,

Lahan Pertanian jadi Bangunan di Magelang Picu Masalah Lingkungan

Alih fungsi lahan pertanian ke permukiman dan usaha-usaha sekunder dan tersier memicu masalah lingkungan dan perubahan sosial di Magelang, Jawa Tengah. Demikian pemaparan Setiowati, pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional  saat ujian terbuka Doktor Ilmu Lingkungan, di Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Sabtu, (9/1/16) dalam disertasi berjudul ”Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian menjadi Lahan Non Pertanian di Magelang, pendekatan Spasial-Ekolologikal.”

Setiowati meneliti enam kecamatan, yaitu di Mungkid (16 desa), Mertoyudan (20 desa), Secang (13 desa), Dukun (14 desa), Bandongan (14 desa) dan Salam (12 desa).

Hasil penelitian ini menunjukkan, lahan jadi bangunan adalah sawah irigasi 412,65 hektar (66,91%), sawah tadah hujan 47,07 hektar (7,54 %), tegalan 24,00 ha (3,84 %), kebun campur 114,47 hektar (18,34 %), padang rumput dan semak belukar 21,96 hektar (3,36 %).

Perubahan fungsi ini, katanya, menyebabkan, erosi tanah, banjir, genangan periodik, kebisingan, dan kendungan debu di udara. Juga masalah sampah, jenis dan jumlah fasilitas umum, lapangan kerja non pertanian, pembangunan meningkat dan alih profesi dari pertanian ke non pertanian.

“Sebagai implikasi kebijakan, Pemerintah Magelang seharusnya menata ruang yang menjamin keamanan sawah beririgasi. Juga meningkatkan insentif untuk pemilik sawah beririgasi bagi yang mempertahankan dan disinsentif bagi pengubah peruntukan.”

Penelitian ini, katanya, diukur kualitatif berdasar persepsi masyarakat,  dampak pada penurunan kesuburan tanah, kuantitas air tanah, dan kualitas air irigasi. Juga, fungsi saluran irigasi, lapangan kerja pertanian, budaya wiwit saat panen, budaya gotong royong dan budaya ronda di masyarakat.

Kesuburan lahan pertanian di Magelang, terancam menjadi bangunan untuk perumahan. Foto: Tommy Apriando
Kesuburan lahan pertanian di Magelang, terancam menjadi bangunan untuk perumahan. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,