Jika ingin hutan terus dijaga oleh masyarakat sekitar, sehingga tidak mengalami kerusakan seperti dirambah atau dibakar, tampaknya perlu dilakukan skema bagi hasil dengan mereka.
Pemikiran ini tertuang dalam konsep Benefit Sharing Mechanism (BSM) atau mekanisme pembagian manfaat, sebagai salah satu alternatif insentif di sektor kehutanan tersebut, yang diselenggarakan melalui pemetaan kebutuhan melalui identifikasi hak dan manfaat masyarakat sekitar hutan sampai pada tingkat rumah tangga.
Berdasarkan siaran pers yang diterima Mongabay Indonesia, Jumat (29/01/2016), konsep BSM ditawarkan Article 33 Indonesia dalam sebuah diskusi publik pada 19 Januari 2016, bersama perwakilan masyarakat sipil antara lain Forest Watch Indonesia (FWI), Auriga Nusantara, Epistema Institute, HuMa, PWYP Indonesia, JPIK dan Sajogyo Institute. Dalam kesempata itu, dibahas beberapa celah fiskal seperti dana amanah konservasi dan skema insentif/disinsentif sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; earmarking Dana Bagi Hasil (DBH); pendapatan desa; dan akses Dana Alokasi Khusus (DAK).
“Adapun DAK yang dapat digunakan untuk membiayai BSM antara lain DAK lingkungan dan kehutanan serta DAK infrastuktur publik daerah,” jelas Joko Tri Haryanto dari Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, sebagai penanggap.
Diskusi publik yang juga dihadiri para akademisi, perwakilan masyarakat sipil, dan para pemangku kebijakan, sebagian besar merupakan staf ahli komisi IV DPR RI dari berbagai fraksi.
Nur Masripatin, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyambut baik usulan dan rekomendasi celah fiskal tersebut, terutama yang memungkinkan mekanisme pembagian manfaat bergerak dengan cepat di ruang-ruang di bawah aturan yang ada sembari melihat mana aturan yang perlu dibenahi. Ini merupakan momentum yang tepat selepas perhelatan COP 21 di Paris, yang sejalan dengan usaha untuk mengurangi emisi, deforestasi, dan degradasi hutan melalui keterlibatan aktif semua pemangku kepentingan terutama masyarakat lokal sekitar hutan.
Riset BSM dengan menggunakan celah fiskal telah dijajaki melalui serangkaian riset yang telah dilakukan Article 33 sejak 2013. Yang pertama kali digagas Article 33 melalui serangkaian riset di Kabupaten Bungo, Jambi, adalah melalui earmarking dana bagi hasil sumber daya alam yang diterima oleh daerah di tingkat kabupaten, terutama dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan iuran produksi tambang.
Penerima insentif yang disasar yaitu masyarakat adat Datuk Sinaro Putih, yang memiliki kegiatan patroli rutin secara mandiri untuk menjaga hutan adatnya. Usaha inilah yang kemudian diajukan ke dalam skema BSM oleh Article 33. Pendampingan dengan melalui deliberasi sosial untuk pemetaan kebutuhan dilakukan bersama dengan pemerintah Kabupaten Bungo. Capaian yang didapat yakni komitmen pemerintah daerah untuk menindaklanjuti skema insentif ini, karena berimplikasi baik bagi kelestarian hutan.
Karena capaian itulah, penelitian selanjutnya diarahkan untuk melihat celah fiskal lainnya selain DBH. Celah fiskal tetap menjadi kajian utama untuk BSM karena dianggap lebih bersifat jangka panjang. Selain itu, atas dasar Pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945, bahwa penguasaan negara atas sumber daya alam digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka penggunaan fiskal merupakan wujud dari kehadiran negara dalam pengelolaan hutan lestari yang juga menyejahterakan masyarakat di dalamnya.
Muhammad Robbi Qawi, peneliti Article 33 Indonesia, mendorong dua Peraturan Pemerintah (PP) mengenai Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (IELH) agar diterbitkan sesuai UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Kedua PP tersebut, tentang dana amanah konservasi dan skema insentif/disinsentif, dapat menjadi payung hukum bagi skema mekanisme pembagian manfaat. Penetapan PP ini diharapkan memantik pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran insentif bagi masyarakat lokal hutan yang berkontribusi bagi konservasi.