,

Masyarakat Adat Tagih Janji RUU PPMHA Masuk Prolegnas 2016

Rintik hujan mulai deras, Minggu pagi (24/1/16) di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Puluhan orang tak memedulikan itu, mereka terus aksi. Mereka dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) aksi mendesak Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU PPMHA) masuk program legislasi nasional prioritas Badan Legislasi DPR 2016.

Satu per satu menyampaikan orasi. “Masyarakat adat!!” pekik seorang orator

“Hotu!!!”

Hariyanto, masyarakat adat Karang Bajo Lombok Bayan, Lombok Utara di TN Rinjani menyatakan kekecewaan akan situasi itu.“Sebelumnya kita bertemu Jokowi (Presiden) sebelum beliau menjadi Presiden. Saat pencalonan beliau menyampaikan komitmen membuat peraturan melindungi dan memenuhi hak masyarakat adat. Saya pemuda masyarakat adat, menuntut janji itu,” katanya.

Informasi RUU PPMHA tak masuk prolegnas 2016, dia peroleh dua hari lalu saat rapat Badan Legislasi DPR, DPD bersama pemerintah. “Saya sangat kecewa. Ini menunjukkan lemahnya tekanan pemerintah terhadap DPR mendorong itu.”

“Konsenyering sudah dilakukan, pleno besok. Kami berharap ada perubahan. Besok pleno antara pemerintah dan DPD. Sebelumnya Presiden mengamanatkan Kemenkumham mendorong RUU ini prolegnas. Ternyata tak masuk. Besok adalah harapan,” katanya.

Pengesahan RUU PPMHA penting, katanya, demi perlindungan hak tanah. Dia mencontoh di Lombok, kepemilikan lahan masyarakat adat Pecatu di tangan pemerintah desa. Hutan adat mereka, diklaim PDAM. Padahal, masyarakat adat menjaga hutan yang menyimpan mata air.

Abdon Nababan, Sekjen AMAN mengatakan, aksi ini baru awal sekadar mengingatkan janji Fraksi-fraksi DPR ketika bertemu masyarakat adat di Senayan. Mereka memastikan RUU PPMHA menjadi agenda prolegnas prioritas 2016.

Kala RUU PPMHA tak masuk prioritas 2016, dia merasa ada pengkhianatan terhadap komitmen. “Lewat aksi ini mencoba mengingatkan supaya tak menimbulkan keresahan sosial. Masih ada waktu. Besok rapat Bamus. Selasa rapat paripurna. Jadi ada waktu dua hari ke depan supaya pimpinan DPR juga Presiden, wajib turun tangan mengatasi ini,” katanya.

Aksi di depan Bunderan HI mendesak RUU PPMHA masuk prolegnas 2016. Foto: Indra Nugraha
Aksi di depan Bunderan HI mendesak RUU PPMHA masuk prolegnas 2016. Foto: Indra Nugraha

Ketika pengesahan RUU masyarakat adat tertunda terus, katanya, sulit bisa menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi di lapangan.

“Kami menghubungi pimpinan-pimpinan fraksi dan pimpinan poksi di Baleg supaya memasukkan RUU ini. Mereka janji berusaha. Sebenarnya fix mendukung Fraksi Nasdem, PDIP. Kami juga bertemu Fraksi PKB, juga mendukung. Fraksi Golkar, Firman Subagyo juga mendukung.”

Fraksi-fraksi lain yang belum sempat ditemui, lewat komunikasi orang per orang, anggota Baleg juga menyatakan dukungan. Dia merasa aneh, biasa memasukkan RUU prioritas legislasi, usulan satu fraksi saja sepanjang tak ada keberatan, sudah pasti masuk. “Ini seperti tak ada apa-apa, tiba-tiba dihilangkan. Apakah ada kekuatan-kekuatan lain yang anti masyarakat adat bergerak di bawah tanah?”

Pada 2014, sebenarnya RUU ini tinggal ketok palu andai Menteri Kehutanan waktu itu hadir pansus DPR. Artinya, kata Abdon, kalau masuk prolegnaspun pembahasan tak akan lama.

Bagi AMAN, dalam draf RUU itu tinggal empat poin perlu koreksi. Pertama, isu kelembagaan. AMAN meminta dibentuk Komisi Nasional Masyarakat Adat, draf hanya Panitia Masyarakat Adat. Alasannya, tak ada dukungan pemerintahan lalu buat pendanaan. Kini, terbantahkan karena ada dukungan Presiden Jokowi membentuk lembaga Nawacita.

Kedua, AMAN meminta tak ada lagi peradilan bentukan, karena masyarakat sudah ada peradilan adat. Jika pemerintah membentuk peradilan adat baru, khawatir mengacaukan yang ada. Elit lokal bisa main dalam peradilan dan memanipulasi peradilan adat. Hal itu sudah didukung Mahkamah Agung.

Ketiga, pemberdayaan. AMAN menyarankan jika pengakuan dan perlindungan sudah cukup, tinggal pemulihan. DPR kala itu menyarankan pemberdayaan. “Ini juga sebenarnya sudah diatasi. AMAN mengiyakan pemberdayaan, tapi harus dirumuskan pemberdayaan yang memberdayakan. Bukan pembinaan.”

Keempat, soal istilah. DPR tetap berkeinginan menggunakan masyarakat hukum adat. AMAN beralasan, konstitusi setelah amandemen ada dua istilah. Masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional. AMAN menyarankan supaya nanti tak ada aspirasi berbagai pihak memunculkan RUU masyarakat tradisional, maka pakai istilah masyarakat adat dalam merangkum kedua istilah ini.“Sebenarnya tinggal itu saja. Pembahasan tak akan terlalu lama.”

Dulu, katanya, saat Juni Presiden bertemu AMAN, sempat mengatakan jika RUU tak jadi inisiatif DPR, dia sendiri langsung mengajukan pembahasan. Keadaan berkata lain. Ketika rapat kerja Badan Legislasi DPR dengan Menteri Hukum dan HAM, ternyata RUU ini tidak ada dalam daftar.

“Saya tidak tahu apakah Menterihukham sedang membangkang Nawacita dan Presiden, atau memang Presiden atau Kantor Staf Presiden belum menyampaikan hasil pertemuan AMAN dengan Presiden kepada Menhukham,” katanya.

Momen AMAN bertemu Presiden Joko Widodo Juni tahun lalu. Kala ini, Presiden kembali menegaskan soal pentingnya Satgas Masyarakat Adat, dan pengesahan RUU PPMHA. Foto: Yayasan Perspektif Baru
Momen AMAN bertemu Presiden Joko Widodo Juni tahun lalu. Kala ini, Presiden kembali menegaskan soal pentingnya Satgas Masyarakat Adat, dan pengesahan RUU PPMHA. Foto: Yayasan Perspektif Baru
Aksi AMAN di Bunderan HI Jakarta, Minggu (24/1/16) desak RUU PPMHA masuk prolegnas 2016. Foto: Yayasan Perspektif Baru
Aksi AMAN di Bunderan HI Jakarta, Minggu (24/1/16) desak RUU PPMHA masuk prolegnas 2016. Foto: Yayasan Perspektif Baru
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,