,

Apa Dampak Positif dan Negatif Pembangunan Blok Masela?

Pro dan kontra pembangunan kilang gas di Blok Masela, Maluku, terus bergulir dan menggelinding menjadi bola salju. Selain pihak yang menyatakan persetujuannya, ada juga yang tetap bersikeras menolak rencana pembangunan tersebut. Pihak tersebut, adalah Koalisi Masela yang berasal dari tokoh akademisi dan juga aktivis lingkungan di Maluku.

Dalam keterangan resmi yang diterima Mongabay, Koalisi Masela berpendapat, dalam membangun kilang gas, sebaiknya diperhatikan juga perlindungan terhadap lingkungan sekitarnya. Karenanya, pilihan yang tepat untuk membangun kilas gas di Blok Masela, adalah dengan konsep terapung (off shore).

Pilihan dengan konsep terapung, dalam penilaian Koalisi memiliki resiko yang lebih kecil jika dibandingkan dengan membangun di darat (on shore). Resiko tersebut, terutama berkaitan dengan lingkungan sekitar. Berikut penilaiannya:

  1. Tidak perlu dilakukan pipanisasi ratusan kilometer dari lokasi cadangan gas ke Kilang di darat. Opsi ini akan menghindari perusakan biota laut dan terumbu karang yang valuasi ekonominya tak terhingga.
  2. Tidak perlu dilakukan pembukaan lahan 600-800 ribu hektar yang akan berujung pada pembukaan hutan dan vegetasi tutupan lahan di lokasi kilang. Apabila lokasi kilang darat di Tanimbar, maka beberapa spesies endemik Tanimbar akan dipastikan punah.
  3. Laporan Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), United States Geological Survey (USGS) dan earthquaketrack.com menunjukkan bahwa lokasi yang akan dipilih sebagai lokasi kilang darat, dimana pipanisasi akan berujung, adalah wilayah langganan gempa. Risiko terhadap ketahanan pipa dan keselamatan para pekerja di kilang darat sangat tinggi.

Sementara, jika kilang gas dibangun di darat, maka dampaknya akan terasa seperti di bawah ini:

  1. Hengkangnya investor. Investor datang dan berdiskusi sejak tahun 1998 memang dalam rangka mengembangkan Kilang Terapung (FLNG), bukan berpikir darat. Pilihan bagi mereka adalah: Terapung atau tidak sama sekali. Apabila kita memaksa dengan opsi darat, itu sama dengan melambaikan tangan tanda perpisahan kepada para investor.
  2. Risiko kerusakan lingkungan. Valuasi terhadap terumbu karang, spesies endemik dan hutan dan vegetasi tutupan yang ada di Tanimbar sangat mahal. Menurut sebuah laporan, Deforestasi seluas 1,4 juta hektar di Kalimantan sama dengan total kerugian negara sebesar Rp31,5 triliun. Artinya kehilangan 800 hektar akan sama dengan kehilangan Rp18 triliun. Belum lagi valuasi terhadap biota laut dan spesies endemik yang sebenarnya tidak terbandingkan ditukar dengan uang sebesar apapun apabila ada opsi lain yang lebih ramah lingkungan.
  3. Ditambah dengan kerugian akibat gagal menghemat Rp63 triliun (atau USD4,5 miliar) yang dapat dilakukan apabila opsi terapung dipilih karena biayanya lebih murah dibandingkan membangun kilang darat. Nilai selisih Rp63 triliun itu sama dengan 6 kali anggaran Kementerian-nya Bu Susi, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
  4. Kilang darat diperkirakan akan membutuhkan 800 ribu tenaga kerja. Besar memang, tapi kemungkinan Maluku hanya dapat menyediakan sekitar 200 ribu orang. Tingkat pencari kerja di Maluku hanya 50 ribu. Sedangkan angka pengguran terbukanya 70 ribu.10 Penduduk Tanimbar pun hanya sekitar 120 ribu. Kalaupun terserap semua, belum cukup untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Artinya akan ada migrasi besar besaran tenaga kerja dari luar Maluku.
  5. Pengadaan tanah 40 hektar untuk pembangunan logistic supply base saja diperkirakan akan berlangsung lama, apalagi membebaskan 800 hektar? Lalu, berapa lama kita harus menunggu untuk benar-benar bisa menikmati gas nya? Kilang terapung hanya butuh 3-5 tahun dibangun.

Jokowi Harus Konsisten

Karena lebih banyak dampak negatifnya, Ketua Umum Perkumpulan KANAL Maluku, Azis Tunny, mengingatkan visi Nawa Cita Presiden Joko Widodo agar diterapkan dengan konsisten dan menyeluruh.

“Dalam rangka mewujudkan cita-cita dan menciptakan kesejahteraan masyarakat Maluku dan Indonesia yang sejahtera secara berkelanjutan, Koalisi MASELA menegaskan dukungan kami terhadap pengembangan teknologi kemaritiman, dalam hal ini pengembangan Kilang Terapung dalam Pemanfaatan Blok Masela,” ujar Azis.

Bantahan Rizal Ramli

Sementara itu Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli berpendapat, banyaknya argumentasi yang menyebutkan bahwa kilang terapung merupakan pilihan yang tepat, harus ditelaah dengan seksama. Menurutnya, argumen yang beredar saat ini semuanya tidak dipahami dengan jelas.

“Berbagai argumen teknis ini seolah-olah benar adanya. Namun di mata para ahli yang paham betul teknologi migas, semuanya justru menjadi lelucon belaka,” ungkap Rizal di Jakarta, kemarin.

Dia mengungkapkan, terkait informasi di bagian selatan Maluku yang disebut-sebut banyak gempa, itu juga pantas untuk dicari kebenarannya. Karena, data sesimotektonik dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, selama 200 tahun terakhir kawasan itu sama sekali tidak mengalami gempa.

“Gempa memang terjadi, tapi itu lokasinya di bagian tengah dan utara Maluku,” tegas dia.

Selain itu, Rizal Ramli juga mengatakan, beberapa fakta justru menunjukkan kilang terapung (FLNG) menyimpan banyak risiko. Antara lain, hingga kini di dunia belum ada FLNG yang beroperasi. Satu-satunya proyek FLNG yang tengah dikerjakan adalah di Prelude, Australia, dengan kapasitas hanya 3,6 juta ton/tahun dan beroperasi 2017. Sedangan di Masela, kapasitasnya mencapai 7,5 juta ton/tahun.

“Dengan berbagai kelemahan dan risiko tersebut, masihkah kita akan memanfaatkan ladang gas Masela dengan membangun kilang apung? Pada saat yang sama, begitu banyak benefit yang bisa diraih jika pembangunannya dilakukan dengan menggunakan kilang darat,” pungkas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,