,

Vonis yang Harus Membuat Jera Pemburu Gajah

Amir bin Kamin, Ishak, Anwar Sanusi, dan Herdani Serdavio, empat pemburu gajah yang ditangkap Kepolisian Daerah Riau awal Februari 2015 itu, telah mendapatkan ganjaran. Pengadilan Negeri Pangkalan Kerinci, Pelalawan, Riau, pada 21 Januari 2016, memvonis para pemburu itu 2,5 tahun penjara dengan denda Rp20 juta.

Ketua Majelis Hakim, Bangun Sagita Rambe, dalam persidangan tersebut membuktikan bila keempat terdakwa memang melakukan perburuan gajah sumatera di Desa Segati, Kecamatan Langgam, Pelalawan. Ari bin Kamin terbukti secara sah dan menyakinkan membunuh tiga individu gajah sumatera menggunakan senjata api laras panjang. Sementara tiga pelaku lain Ishak, Anwar Sanusi dan Herdani Serdavio terbukti turut serta dalam perburuan gajah itu.

Terhadap putusan tersebut, bagaimana tanggapan WWF Indonesia dan Forum Konservasi Gajah Indonesia?

Wishnu Sukmantoro, Program Manager WWF Sumatera Tengah dalam pernyataan tertulisnya, Senin (25/1/2016) menyatakan sangat mengapresiasi putusan tersebut. Menurutnya, vonis yang harus dijalani para pelaku ini relatif tinggi jika dibanding vonis kasus tindak kejahatan satwa liar sebelumnya, baik itu di Riau atau wilayah Sumatera keseluruhan.”

Namun begitu, Wishnu menyayangkan hukuman tersebut yang hanya berkutat pada pelaku lapangan. Sementara, si pemodal perbuatan tercela itu, Fadli, tidak tersentuh. Fadli, secara gamblang dalam persidangan terungkap jelas perannya sebagai orang yang memberikan uang dan logistik serta meminjamkan senjata kepada para pelaku untuk berburu gajah.

Anehnya, Fadli malah ditetapkan sebagai saksi yang justru tidak pernah dihadirkan dalam  persidangan. Padahal, dalam berkas putusan yang dibacakan oleh majelis hakim, tertera jelas Fadli sebagai pemilik senjata api yang digunakan untuk berburu dan orang yang mendanai keempat pelaku. “Putusan  ini kami harap memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan serupa meski dalang dalam kasus ini  masih lepas dari jerat hukum, ” ujar Wisnu.

Tak jauh berbeda, Ketua Forum Komunikasi Gajah Indonesia (FKGI), Krismanko Padang menyatakan, proses penegakan hukum atas kasus tersebut belumlah tuntas. Alasannya, salah seorang yang diduga pelaku utama belum terjerat hukum. “Fadli, sang pemodal dan pemilik senjata api harusnya dijadikan tersangka karena turut serta dalam perencanaan perburuan.”

Menurut Krismanko, fakta persidangan sangat jelas menyebutkan antara keterkaitan senjata api dengan kematian gajah. Hakim juga memerintahkan agar Fadli dihadirkan dalam persidangan. “Dengan fakta ini, sangat layak Fadli dijadikan tersangka berdasarkan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya juga UU Darurat No 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api,“ ujar Krismanko.

Habitat gajah sumatera yang terus tergerus. Foto: WWF Elephant Survey Team
Habitat gajah sumatera yang terus tergerus. Foto: WWF Elephant Survey Team

Terus diburu

Dihubungi terpisah, Sunarto, Wildlife Specialist WWF-Indonesia, menyatakan para pelaku yang di sidang Pelalawan ini merupakan jaringan yang berbahaya. Kelompok ini telah melakukan perburuan di berbagai tempat. Mereka, empat pelaku tersebut, sudah terbukti bersalah melakukan perburuan gajah di Bengkalis dan juga melakukan perburuan gajah di Jambi. “Pada Juli 2015, empat pelaku ini telah divonis satu tahun penjara di Pengadilan Negeri Bengkalis karena terbukti membunuh satu individu gajah yang diambil gadingnya sepanjang 1,8 meter. Hukuman ini membuat kami kecewa,” paparnya, Senin (25/1/2016).

Menurut Sunarto, yang harus dilanjutkan dari kasus ini adalah menjerat sang pemodal, karena jika tidak dihukum ia dipastikan akan membentuk jaringan baru. “Kasus di Pelalawan tidak akan terungkap tanpa adanya pengakuan dari pelaku saat terjerat kasus di Bengkalis. Keempat pelaku ini merupakan orang yang sama untuk kasus berbeda. Saat ini, proses kejahatan mereka juga diproses di Jambi.”

Sunarto tidak menampik bila perburuan gajah di Riau masih terjadi. Namun begitu, menurutnya, perburuan ini berlangsung juga di Lampung dan Aceh. Bahkan, di beberapa tempat lain ada kematian yang tidak terdeteksi. Ini yang paling menyedihkan. “Di Sumatera, ada beberapa habitat gajah yang belum terpantau dengan baik. Karena itu, kita harus memberikan apresiasi putusan di Pelalawan ini karena hakim telah memberikan hukum maksimal bila dibanding kasus yang ada sebelumnya.”

Menurut Sunarto, dalam empat tahun terakhir, indikasi perburuan gajah jantan memang meningkat. Tentunya, gading sang gajah yang diambil yang bila dilihat dari cara memotongnya dilakukan oleh pemburu profesional. Perburuan ini terjadi karena memang ada pasarnya, lokal, nasional, dan internasional, serta pemantauan di lapangan yang belum maksimal. “Kedepan, kita harus menerapkan vonis yang sepatutnya menimbulkan efek jera bagi para pelaku. Ini penting, demi perlindungan hidup gajah sumatera.”

Nasib gajah sumatera yang habitatnya rusak dan populasinya terus menurun akibat keserakahan manusia. Foto: WWF Elephant Survey Team

Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), berdasarkan Daftar Merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) 2012, dimasukkan dalam status Kritis (Critically Endangered/CR).

Habitatnya, sejak 1985, rusak sekitar 70% hanya dalam waktu 25 tahun. Sekitar 23 kantong populasi gajah hilang pada rentang waktu tersebut, yang sebagian besar berada di Riau dan Lampung. Pada masa itu juga, penurunan populasi yang tajam terjadi di Riau, lebih dari 80%.

Menurut Sunarto, estimasi gajah sumatera saat ini berdasarkan perkiraan para pegiat konservasi baik dari anggota Forum Konservasi Gajah Indonesia dan staf pemerintah dalam sebuah lokakarya awal 2014, diperoleh angka sekitar 1.700 individu. “Jumlah ini, bahkan dianggap berlebih, sehingga perlu verifikasi lapangan kembali,” paparnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,