Masyarakat Adat di Sulsel dan Sulbar Tagih Janji Nawacita Jokowi-JK

Keputusan DPR tidak memasukkan Rancangan Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) dalam Prolegnas 2016 disesalkan oleh sejumlah tokoh masyarakat adat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.

Sardi Razak, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, bahwa dukungan masyarakat adat selama ini pada Jokowi-Jusuf Kalla karena terkait janji mereka yang dituangkan dalam Nawacita.

“Dalam Nawacita itu memang disebutkan bahwa salah satu janji mereka adalah mendukung lahirnya Undang-undang tentang Masyarakat Adat. Ini yang terus kami dorong dan dikomuniksikan baik dengan DPR ataupun dengan Presiden Jokowi sendiri. Makanya kami kecewa karena tiba-tiba ada kabar RUU ini tidak masuk dalam Prolegnas,” ungkap Sardi.

Sardi mencurigai adanya upaya politik dari kalangan tertentu di DPR yang terus menerus menghambat pengesahan UU ini, karena terus saja diundur meski telah lama digodok di dewan.

“Ini kan seharusnya sudah disahkan sejak lama, tetapi kemudian beberapa kali tertunda. Kita lalu berharap ini bisa disahkan oleh DPR periode sekarang dan kita sudah sampaikan juga ke Presiden dan ini malah dijadikan sebagai bagian dari Nawacita. Seharusnya ada kemajuan, tapi sepertinya kita malah berjalan mundur.”

Menurut Sardi, pengesahan UU Masyarakat Adat ini seharusnya bisa menjadi prioritas, bukan hanya karena terkait pada janji politik, tetapi juga karena kebutuhan yang ada di masyarakat. Di bandingkan dengan negara lain, seperti Filipina, Indonesia termasuk tertinggal dalam hal keberpihakan pada masyarakat adat.

“DPR ataupun presiden seharusnya melihat besarnya peran masyarakat adat ini dalam perjuangan kemerdekaan dulu. Masyarakat adat adalah entitas yang tak bisa dipisahkan dari eksistensi Indonesia itu sendiri. Puluhan tahun dalam ketertindasan dan keterbelakangan, seharusnya saat ini menjadi momentum untuk melakukan apa yang dulu tidak dilakukan oleh pemerintahan sebelum-sebelumnya.”

Sardi sangat berharap RUU PPHMA bisa segera disahkan sehingga tidak berpotensi menjadi penghalang bagi semua proses advokasi untuk mendorong Perda di sejumlah kabupaten di Sulsel saat ini. Di Sulsel sendiri saat ini terdapat sekitar 100-an komunitas adat yang tergabung dalam AMAN Sulsel, dan baru satu daerah, yaitu Kabupaten Bulukumba, yang memiliki Perda terkait Masyarakat Adat.

“Kita saat ini sedang berupaya mendorong lahirnya Perda Masyarakat Adat pasca disahkannya Perda Masyarakat Adat Kajang di Kabupaten Bulukumba. Kita bersyukur daerah-daerah justru lebih responsif dibanding pemerintah pusat sendiri. Ini menunjukkan bahwa pengakuan akan masyarakat adat oleh negara adalah memang keinginan yang tak terbendung dari bawah.”

Sejumlah orang dari masyarakat adat di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, turut menagih janji Nawacita Jokowi-JK. Di Mamasa sendiri saat ini telah teridentifikasi  sekitar 22 komunitas adat, yang menunggu pengakuan dari negara. Foto : Wahyu Chandra
Sejumlah orang dari masyarakat adat di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, turut menagih janji Nawacita Jokowi-JK. Di Mamasa sendiri saat ini telah teridentifikasi sekitar 22 komunitas adat, yang menunggu pengakuan dari negara. Foto : Wahyu Chandra

Andi Karaeng dari komunitas adat Tawaliang di Kabupaten Mamasa, Sulbar mengaku bahwa dengan adanya janji politik pada Pilpres oleh terkait masyarakat adat adalah sebuah angin segar yang memberi harapan baru.

Menurutnya, saat ini masyarakat adat tidak terlalu perduli dengan pembangunan fisik, tetapi lebih kepada adanya pengakuan negara atas hak-hak dan kedaulatan atas tanah dan sumber daya alam yang selama 70 tahun ini diabaikan dengan negara.

“Ketika Jokowi memberi janji melalui Nawacita menjadi angin segar bagi kami. Kami memimpikan adanya kemerdekaan yang riil dan berdaualat atas tanah, dan punya hak atas tanah. Dengan tidak dimasukkannya RUU PPHMA ini dalam Prolegnas memberi kesan bahwa pemerintah cenderung tidak perduli pada kegelisahan yang dirasakan oleh masyarakat adat di Mamasa dan daerah lainnya di seluruh Indonesia.”

