, ,

Menilik Bahasan Revisi UU Kehati (Bagian 2)

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kamis (21/1/16) mengumpulkan kepala balai dari Sumatera di Medan untuk konsultasi publk Rancangan Undang-undang Konservasi Keanekaragaman Hayati (Kehati). Sejumlah NGO juga hadir. Konsultasi sendiri, dipimpin Ilyas Asaad, Staf Ahli Menteri Antar Lembaga Pusat dan Daerah, KLHK.

Ilyas mengatakan, RUU Kehati ini, perpaduan dua RUU, yaitu RUU perubahan UU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya, dan RUU Sumberdaya Genetik.   UU No 5/1990 perlu penguatan, penyesuaian dan penambahan karena sudah banyak perubahan. RUU Sumberdaya Genetik, adopsi Protokol Nagoya, dan Konvensi Kartagena.

Pada dasarnya sumberdaya genetik bisa mendorong masyarakat memanfaatkan keragaman hayati berkelanjutan. Dengan memberikan akses kepada masyarakat, tetapi dikawal agar tak merusak kawasan. UU ini, katanya, juga mendorong pemihakan pada masyarakat.

Pendekatan kepada masyarakat, berbeda kala kepada perusahaan. Masyarakat, katanya, didorong melalui pendekatan penyadaran, mendapatkan akses, edukasi danlain-lain. Sedangkan perusahaan, pendekatan pengawasan dan penegakan hukum, yang disebut penyadaran dan pendidikan ditingkatkan.

“RUU ini berpihak pada kearifan masyarakat,. Mereka wajib mendapatkan hak genetik dan kearifan dilindungi,” katanya.

Dalam prespektif UU Kehati, perlu diatur soal penegakan hukum terpadu, seperti diatur dalam UU No 32/ 2009. Hingga jaksa, polisi dan PPNS dalam penegakan hukum lingkungan hidup, dari koordinasi menteri. “Maknanya, supaya ketiga penegak hukum memiliki pandangan sama. Hasil penyelidikan, penyidikan dan tuntutan ataupun gugatan bisa lebih baik.”

Irma Hermawati, Legal Advisor Wildlife Crime Unit-WCS, menjelaskan, UU 5/1990 darurat revisi karena tidak memadai lag. Dia berharap, hal-hal dalam RUU maju agar tujuan melestarikan sumberdaya alam dan satwa terpenuhi.

Penegakan hukum bagi pelaku yang mengancam keberadaan satwa langka dilindungi ini masih sangat lemah, terutama hukuman yang tak berikan efek jera. Foto: Ayat S Karokaro
Penegakan hukum bagi pelaku yang mengancam keberadaan satwa langka dilindungi ini masih sangat lemah, terutama hukuman yang tak berikan efek jera. Foto: Ayat S Karokaro

Paling krusial, katanya, memasukkan sumbedaya genetik yang belum diatur UU manapun. Juga soal sanksi hukum bisa minimal bukan maksimal. Perlu diatur pula jenis-jenis tak dilindungi atau jenis eksotis dari luar yang bisa membahayakan satwa dalam negeri.

“Selama ini sanksi hukum mengacu maksimal, menyebabkan jaksa menuntut ringan, hakim seenaknya menjatuhkan putusan. Perlu diperharhatikan hukuman minimal bukan maksimal, ” katanya.

Dia juga menyoroti hakim bersertifikat lingkungan yang hanya ada di pengadilan provinsi, untuk pedalaman atau wilayah kecil minim.

Panut Hadisiwoyo, Direktur Yayasan Orangutan Sumatera Lestari- Orangutan Information Center (OIC), mengatakan, UU 5/1990 menyebutkan, penegakan hukum adalah tindakan terakhir. Dalam revisi, katanya, tindakan hukum harus jadi prioritas.

Akomodir masyarakat adat/lokal

Berbagai kalangan juga memberikan masukan terkait penyusunan draf RUU Kehati ini, seperti mengakomodir keberadaan masyarakat adat. Selama ini, banyak kawasan konservasi seperti taman nasional ada masyarakat adat maupun lokal tak diakui hingga menimbulkan konflik.

Fadrizal Labay, anggota Dewan Pengurus Nasional Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat di Jakarta, mengatakan, RUU Kehati jangan sampai merugikan masyarakat adat/lokal di dalam maupun sekitar kawasan konservasi. Masyarakat, katanya, harus mendapatkan manfaat dan akses baik tanpa mengurangi aspek konservasi di dalamnya. Masyarakat, bagian dari ekosistem kawasan konservasi, katanya, harus terakomodir dalam RUU ini.

“Selama ini konservasi itu hanya larangan tanpa solusi atau alternatif lain. Ke depan hutan beserta isi harus betul-betul mensejahterakan masyarakat di dalam maupun sekitar,” katanya di Jakarta.

