, ,

Manusia dan Alam Terancam, Warga Gugat RTRW Aceh ke PN Jakpus

Masyarakat Aceh tergabung dalam Koalisi Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (Geram) akan mengajukan gugatan warga (citizen lawsuit) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, atas Qanun RTRW Nomor 19 tahun 2013,  Kamis (21/1/16).  Gugatan dilayangkan kepada Menteri Dalam Negeri, Gubernur Aceh dan DPR Aceh (DPRA) ini antara lain,  karena RTRW dinilai mengancam kehidupan manusia dan alam dengan tak memasukkan Kawasan Ekosistem Leuser serta mengabaikan keberadaan Mukim.

Nurul Ikhsan, pengacara pendamping warga mengatakan, penggugat sembilan orang mewakili masyarakat Aceh. “Sebenarnya banyak mau mendaftarkan diri sebagai penggugat, kita batasi. Yang penting ada asas keterwakilan,” katanya.

Gugatan dilakukan karena RTRW yang disahkan Pemda Aceh itu mengancam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Dalam qanun, KEL tak masuk lima kawasan strategis nasional. Pengabaian KEL, sebagai bentang alam terintegrasi mengancam keragaman hayati dan ekologi.

“Qanun juga tidak mengakui Rawa Tripa bagian kawasan strategis nasional. Juga tidak mencantumkan wilayah kelola Mukim sebagai asal usul masyarakat adat Aceh.”

Padahal, katanya, Mukim sudah diakui secara nasional maupun internasional. Pengabaian ini, mereka nilai bertentangan dengan UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang dan UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.

“Yang menggugat ini mulai berjuang dari 2006 saat Pemerintah Aceh merencanakan tata ruang wilayah yang berlaku 20 tahun. Mereka berjuang mempertahankan substansi penting seperti soal KEL, kawasan kelola hak masyarakat adat agar masuk RTRW,” katanya.

Sebelum pengesahan RTRW, Pemerintah Aceh mengadakan konsultasi publik. Masyarakat memberikan banyak masukan. Namun pada 2013, pemerintah dan DPRA justru menyepakati draf berbeda saat uji publik. “Substansi penting tak masuk.”

Aturan lain yang dilanggar dalam RTRW Aceh, katanya, Peraturan Pemerintah Nomor 26/2008 tentang RTRW, SK Menteri Kehutanan Nomor 227/Kpts-II/1995, Kepres Nomor 33 1998 dan SK Menteri Kehutanan Nomor 190/Kpts-II/2001.

“Pengabaian amanat dan ketentuan peraturan-peraturan hukum perbuatan melawan hukun oleh penyelenggara negara, Gubernur Aceh dan DPRA,” katanya.

Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri pernah evaluasi RTRW Aceh tertanggal 20 Februari 2014 dan sudah disampaikan pada pemerintah Aceh. Isinya meminta qanun RTRW disesuaikan PP Nomor 26 tahun 2008 tentang RTRW Nasional, misal penetapan pusat kegiatan nasional (PKN), kawasan lindung nasional, dan kawasan strategis nasional.

“Evaluasi Kemendagri tak dihiraukan. Kenapa KEL tidak masuk RTRW tapi di nasional jadi kawasan strategis? Kita sinyalir ada kepentingan ekonomi bermain, seperti tambang atau perkebunan.”

Rencana pembangunan yang melintasi Kawasan Ekosistem Leuser. tampaknya, ini salah satu penyebab mengapa KEL dalam Qanun RTRW Aceh dikeluarkan dari kawasan strategis nasional. Sumber: Walhi

Kamal Faisal, warga Aceh Tamiang, penggugat mengatakan, dalam qanun RTRW Aceh mengabaikan hak masyarakat adat.

“Kami jadi bingung. Kami sudah bertekad bisa menyentuh perasaan pemda dan pusat supaya. Kami inginkan tata ruang lebih baik,” katanya. Dia juga khawatir, kala KEL tak masuk RTRW akan terjadi alihfungsi lahan masif.

“Ketika dibangun tambang atau sawit dan lain-lain, kami di bawah sumber air akan terganggu. Pengalaman kami, jika terbit izin tambang, 2006, saat banjir bandang menerjang ada gelonggongan kayu seakan menabrak kawasan kami.”

Abu Kari, warga Gayo Lues juga penggugat menyatakan kekecewaan dengan tak memasukkan KEL dalam qanun RTRWA.

“Saya menggugat RTRW. Qanun itu sudah melanggar adat istiadat masyarakat adat Gayu Lues. Kalau alam rusak, kehidupan manusia juga rusak,” ujar dia.

Penggugat lain, Dahlan, warga Leuksemawe mengatakan, qanun RTRWA tak mengakomodir jalur evakuasi bencana. Padahal, Aceh rentan bencana.

Dia sebagai penggiat kebencanaan selalu berupaya menyosialisasikan risiko bencana sampai ke pedalaman. Dengan tak memasukkan jalur evakuasi bencana dalam qanun, dia merasa pemerintah tak menghargai.

“Bencana tinggi seperti banjir dan longsor. Komunitas kami punya kawasan adat. Potensi bencana ke depan sangat besar. Baru kemarin selesai banjir tujuh kecamatan. Di 27 kecamatan, setahun 16 kali banjir. Bagaimana kalau KEL tidak dianggap lagi?” katanya.

Sebelum menggugat, warga telah menyampaikan pemberitahuan terbuka tetapi tak ditanggapi hingga memilih jalur hukum.

Koordinator HAkA, Fawriza Farhan mengatakan, notifikasi submit 5 Oktober 2015. “Jadi, 60 hari setelah notifikasi kalau gak ada jawaban bisa gugat. Setelah gugatan ada proses mediasi. Harapannya, mediasi bisa selesai. Kita tak menyalahkan satu pihakpun, hanya minta pemerintah melaksanakan tanggung jawab.” Namun upaya ini tak membuahkan hasil.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,