Gunung Egon Berstatus Siaga, Inilah Kondisi Para Pengungsinya

Sejak status gunung Egon dinaikan dari status waspada (level 2) ke status siaga (level 3), Rabu (13/01/2016) pada pukul 06.00, evakuasi warga mulai dilakukan oleh pemerintah daerah dipimpin Paulus Nong Susar, Wakil Bupati Sikka. Para pengungsi yang umumnya berasal dari Desa Egon Gahar, saat ini berada di dua posko pengungsian di Kantor Camat Mapitara dan pasar Natakoli yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Gunung Egon. Jumlah pengungsi dilaporkan sebanyak 216 KK atau 958 jiwa.

Dari jumlah pengungsi tersebut terdiri dari laki-laki sebanyak 474 dan perempuan sebanyak 484 jiwa. Sedangkan jumlah bayi dan balita adalah 120 jiwa, dan lansia sejumlah 80 orang.

Kepala pos pemantau gunung api Egon, Yosef Suyanto saat dijumpai Mongabay Indonesia di posko pengungsian, menyebutkan kemungkinan para pengungsi akan tetap bertahan di posko pengungsian hingga 26 Januari. Jika aktivitas kegempaan masih di atas nomal dan terjadi semburan awan dan gas beracun, status pengungsian direncanakan akan terus diperpanjang hingga 10 hari berikutnya.

“Kami tidak bisa pastikan apakah gunung Egon akan meletus. Namun dari beberapa tanda yang ada, kami meminta warga mengungsi karena sudah ditemukan gas beracun yang berada di atas ambang batas normal,” tutur Yosef.

Gas beracun yang amat dikuatirkan oleh pemerintah adalah karbon monoksida, suatu senyawa gas yang mematikan namun tidak berbau dan berwarna yang amat berbahaya saat terhirup oleh warga.

Sedangkan hasil pengukuran yang dilakukan tim pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung kandungan SO2 atau gas sulfur masih diatas ambang normal yaitu 4,6 ppm yang berada diatas ambang batas normal 2 ppm. Gempa vulkanik pun masih rutin terjadi yang dapat mencapai 40 hingga 120 kali dalam sehari.

Sementara itu, para pengungsi di posko relatif terlayani untuk makan dan minum, meski sebagian pengungsi masih harus membawa sendiri pakaian, peralatan tidur seperti kasur dan bantal. Fasilitas kamar mandi dan WC hanya tersedia tujuh buah, yang menyebabkan sebagian pengungsi memilih mandi di kali yang berjarak 1 km dari penampungan.

Tidak adanya sinyal seluler di daerah pengungsian membuat komunikasi menjadi terkendala. Inipun ditambah tidak adanya jaringan listrik PLN yang menyebabkan para pengungsi hanya mengandalkan genset berkapasitas terbatas pada saat malam hari. Dari pemantauan pun tampak alat komunikasi radio antar posko pun tidak berfungsi maksimal.

Pada saat siang hari di pos pengungsian banyak dijumpai sebagian kaum perempuan, balita dan lansia, sementara kaum lelaki dewasa turun ke desa untuk mengurusi ternak, mengurusi kebun dan menengok rumah mereka. Pada sore hari mereka kembali lagi ke tempat pengungsian.

Sebagian pengungsi seperti pasangan Kanisius Kani dan Alfonsa Nurak yang dijumpai mengaku kuatir jika kondisi ini terus berlanjut, mereka tidak mampu lagi mengirimi lagi uang untuk kebutuhan sekolah dan kuliah anak-anak mereka di Maumere.

Tenda pengungsi yang disediakan oleh BNPB. Foto: Ebed de Rosary
Tenda pengungsi yang disediakan oleh BNPB. Foto: Ebed de Rosary

Akan Ditutup

Seperti yang disampaikan oleh Edi Ruhaedi, petugas pemantau gunung api, aktivitas Egon memang cenderung turun dalam beberapa hari belakangan ini, namun tetap masih dalam kategori bahaya dan tidak bisa dikatakan aman. Bisa saja saat ini Egon masih dalam taraf mengumpulkan energi dan bersiap meletus.

Untuk situasi normal menurutnya, dalam sebulan kadang-kadang tidak terjadi gempa vulkanik. Berkebalikan dengan kondisi saat ini dimana frekuensi gempa amat meningkat seiring dengan munculnya gas beracun. Sedangkan dari tanda-tanda alam, satwa yang ada di sekitar gunung mulai keluar dari kawasan hutan.

“Kami menghimbau warga masyarakat yang biasa melintas di jalur jalan untuk tidak lagi melintas lagi karena gasnya sudah masuk kategori membahayakan keselamatan manusia. Kami tidak yakin aman meskipun memakai masker,” tuturnya.

Untuk diketahui masih dijumpai warga lokal yang masih menyusuri jalan pintas menuju Mapitara yang lebih dekat ke Egon, padahal lokasi lintasan tersebut amat berbahaya karena paparan gas racun. Ambang toleransi gas sendiri telah jauh terlampaui di Dusun Blidit dan Dusun Baokrenget yang mencapai angka 12 ppm

Baik Edi Ruhaedi maupun Yosef Suyanto saat ditanya tidak dapat menjamin hingga kapan status siaga dapat diturunkan menjadi waspada. “Kita lihat perkembangannya.”

Sebelumnya, berdasarkan catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sikka, Gunung Egon pernah meletus beberapa kali pada tahun 1888, 1891, 1907 dan yang paling dahsyat terjadi pada tahun 1925.

Egon juga kembali aktif pada tahun 2004 dan 2008 dengan indeks eksplosivitas (VEI) 2 dan ketinggian kolom letusan hingga 5.700 meter. Abu letusan pada tahun 2008 dilaporkan mencapai kota Maumere yang terletak sekitar 30 km ke arah barat daya.

Penampakan Gunung Egon (1.703 m dpl). Foto: Ebed de Rosary
Penampakan Gunung Egon (1.703 m dpl). Foto: Ebed de Rosary
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,