Seknas FKKM Andri Santosa menambahkan, dalam RUU masyarakat harus mendapatkan peran aktif dalam mengelola kawasan konservasi. Selain penghormatan dan melindungi hak-hak masyarakat, katanya, juga akses pemanfaatan dan meningkatkan kehidupan mereka.

Dalam UU lama, peran masyarakat hanya obyek, hinga lemah dan membuat banyak konflik. “Jadi, bukan mengajak masyarakat sadar konservasi, tetapi bagaimana menempatkan sebagai pelaku dan mitra dalam upaya konservasi itu.”

Andri mengusulkan, dua opsi pelibatan masyarakat dalam RUU Kehati. Pertama, aturan kerjasama. Dengan membangun kerjasama, katanya, konflik bisa diredam. Pengelola dan masyarakat bisa mulai membicarakan konsesus. “Duduk bersama membicarakan persoalan konflik dan mencari pilihan-pilihan solusi bersama,” katanya.

Kedua, masyarakat diberi kewenangan penuh mengelola kawasan konservasi. Hal ini, katanya, bisa apabila kapasitas masyarakat memadai. Masyarakat, difasilitasi pemetaan partisipatif dan penyusunan rencana pengelolaan hutan sesuai fungsi konservasi.

Sedang Sekjen AMAN Abdon Nababan mengatakan, kelemahan pemerintah dalam mengelola kawasan konservasi bukan hanya dalam manajerial dan teknis juga sikap. Selama ini, ada anggapan dari masyarakat adat bahwa petugas Balai Taman Nasional, tak lebih seperti polisi bukan pengelola kawasan.

“Interaksi masyarakat adat dengan Balai Taman Nasional hanya dalam bentuk patroli. Seharusnya, ada interaksi baik dalam bentuk rapat kerja atau musyawarah. Ini nggak. Jadi mereka bawa pentungan dan senjata ke kampung-kampung,” katanya.

Rumah warga adat Semende Banding Agung, yang dibakar Polhut, kala operasi gabungan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, di Bengkuku, Senin (23/12/13). Konflik masyarakat adat dan pengelola taman nasional berkepanjangan, karena bagi mereka, manusia tak boleh ada dalam kawasan konservasi (meskipun mereka ada di sana, sebelum kawasan konservasi ditetapkan). Foto: AMAN Bengkulu

Masyarakat adat, katanya, dijadikan calon kriminal bukan mitra. “Masyarakat adat selalu sebagai pelawan atau separatis. Ini jadi masalah. Ada identitas negatif menempel dalam masyarakat adat. Kita gak terima. Ini harus dibongkar. Bagaimana menaruh masyarakat adat sebagai pengelola juga.”

Selama ini, kata Abdon, banyak masyarakat adat dipenjara karena dianggap “menyerobot” kawasan konservasi. Kalaupun dilepas, kasus tak selesai hingga status sebagai buronan.

“Ada 166 korban kriminalisiasi. Nama-nama mereka sudah kita berikan kepada Presiden. Kita minta dipulihkan.”

Abdon mengingatkan, dalam penyusunan RUU ini penting memperhatikan aspek HAM. “Bagaimana memposisikan hak menguasai negara dengan hak-hak lain. Selama ini, hak menguasai negara selalu bersifat mutlak memiliki.”

Dalam menyusun RUU Kehati, katanya, perlu memperhatikan UU Pesisir dan Pulau-pulau kecil serta UU Perikanan. Sebab, keragaman hayati perairan juga banyak.

Seharusnya, RUU ini tak hanya fokus wilayah yang sudah kawasan konservasi. Sebab, di luar wilayah konservasi juga memiliki keragaman hayati tinggi. “Ini perlu diperhatikan.”

Menanggapi ini, Tahrir Fathoni, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK mengatakan, pengelolaan SDA harus bisa mensejahterakan masyarakat.

Namun, katanya, dalam pengelolaan wilayah konservasi ada dua kutub pemikiran saling berlawanan. Pertama, kutub pemikiran yang mengatakan semua harus dilestarikan dan dikonservasi. “Hewan tak boleh dikerangkeng, semua harus di habitat asli.”

Kedua, kutub pemikiran bahwa SDA harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. “Dari pemikiran dua kutub kami harus cari titik temu. Memang flora dan fauna harus dilestarikan. Termasuk ekosistem hutan boleh dimanfaatkan dalam asas kelestarian.”

Dalam pemanfaatan, katanya, ada sistem kuota hingga bisa menjadi rujukan jumlah satwa atau tanaman yang bisa dimanfaatkan tanpa merusak populasi.

Dia mencontohkan, pengelolaan taman nasional melibatkan masyarakat sekitar, misal di TN Kerinci Seblat. Masyarakat mengelola wisata hingga mendapatkan penghasilan tanpa merusak kawasan konservasi. Juga di TN Gunung Halimun Salak. Masayarakat, meskipun mengklaim kawasan tetapi tak ingin mengubah fungsi. “Banyak harus diselesaikan tapi perlu kehati-hatian. Perlu duduk bersama rumuskan revisi UU ini,” katanya. Habis

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,