,

5 Alasan Reklamasi Teluk Palu yang Dinilai Tidak Sesuai Prosedur

Polemik tentang reklamasi Teluk Palu terus bergulir. Walhi Sulawesi Tengah menilai, Pemerintahan Kota Palu yang saat ini diemban pejabat sementara walikota, Muhamad Hidayat Lamakarate, mendapatkan informasi keliru dari bawahannya. Dalam hal ini dinas yang terkait mengenai reklamasi Teluk Palu.

“Dugaan kami, informasi yang disampaikan kepada Pak Hidayat dari bawahannya itu tidak sesuai fakta sebenarnya tentang reklamasi Teluk Palu,” ungkap Aris Bira, Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Sulteng, kepada Mongabay, Rabu (20/1/2016).

Menurut Aries, harusnya Walikota Palu tidak langsung menerima informasi yang disampaikan tanpa memeriksa benar dokumen yang diberikan. Pasalnya, sejak 2014 saat penimbunan awal dilakukan, Walhi sudah menyampaikan bahwa ada prosedural perizinan yang dilanggar oleh Pemerintah Kota Palu dalam hal izin.

Apa saja yang dilanggar? Menurut Aris, pertama, Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Nomor 16 Tahun 2011. Kedua, belum ada rencana detil tata ruang. Ketiga, belum ada zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Keempat, belum ada rekomendasi dari menteri. Kelima, melanggar Perpres 122 Tahun 2012 bahkan melanggar Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, kemudian Undang-undang 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang.

“Ini jelas tidak prosedural, sangat mengherankan jika kemudian muncul pernyataan bahwa reklamasi itu sesuai prosedur.”

Aries menjelaskan, atas beberapa analisa pelanggaran itu, Ombudsman Perwakilan Sulteng, menyampaikan bahwa reklamasi Teluk Palu telah terjadi maladministrasi dan menyarankan agar reklamasi segera dihentikan. “Kami mencatat, ombudsman sudah dua kali menyurati Pemerintah Kota Palu dan pihak pelaksana yang ditembuskan kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah.”

Sejak surat kedua disampaikan dan rapat terakhir antara Pemerintah Kota Palu, ombudsman, dan pemerintah provinsi. Hasilnya, disepakati bersama bahwa reklamasi akan dihentikan. Sayang, fakta di lapangan berbeda, proses penimbunan pantai masih berlanjut dan mengabaikan semua hal yang disampaikan segala pihak -terkait kebijakan reklamasi teluk palu- termasuk ombudsman, akademisi, dan juga Walhi.

“Bahkan, lembaga negara seperti ombudsman tidak pernah didengar. Semua temuan diabaikan, bahkan cenderung menganggap  mereka bukan lembaga negara yang harus di hormati. Padahal, sangat jelas dalam undang-undang bahwa ombudsman sebagai representasi masyarakat dalam menyelesaikan masalah administrasi.”

Walhi Sulteng berharap, kekeliruan pejabat sementara Walikota Palu terhadap reklamasi Teluk Palu segera di perbaiki, sehingga tidak membuat opini publik bahwa protes Walhi selama ini adalah sebuah kekeliruan. “Kami berharap, pejabat sementara walikota memeriksa kembali dokumen yang telah disampaikan agar infomasi yang tidak sesuai fakta segera diperbaiki.”

Selain itu, Walhi juga merespon apa yang dilakukan oleh anggota DPRD Kota Palu, yang menyuarakan penolakan atas reklamasi dan berencana melakukan dengar pendapat. “Dengar pendapat, kiranya dilakukan terbuka agar masyarakat bisa menilai keselurahan dari aktivitas reklamasi Teluk Palu tersebut,” ujar Aries.

Reklamasi Teluk Palu di Pantai Talise yang dilakukan oleh Pemerintah Palu. Foto: Walhi Sulteng

Sebelumnya, pejabat sementara walikota Palu Muhamad Hidayat Lamakarate, sebagaimana dikutip dari Radar Sulteng, pada 31 Desember 2015, menyampaikan bahwa tidak mungkin reklamasi Teluk Palu dilaksanakan terbuka jika tidak ada dasarnya.

Menurut Hidayat, ia sering ditanya masyarakat dan sejumlah pejabat serta anggota DPRD, mengenai sikapnya tentang reklamasi yang sedang berlangsung. “Jika ada laporan resmi yang meminta saya menghentikan reklamasi, saya akan jawab, apa dasarnya saya hentikan reklamasi. Reklamsi itu sesuai prosedur dan ada dasarnya. Segala persyaratan sudah pernah ditujukan kepda saya,” kata Hidayat.

Yang perlu diketahu lagi, kata dia, bahwa selaku pejabat sementara walikota, ia dilarang membatalkan segala bentuk perjanjian, kontrak maupun putusan yang telah dibuat oleh pemerintah sebelumnya. “Jadi saya tidak memiliki hak untuk menghentikan reklamasi itu. Karena semuanya sudah ada dasar hukumnya.”

Selain itu, menurut Hidayat, sebaiknya DPRD Kota Palu membuat hearing atau dengar pendapat terkait dengan reklamasi jika ada pelanggaran hukum, termasuk pelaksanaannya.

Sementara itu dikutip dari media yang sama edisi 5 Januari 2016, Sekretaris Fraksi Restorasi Pembangunan DPRD Kota Palu, Ridwan Alimuda, mengatakan bahwa permintaan hearing dari pejabat sementara walikota harus segera disiapkan. Sebab, dari hearing itu katanya, akan diketahui mana kesalahan dan mana pelanggaran reklamasi Teluk Palu.

Ridwan meyakini, pejabat sementara walikota paham, ada yang dilanggar dalam kegiatan reklamasi itu. Seperti, tidak sesuai dengan rencana Tata Ruang Wilayah yang di atur dalam Perda Nomor 6 Tahun 2011.

Selaku legislator di DPRD Palu, katanya, ia siap menggalang dukungan dari sesama anggota dewan untuk hearing soal reklamasi. Dari penggalangan dukungan, akan diketahui siapa saja anggota dewan yang mendukung reklamasi dan siapa yang menyatakan cacat prosedur.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,