Di Mamasa sendiri selama ini, menurut Karaeng, banyak terjadi perampasan atas wilayah-wilayah adat melalui klaim negara, karena memang selama ini tidak ada kepastian hukum yang menjamin pengakuan dan perlindungan hukum atas mereka.

Di Mamasa hingga saat ini telah teridentifikasi 22 komunitas adat yang menunggu kepastian hukum dari pemerintah, baik melalui UU ataupun Perda yang memberikan pengakuan dan perlindungan atas eksistensi mereka.

“Kita berharap agar pemerintah harus hadir sebagai penegak konstitusi sebagai amanah UU bahwa negara mengakui dan menghargai eksisten masyarakat melalui penegsahan UU Masyarakat adat, karena tanpa itu, kita tidak memiliki kepastian dan dasar hukum yang jelas dalam pengelolaan sumber daya alam.”

Paundanan Embong Bulan, dari komunitas adat Patongloang, Kabupaten Enrekang, Sulsel, juga menyatakan kekecewaannya atas tidak masuknya RUU ini dalam Prolegnas 2016. Padahal keberadaan UU ini diharapkan bisa menjadi daya dorong bagi Pemda untuk segera membuat aturan di tingkat lokal dalam bentuk Perda.

“Meski belum ada UU namun kami di Enrekang sudah menginisiasi lahirnya Perda Masyarakat Adat. Namun tidak semua daerah memiliki pemikiran dan keperdulian yang sama karena beralasan belum ada UU yang mengatur secara khusus. Seharusnya UU ini segera hadir agar memberi kepastian dan bisa menjadi daya dorong yang kuat di daerah.”

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan, juga menyampaikan kekecewaannya terhadap DPR dan rezom Jokowi-JK.

“Kami merasa dikhianati oleh Partai-Partai Politik lewat fraksi-fraksinya di DPR RI yang dalam berbagai pertemuan sudah berjanji untuk memperjuangkan RUU Masyarakat Adat ini untuk masuk dalam Prolegnas 2016. Demikian juga dengan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla, yang sudah menjanjikan pengesahan RUU ini menjadi UU dalam NAWACITA,” katanya.

Menurut Abdon, terdapat sekitar 70 juta Masyarakat Adat di seluruh Indonesia yang merasa sangat kecewa dan terluka dengan keputusan BALEG DPR RI yang tidak memasukkan RUU Masyarakat Adat dalam daftar Prolegnas Prioritas 2016.

“Kejadian ini menunjukkan bahwa negara ini, yang diwakili oleh DPR, DPD dan Pemerintah, masih abai dengan amanat UUD 1945 dan menutup mata dan telinga terhadap tumpukan masalah yang dihadapi Masyarakat Adat selama puluhan tahun,” ungkapnya.

Menurutnya, menunda pengesahan RUU Masyarakat Adat sama dengan mengabaikan amanat UUD 1945, membiarkan Masyarakat Adat terus kehilangan hak tanpa perlindungan hukum, menunda 70 juta Masyarakat Adat menjadi warga NKRI yang seutuhnya.

“Menunda pengesahan RUU Masyarakat Adat sama dengan menutup mata dan telinga terhadap tumpukan masalah yang dihadapi Masyarakat Adat, membiarkan konflik, pelanggaran HAM, kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi terus terjadi di komunitas.”

Ia melanjutkan bahwa menunda pengesahan RUU Masyarakat Adat sama dengan membiarkan perampasan tanah, wilayah dan kerusakan SDA terus terjadi dan membiarkan identitas budaya, seni dan tradisi, serta pengetahuan tradisional tanpa perlindungan hokum.

“Menunda pengesahan RUU Masyarakat Adat sama dengan membiarkan UU dan berbagai kebijakan terkait Masyarakat Adat, berjalan tanpa pijakan hokum, sama dengan membiarkan ketidakadilan sosial dan hukum terus berlangsung di republik ini.”

Daftar Prolegnas Prioritas 2016 ini sendiri masih akan dibahas di BAMUS dan Rapat Paripurna DPR RI hari Senin dan Selasa minggu depan.

“Masih ada waktu untuk pimpinan DPR RI, para pemimpin partai politik dan Presiden Jokowi sendiri untuk turun tangan memperbaiki daftar RUU hasil Baleg dengan memasukkan RUU Masyarakat Adat dalam daftar ini.

RUU Masyarakat Adat ini sudah dibahas secara mendalam di DPR RI periode yang lalu dan secara substansial sudah siap disahkan.

“Saatnya DPR dan Presiden membayar hutang konstitusionalnya yang tertunggak 70 tahun kepada masyarakat adat,” tandasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,