, ,

Ekowisata Goa Pegunungan Sewu, Seperti Apa?

Puluhan orang datang ke Goa Ngingrong, Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Gunungkidul, Yogyakarta, Minggu sore itu. Mereka melihat dari lembah kering mulut goa. Beberapa orang bermain flying fox. Di sudut lain daerah itu, di Aula SMAN 1 Wonosari, peneliti, LSM, akademisi, penelusur goa, dan masyarakat pengelola wisata berdiskusi merumuskan konsep ekowisata. Diskusi yang digelar Indonesia Speleology Society (ISS) ini untuk mencari solusi wisata goa ramah lingkungan di Karst Gunung Sewu yang ditetapkan UNESCO sebagai Kawasan Geopark.

Pindi Setiawan, peneliti Karst dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan, wisata berkelanjutan itu senang, sejahtera bersama dan selamanya. Pendekatan paling mudah, site branding. Pengelolaan ekowisata goa harus baik, misal, zonasi atau daya dukung. “Harus melihat apakah daya dukung goa bagus untuk ekowisata,” katanya.

Dia mencontohkan, Geopark Pegunungan Sewu. “Apakah masyarakat Gunungkidul sejahtera? Apakah daya dukung goa Gunung Kidul memungkinkan untuk ekowisata? harus jadi pijakan ketika goa akan jadi ekowisata.”

Yang harus dilindungi dari kawasan karst, yakni geoculture. “Tak hanya batuan juga geologi yang membentuk kultural. Itulah perlindungan utama konsep wisata berkelanjutan.”

Ekowisata Goa Ngingrong di Gunung Kidul. Selain telusur goa penjunjung bisa bermain flying fox. Foto: Tommy Apriando
Ekowisata Goa Ngingrong di Gunung Kidul. Selain telusur goa penjunjung bisa bermain flying fox. Foto: Tommy Apriando

Ekosistem karst, tak hanya batuan dan air juga ruang hidup sekitar dan dalam goa. Dalam ekowisata goa, harus membatasi antusias masyarakat berlebih, seperti vandalisme. Contoh, Goa Pindul, jika terlalu banyak pengunjung bisa merusak ekosistem dan ornamen goa. “Perlu aturan ketat kepada pengunjung dan pengetahuan yang dimiliki pemandu goa, hingga kelestarian terjaga,” katanya.

Cahyo Rahmadi dari Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) sekaligus Presiden Indonesian Speleological Society  (ISS) mengatakan, ekowisata goa jika terjebak masalah ekonomi hanya akan bicara uang, tak memperhatikan daya dukung. Goapun, katanya, akan rusak dan tak ada daya tarik lagi.

Ilmu speleologi, katanya, dapat membantu pemerintah daerah mengelola goa berkelanjutan. Speolog, dapat memberikan pertimbangan konteks keilmuan.

Kerusakan goa, katanya, banyak terjadi karena masyarakat dan pengelola tidak tahu, seperti corat-coret dinding (vandalism). Seharusnya, pengunjung tambah pengetahuan ketika berwisata goa. Pemandupun, bukan hanya penunjuk jalan, harus membekali informasi. “Penting membekali pemandu goa, ketidaktahuan bisa merusak ornamen goa,” kata Cahyo.

Ekowisata, katanya, merupakan titik temu kelestarian alam, pemanfaatan berkelanjutan dan peningkatan kapasitas masyarakat. Jadi, penting pemandu mengetahui mitigasi risiko bencana, seperti perlu tahu tangkapan air mengalir ke goa hingga memberikan keamanan pengunjung,

Senja sore di Goa Ngingrong, Mulo, Wonosari, Jogja. Foto: Tommy Apriando
Senja sore di Goa Ngingrong, Mulo, Wonosari, Jogja. Foto: Tommy Apriando

Biota goa

Ekowisata goa tidak terpisahkan dari makhluk hidup sekitar. Pegunungan Sewu memiliki hewan endemik yang hanya bisa ditemui di goa-goa di Gunung Kidul.

Cahyo mengatakan, ekosistem goa kaya biodiversiti baik endemisme, kelangkaan, keunikan dan potensi kepunahan. Hampir semua spesies khas goa, katanya, layak menjadi perhatian dan mendapatkan perlindungan memadai. Beberapa spesies goa memiliki karakter morfologi unik karena khas dibandingkan kerabat mereka di luar goa. Pemandu, harus memiliki pengetahuan agar kelestarian biota goa terjaga.

Dia mencontohkan, endemik di Gunung Sewu, Gunung Kidul yaitu kepiting Jacobson. Ia hanya ada di sistem air bawah tanah Bribin, dari Goa Jurang Kero, Jomblang, Ngingrong, Gilap.

Kepiting Jacobson, katanya, pertama kali ditemukan di Goa Jomblang, Bedoyo oleh Naturalis Belanda, Edward Jacobson.

“Pemda Gunungkidul seharusnya menjadikan Jacobson mascot, agar orang peduli kelestarian kepiting,” katanya.

Kepiting berhubungan dengan air. Ada kepiting menjaga air, hingga penting memperbaiki daerah tangkapan air Bribin. Jacobson di Karst Gunungsewu, katanya, menjadi sangat penting berkaitan sistem sungai bawah tanah yang penting bagi kehidupan masyarakat yaitu Goa Bribin.

Menjaga keberadaan Jacobson sekaligus menjaga kelestarian sistem Bribin dan goa-goa lain hingga terjamin kelangsungan ketersediaan air bersih dari sana.

Unesco menetapkan Pegunungan karst Gunungsewu sebagai kawasan geopark. Foto: Tommy Apriando
Unesco menetapkan Pegunungan karst Gunungsewu sebagai kawasan geopark. Foto: Tommy Apriando

Sebagai kepiting endemik, mereka memiliki sebaran sangat terbatas, hanya di Gunungkidul, tak di Wonogori dan Pacitan yang masih satu kawasan karst Gunungsewu.

“Hilangnya satu spesies dalam goa, dapat mengakibatkan punahnya spesies bumi. Spesies goa mempunyai sebaran sangat sempit di beberapa goa bahkan hanya di satu goa,” kata Cahyo.

Ancaman karst

Penyebab kerusakan hebat kawasan karst, seperti di Pulau Jawa, adalah pertambangan semen. Cahyo mengatakan, reklamasi karst tak bisa mengembalikan fungi semula. “Kemampuan menyerap dan menyimpan air tak bisa kembali.”

Penambangan, katanya, mengambil bagian utama penyimpan air di bukit-bukit karst. Jika penambangan berlanjut, bakal merusak sistem hidrologi yang berpengaruh pada semua aspek baik manusia maupun makhluk hidup. Mata air terancam kering, sungai bawah tanah bisa berpengaruh baik debit atau sedimentasi.

Cahyo menyarankan, perlu aturan hukum tegas dan jelas untuk melindungi karst. Peraturan daerah, katanya, perlu holistik mencangkup ekosistem karst. Seperti rancangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ekosistem esensial karst mencangkup manusia, hewan, tumbuhan, air dan karst. Selama ini, Energi dan Sumber Daya Mineral hanya mengatur fisik. “Segala aspek mencakup potensi karst harus diatur dengan melibatkan semua kalangan, pelaku ekowisata, pemda, peneliti, akademisi dan lain-lain.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , ,