Patemon juga Dewan Permusyawaratan Desa (DPD) sehati dengan Joko. Dia bercerita, ketika masih remaja, masih bisa berenang di sungai. Kini kering walau musim hujan. Dia berpikir, 30 tahun kemudian, jika tak ada upaya mengembalikan air ke tanah melalui sumur resapan, pasti air akan habis.

Belum lagi, industri masuk Patemon dan desa tetangga yang mengambil air dengan sistem bor kedalaman lebih 50 meter. “Sudah pasti berdampak buruk. Air itu kebutuhan vital, tak mudah memperoleh air.”

Untuk itu, katanya, harus ada langkah mengembalikan air ke tanah. “Setiap air hujan ke tanah, harus kembali ke tanah,” kata Kabul.

Kini, warga merasakan hasil. Kala kekeringan 2015, warga Patemon berlimpah air. Dulu, katanya, halaman rumah dan pinggiran jalan desa banyak limpasan air. Sejak ada sumur resapan, semua terserap. Sumur resapan pernah ujicoba Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, dengan memasukkan air dua tangki ukuran 4.000 liter. Hasilnya, tidak ada air luber, semua terserap.

“Dulu sulit menyadarkan masyarakat, sekarang mereka minta dibangun sumur resapan.”

Senada dikatakan Budi. Warga, katanya, sudah  merasakan buah manis sumur resapan. Ada 12 keluarga menggantungkan air bersih dari sumur Budi. Di halaman rumah, dua sumur resapan bervolume delapan meter kubik. Di dekat rumah Budi, ada sekitar 15 sumur resapan.

“Tahun 2015, air tanah naik. Dulu satu jam sedot, air habis. Sekarang 24 jam non stop air masih berlimpah. Walau musim kemarau,” kata Budi.

Sepuluh tahun belakangan, kekeringan kerab melanda Patemon. Diapun membuat sumur gali lima tahun lalu, sekitar 25 meter. Setiap tahun dia harus memperdalam sumur, karena air makin susah.

Dengan sumur resapan, semua air hujan masuk. “Dampak terhadap mata air belum signifikan tetapi durian, rambutan dan mangga, tak kering ketika kemarau. Rumput dan tanaman lebih subur,” kata Budi.

Puji Rahayu, Kepala Desa Patemon mengatakan, ada 288 sumur resapan di Desa Patemon bantuan IUWASH, SPPQT, CRS perusahaan dan dana desa.

Secara geografis, mata pencarian warga Patemon mayoritas petani dan peternak. Penduduk desa sekitar 4.000 orang atau 800 keluarga. Luas desa 400 hektar.

Dalam rencana pembangunan jangan menengah desa (RPJMDes) warga akan membangun sumur resapam termasuk perawatan. “Kami punya target 1.000 sumur resapan di Patemon. Setiap tahun akan dibuatkan dua sumur,” kata Puji.

Kepala Desa Patemon Puji Rahayu menceritakan tentang Perdes Tata Kelola Air di Desa Patemon. Foto: Tommy Apriando
Kepala Desa Patemon Puji Rahayu menceritakan tentang Perdes Tata Kelola Air di Desa Patemon. Foto: Tommy Apriando

Di Patemon, ada beberapa pabrik. Setiap pabrik wajib membuat sumur resapan dengan volume 20 meter kubik mengacu pada perdes. “Perdes ada sanksi, seperti bagi siapa yang menebang pohon, harus mengembalikan dan menanam pohon.”

Puji menekankan, tahun ini perusahaan mesti merealisasikan pembuatan sumur resapan.

Desa ini juga tengah menyusun aturan kedaulatan desa, mengacu UU Desa. Desa, katanya, punya kedaulatan mengelola sumber daya alam. “Kita harus berbuat sesuatu jangan sampai orang lain rugi. Prinsipnya bukan Indonesia membangun desa, sebaliknya. Jika desa tidak punya kedaulatan, makin terjajah.”

Edy Tryanto, Junior Behaviour Change Communication Specialist IUWASH mengatakan, pemilihan Patemon sebagai proyek karena ada dua sumber mata air dengan debit harus terjaga, yakni, mata air Senjoyo dan Ngablak di Ungaran.

Air di rumah Budi tidak sulit disedot, dampak dari adanya sumur resapan, walaupun di musim kemarau. Foto: Tommy Apriando
Air di rumah Budi tidak sulit disedot, dampak dari adanya sumur resapan, walaupun di musim kemarau. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,