,

Opini: Berkaca Pada Putusan Kasus PT. BMH

*Yenrizal, Doktor Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah Palembang. E-mail: [email protected]. Tulisan ini opini penulis.

Putusan kasus PT. Bumi Mekar Hijau (BMH) yang digugat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebesar RP7,9 triliun di Pengadilan Negeri (PN) Palembang pada 30 Desember 2015, hingga kini masih menyedot perhatian masyarakat luas.

Publik kecewa dan marah, karena dalam putusannya, majelis hakim yang diketuai Parlas Nababan SH, membebaskan PT. BMH dari segala tuntutan yang dilayangkan KLHK terkait kebakaran yang terjadi di konsesi perusahaan tersebut seluas 20 ribu hektare, 2014. Website PN Palembang diretas. Hakim Parlas Nababan habis di-bully.

Masyarakat kecewa berat, karena asap merupakan masalah bersama, dan sudah masuk dalam kebenaran logika bahwa asap adalah bahaya. Karenanya, siapapun yang diduga pelaku pembakar lahan, apalagi perusahaan, harus dihukum.

Satu hal kunci, persoalan hukum di pengadilan adalah pembuktian di persidangan. Seberapa kuat fakta-fakta yang dimunculkan, dan sejauh mana kemampuan para pengacara dan penuntut hukum untuk bertarung, inilah yang menjadi dasar keputusan hakim. Ini idealnya. Bila di luar ini semua ada faktor X, tetap sulit untuk dijadikan alasan hukum, kecuali memang ada pembuktian akan hal tersebut.

Berkaca dari kasus tersebut, penulis coba memberikan catatan penting dari sisi penggugat serta logika hakim yang digunakan ketika mengambil keputusan penting itu. Tentunya, pandangan ini dibingkai dari kacamata masyarakat yang selama ini menderita akibat kabut asap serta KLHK yang mewakili aspirasi jutaan masyarakat.

Pertama, materi gugatan. Inilah titik awalnya. Pertanyaan penting dari materi ini adalah seberapa kuat argumen hukum yang diberikan? Ini pondasi kokoh untuk menunjukkan kekuatan dan keseriusan KLHK dalam mengajukan tuntutan hukum. Kelemahan pada wilayah ini akan dijadikan amunisi bagi tim kuasa hukum PT. BMH.

Pada materi gugatan, kelemahan tersebut jelas terlihat, terutama soal kriteria atau fakta terjadinya kebakaran lahan. Bagian ini memang harus dirinci detil mengenai areal yang terbakar, luasannya, sumber api, efek yang ditimbulkan, serta kemana sebaran kebakaran tersebut.

Begitu pula dengan klaim terjadinya kerusakan lahan akibat pembiaran yang mencapai 20.000 hektar di PT. BMH. Tentu saja diperlukan pemaparan yang jelas, lengkap, dan lokasi kejadian. Bila membaca materi gugatan yang diajukan KLHK, rincian tersebut belum terlihat jelas sehingga masih bisa diperdebatkan.

Bila melihat salinan putusan No. 24/Pdt.G/2015/PN.Plg, harus diakui, banyak gugatan yang diajukan KLHK terbantahkan oleh tergugat, yang kemudian dijadikan dasar  majelis hakim untuk membuat keputusan. Artinya, kita harus menggunakan energi yang besar, kualitas gugatan yang kuat, dan tim yang solid, ketika melakukan gugatan persoalan lingkungan hidup.

Kedua, masalah lingkungan hidup, terlebih kebakaran lahan dan kabut asap adalah persoalan yang menerpa semua orang, terutama di Sumatera Selatan. Pada 2014 dan 2015, bahkan beberapa tahun sebelumnya, masyarakat sudah menderita akibat kebakaran dan kabut asap. Karena itu, dukungan masyarakat terhadap semua kasus pelanggaran lingkungan hidup harus disertakan.

Apalagi, bila persoalannya bersinggungan dengan perusahaan besar bermodal kuat, partisipasi masyarakat harus ditingkatkan. Berkaca pada kasus PT. BMH ini, keterlibatan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil, khususnya di Sumatera Selatan, bisa dikatakan minim.

