,

Siapkah Pemerintah Antisipasi Kelimpahan Tuna Dari Dampak Pasca El-Nino?

Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) telah memprediksikan El-Nino yang masih berlangsung dan masih kuat dampaknya, serta baru akan mulai turun pada April 2016.

“Dampak El-Nino di Indonesia masih akan terasa sampai Maret tahun ini, hingga potensi titik api mengindikasikan kebakaran hutan dan lahan di beberapa daerah,” kata Kepala Pusat Meteorologi Publikasi BMKG Mulyono R Prabowo saat rapat bersama jajaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Manggala Wanabakti, di Jakarta, Senin (11/1/2016).

El-Nino, katanya, mulai terjadi April dan puncak Desember 2014. Kala itu, indeks El-Nino mencapai 2,40. Kini, terpantau 2,20 yang menunjukkan El-Nino kuat dan diprediksi bertahan hingga beberapa minggu ke depan kemudian secara gradual meluruh. El-Nino, katanya, mulai meluruh April hingga berangsur-angsur menemukan kondisi netral.

Untuk sektor pertanian dan kehutanan, El-Nino akan berdampak buruk. Tetapi bagi sektor perikanan laut, El-Nino yang kuat dengan prediksi diikuti oleh La-Nina yang kuat bakal terjadi pada 2016, berdampak positif bagi Indonesia.

Lektor Kepala bidang Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB, Alan Koropitan mengatakan dari pengalaman yang terjadi pada 1997/1998, ketika El-Nino kuat akan diikuti oleh La-Nina, menjadikan warm pool region akan bergerak masuk ke wilayah perairan Indonesia bagian timur.

“Jadi, kemungkinan besar El Nino yang kuat saat ini (2015/2016) akan diikuti oleh La Nina pada tahun 2016 ini juga,” katanya.

Hal tersebut berdampak menguatkan upwelling arus laut, terutama terjadi di selatan Jawa dan Nusa Tenggara. “Khusus di daerah-daerah upwelling,  akan melimpah ikan-ikan pelagis kecil,” kata Alan yang dihubungi Mongabay pada minggu kemarin.

Dampak El-Nina menyebabkan warm pool region—semacam kolam air panas, kawasan laut yang airnya lebih panas dibanding sekitarnya— di Lautan Pasifik akan bergerak menjauhi Pasifik Barat menuju ke tengah.

Namun ketika La-Nina terjadi, akan terjadi sebaliknya, kolam air panas itu akan bergerak masuk perairan Indonesia bagian timur.

“Kita bakalan kelimpahan ikan pelagis besar  yaitu tuna, yang suka berkumpul di warm pool region, yang bergerak dari Pasifik Barat menuju ke perairan timur Indonesia.  Tuna khususnya cakalang dan madidihang suka berkumpul di area warm pool tersebut,” terangnya.

Namun, mendekatnya warm pool region itu juga bakal mengakibatkan pemutihan karang (coral bleaching) di perairan timur Indonesia.

Nelayan melakukan bongkar muat ikan hasil tangkapan, termasuk ikan tuna di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada akhir November 2015. Foto : Jay Fajar
Nelayan melakukan bongkar muat ikan hasil tangkapan, termasuk ikan tuna di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada akhir November 2015. Foto : Jay Fajar

Sedangkan La-Nina yang terjadi setelah El-Nino,  diprediksi membuat curah hujan tinggi di Indonesia.  “Kondisi La-Nina akan mengakibatkan curah hujan tinggi, sehingga jika tidak dijaga, limbah organik rumah tangga dan industri yang masuk ke badan sungai dan menuju pesisir, akan mencemari perairan. Akibatnya adalah eutrofikasi perairan dan juga peluang terjadi harmful algae bloom atau alga yang sifatnya beracun,” jelasnya.

Selain itu, terjadi fenomena pengasaman laut yang sifatnya slow on set sebagai akibat perubahan iklim, yang berdampak pada jenis kerang-kerangan laut.  “Sejak revolusi industri pada 1790 sampai sekarang, pH laut telah turun 0,1,” kata Reader Oceanografi Thamrin School ini.

Dia melihat banyak pihak salah menganalisis dampak terjadinya El-Nino, La-Nina dan pengasaman laut, dengan menyederhanakan sebagai dampak dari perubahan iklim.

“Isu perubahan iklim terkadang salah arah, sering tercampur dengan variabilitas iklim, yang memang juga dipengaruhi oleh perubahan iklim. Namun, variabilitas iklim itu adalah fenomena yang berulang, seperti El-Nino dan La-Nina atau Madden-Julian Oscillation,” jelasnya.

Antisipasi Pemerintah

Kelimpahan ikan pelagis besar seperti tuna, menjadi berkah bagi nelayan di perairan timur Indonesia. Untuk itu, pemerintah harus mengantisipasi dan bersiap menghadapinya.

Alan melihat pemerintah harus menyiapkan infrastruktur dari cold storage penyimpanan ikan, armada kapal-kapal besar penangkap ikan sampai ke industri pengolahan ikan.  “Pemerintah agar mengoptimalkan penangkapan tuna di perairan Indonesia timur, khususnya di WPP (wilayah pengelolaan perikanan) 717, di utara Papua,” katanya.

