, ,

Di Tengah Penolakan, 8 Perusahaan Pastikan Terlibat dalam Reklamasi Jakarta

Walau mendapat tentangan dari masyarakat di Teluk Jakarta, namun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus melaksanakan proyek reklamasi pantai dan pembangunan 17 pulau buatan di Teluk Jakarta. Proyek tersebut dilakukan dengan skema utang senilai Rp540 triliun atau setara USD40 miliar.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim, mengungkapkan, sedikitnya saat ini ada 8 (delapan) perusahaan prooperti yang sudah mengantongi izin reklamasi dari Pemprov DKI Jakarta. Dari 8 perusahaan tersebut, terdapat PT Muara Wisesa Samudera (anak perusahaan PT Agung Podomoro Land Tbk) yang kebagian jatah membangun Pulau G.

“Untuk mereklamasi perairan seluas 161 hektare, perusahaan ini menggandeng investor asal Amerika Serikat, Inggris, Belanda, dan Singapura. Di dalam Pulau G, akan disediakan 70.000 tempat tinggal, mal, perkantoran, apartemen, dan perumahan pinggir pantai sebanyak 90.000,” ujar dia di Jakarta, Kamis (28/1/2016).

Halim menjelaskan, PT Muara Wisesa akan melaksanakan pembangunan Pulau G, karena sebelumnya sudah mendapatkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tertanggal 23 Desember 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.

“Padahal surat keputusan ini bertentangan dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” tutur dia.

Halim melanjutkan, di dalam Pasal 34 disebutkan, (1) Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi; (2) Pelaksanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga dan memperhatikan: (a)     keberlanjutan kehidupan dan penghidupan Masyarakat; (b) keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; serta (c) persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material.

“Pada perkembangannya, masyarakat pesisir di Teluk Jakarta, termasuk Tangerang dan Bekasi, menolak proyek reklamasi ini dikarenakan ancaman hilangnya keberlanjutan hidup dan penghidupan mereka,” papar dia.

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Januari 2016), diolah dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pelbagai sumber
Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Januari 2016), diolah dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pelbagai sumber

Menurut Halim, penolakan warga itu sejalan dengan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Reklamasi di wilayah pesisir hanya boleh dilakukan apabila manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar daripada biaya sosial dan biaya ekonominya,” tandas dia.

Protes Nelayan

Sementara, di hari yang sama, puluhan nelayan yang mengatanamakan nelayan pantai utara Jakarta melakukan aksi demontrasi dengan mendatangi gedung DPRD DKI Jakarta. Kedatangan mereka ke gedung Rakyat tersebut, tak lain karena mereka khawatir proyek reklamasi akan mengancam keberlangsungan mereka selanjutnya.

Bersama dengan para nelayan, turut hadir juga aktivis dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta), dan Walhi Jakarta. Kehadiran mereka di gedung Dewan, untuk memberikan dukungan atas aksi yang dilakukan nelayan.

Di sela aksi, Sekretaris Jenderal KNTI M Taher mengungkapkan, kehadiran nelayan dan para aktivis, tidak lain untuk menyuarakan tiga tuntutan atas proyek reklamasi dan pembangunan pulau buatan di Teluk Jakarta.

Tiga tuntutan tersebut, yaitu menolak Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang reklamasi, menolak proyek reklamasi, dan menolak relokasi nelayan di sekitar Teluk Jakarta.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,