Ini harus diperhitungkan kembali, karena masukan dan saran yang diberikan berbagai pihak pastinya akan memperkuat posisi maupun psikologis penggugat. Penggalangan opini publik, minimal dukungan moril dengan dasar keadilan dan kemaslahatan bersama terhadap kelestarian lingkungan hidup, harus dilakukan. Persoalan siapa yang menang atau kalah, tentunya hukum yang akan menjawab.

Aksi teatrikal yang dilakukan mahasiswa di PEngadilan Negeri Palembang saat persidangan kasus PT. BMH pada 30 Desember 2015 lalu. Foto: Taufik Wijaya
Aksi teatrikal yang dilakukan mahasiswa di Pengadilan Negeri Palembang saat persidangan kasus PT. BMH pada 30 Desember 2015 lalu. Foto: Taufik Wijaya

Ketiga, bagi masyarakat Sumatera Selatan (Sumsel) dan masyarakat lain yang pernah terpapar kabut asap, pedihnya asap dan terganggunya kesehatan, jelas merupakan persoalan kesehatan krusial. Andai ditanya ke warga Sumsel, apakah membakar lahan yang menyebabkan kabut asap merupakan perbuatan merusak lingkungan, saya yakin jawabannya pasti merusak.

Hal ini pun tercantum dalam UU No. 32/2009 pada ketentuan umumnya, yang berbunyi kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Ada pertautan antara kebenaran logika publik dengan kebenaran yang diatur dalam undang-undang tersebut yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Karena itu, menjadi aneh ketika logika hakim dalam putusannya mengatakan bahwa kebakaran lahan yang terjadi itu tidak mengindikasikan bahwa tanah telah rusak. Lahan masih berfungsi baik sesuai peruntukannya sebagai hutan tanaman industri. Di atas bekas lahan yang terbakar tersebut tanaman akasia dapat tumbuh kembali secara baik (hal 114 pada Putusan No. 24.Pdt.G/2015/PN.Plg).

Masalahnya disini adalah, dalam materi gugatan dan tuntutan KLHK tidak disebutkan dampak yang ditimbulkan dari kabut asap tersebut. Yang dimunculkan justru soal kerusakan lahan. Agaknya, dari sini lah logika hakim itu muncul.

Mungkin, memang betul PT. BMH tidak terbukti melakukan pembakaran hutan dan lahan (dalam versi hakim). Namun, jika logika tersebut terus digunakan, pastinya akan memberikan preseden buruk bagi penegakan kasus lingkungan hidup di masa depan.

Patut diperhatikan, ada konsep penting soal lingkungan hidup yang membuatnya berbeda dengan kasus lain, yaitu sustainability/keberlanjutan. Pada UU 32/2009 dituliskan asas pelestarian dan keberlanjutan. Makna keberlanjutan di sini adalah bumi ini bukan hanya milik manusia hari ini, tapi warisan untuk generasi mendatang. Karena itu, logika yang digunakan dalam melihat masalah lingkungan hidup harusnya logika berkelanjutan. Bukan logika sempit dan jangka pendek.

Keempat, kasus lingkungan hidup tidak bisa dilihat parsial. Lingkungan hidup merupakan ekosistem yang terdiri berbagai unsur di dalamnya, saling terkait. Ada unsur alam secara fisik, flora dan fauna, juga manusia. Semua adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Orang tua kita sejak dulu sudah berkata, “tidak ada asap kalau tidak ada api.” Artinya, semua hal saling berhubungan. Kebakaran lahan memang terhubung langsung ke tanah, tapi juga berdampak langsung pada udara, cuaca, hutan, hewan, dan manusia. Dalam perspektif komunikasi lingkungan, ini dinamakan kesatuan hidup semua unsur lingkungan alam. Rusaknya salah satu unsur, mempengaruhi banyak unsur, bukan hanya satu.

Kelima, kita berharap keputusan pengadilan yang membebaskan PT. BMH dari tuntutan, tidak memperparah kerusakan lahan dan kebakaran hutan di Sumatera Selatan dan daerah lain. Saat ini, kita menunggu proses banding yang diajukan KLHK.

Kita berharap, semua kelemahan pada tuntutan sebelumnya segera diperbaiki, dan unsur masyarakat ikut dilibatkan. Sehingga, KLHK tidak berjalan sendiri. Minimal ada yang menemani, sembari mengawasi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,