Dia melihat pemerintah belum siap dengan armada kapal besar penangkap ikan, karena adanya peraturan menteri kelautan dan perikanan terkait moratorium kapal eks asing. Banyak sekali kapal besar yang tidak melaut karena peraturan tersebut.

“Kita tidak siap dengan armada kapal besar. Ini harus diantisipasi oleh KKP. Bagaimana armada kapal perikanan kita? Kapal eks asing itu bagaimana statusnya? Kalau tidak layak, bagaimana mempersiapkan armada kapal?” lanjut Alan.

Saat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Tim Satgas IUU Fishing sedang melakukan analisa evaluasi (anev) terhadap semua kapal besar penangkap ikan.

Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando
Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando

Data KKP dan KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia) pada 2015, sebanyak 635.820  kapal atau 99 persen armada perikanan Indonesia beroperasi di perairan kurang dari 12 mil laut. Kapal tersebut berspesifikasi kapal tanpa mesin dan atau mesin tempel.

Sedangkan 4.320 kapal besar berukuran diatas 30 gross tonnage (GT) atau 1 persen dari jumlah armada kapal di Indonesia yang beroperasi di perairan zona ekonomi ekslusif (ZEE) sedang dievaluasi (anev) oleh Tim Satgas IUU Fishing.

“Artinya selama ini 4320 kapal itu belum selesai dengan anev.  Apa yang bisa diharapkan dari kapal dibawah 12 mil dengan kelimpahan tuna sekarang?” kata anggota Dewan Pakar KNTI itu.

Dengan masih berjalannya anev, pemilik kapal besar takut beroperasi karena takut dipermasalahkan status kapalnya. Alan mengibaratkan terjadinya kekosongan penangkapan ikan di perairan Indonesia.

“Saya ibaratkan, terjadi kekosongan di laut karena tidak ada aktivitas penangkapan ikan. Betul ada nelayan tradisional (dengan kapal kecil), tapi kapasitas berapa mil (sehingga terbatas operasi penangkapan ikannya),” katanya.

Oleh karena itu, dia mengharapkan kejelasan hasil anev terhadap kapal besar untuk segera mengisi armada penangkapan ikan sebagai antisipasi kelimpahan tuna.

“Segera diperjelas hasil anev. Kalau (kapal) salah ya dihukum. Kalau benar ya dipulihkan. Kita berpacu dengan untuk waktu antisipasi La-Nina dengan kelimpahan tuna, atau sekarang dengan El-Nino dengan pelagis kecil,” jelasnya.

Pengadaan Kapal

KKP sendiri telah memprogramkan pengadaan 4.000 kapal pada 2015-2016  dengan dana alokasi khusus (DAK) sebesar Rp4,7 triliun, yang akan dibagikan kepada nelayan.

“Jadi ada 3.500 kapal yang akan dibagikan kepada nelayan. Dananya itu dari APBN. Selain itu, ada juga kapal angkut yang akan ikut dibagikan. Jika dijumlahkan total, berarti ada 4.000 kapal yang akan dibagikan hingga akhir 2016 nanti,” jelas Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Sjarief Widjaja, dalam jumpa pers di Kantor KKP di Jakarta, Selasa (08/09/2015).

KKP menggandeng sejumlah pelaku usaha industri galangan kapal dalam negeri dalam pengadaan kapal. Salah satunya, adalah industri galangan kapal yang ada di Batam, Kepulauan Riau.

“Selain membantu nelayan, proyek ini juga menghidupkan industri galangan kapal dalam negeri. Jadi positifnya bertambah lagi. Kita optimis, pada akhir 2016 nanti seluruh kapal sudah bisa didistribusikan ke seluruh Indonesia,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjisatuti.

Alan melihat program pengadaan kapal tersebut baik, tetapi kapal harus disesuaikan dengan spesifikasi WPP. Karena tiap WPP bisa berbeda karakteristik perairannyanya sehingga mempengaruhi jenis kapal dan alat tangkapnya.

Kapal Pengumpul

Sambil menunggu kejelasan hasil anev terhadap kapal besar,  penangkapan ikan dilakukan oleh kapal-kapal kecil milik nelayan tradisional. Alan menjelaskan hasil penangkapan ikan dari kapal-kapal kecil tersebut akan terkumpul di pelabuhan dan tempat pelelangan ikan (TPI) di masing-masing daerahnya.

Selama ini, TPI di masing-masing daerah terkendala oleh cold storage dan pengangkutan ikan ke daerah lain, terutama ke daerah sentra industri pengolahan ikan. Oleh karena itu, Alan mengusulkan adanya kapal pengumpul ikan yang akan menampung ikan hasil nelayan tradisional untuk dibawa ke sentra industri pengolahan ikan.

“Usulannya ada kapal pengumpul dengan cold storage didalamnya, yang bakal wira-wiri mengumpulkan ikan. Kapal pengumpul ini berfungsi semacam Bulog ikan. Kalau anev kapal besar belum jelas, harus secepatnya membuat armada kapal pengumpul. Ini lebih efektif daripada pengadaan 3.000 kapal,” tegasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,