,

Maleo dan Tradisi Masyarakat Adat Batui yang Digerus Industri

Tua, muda, anak-anak, berkumpul mengadakan ritual pengantaran telur maleo. Ritual Molabot Tumpe ini dibuat oleh masyarakat adat di Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Telur maleo diantar dari Batui ke Banggai. Sayang, konsesi perkebunan sawit serta perusahaan minyak dan gas; LNG Donggi Senoro, kini menguasai Suaka Margasatwa Bakiriang, kawasan konservasi yang merupakan wilayah adat masyarakat Batui, juga habitat utama burung maleo.

Siang, 24 Desember 2015. Puluhan orang memakai baju adat merah berjalan beriringan. Tangan mereka, masing-masing memegang dua butir telur maleo yang terbungkus daun menyerupai lontar dan telah didoakan tetua adat. Mereka berarak menuju muara sungai. Di sana, perahu adat yang terpasang bendera, dilengkapi gong dan rebana sudah menyambut. Telur maleo berjumlah seratus lebih itu akan dibawa ke Pulau Peling, lokasi Kerajaan Banggai. Perjalanan ini ditempuh sehari semalam.

Ritual ini berawal pada 1500-an. Ketika seorang lelaki, Adi Cokro, dari kerajaan Jawa di Kediri, menginjakan kakinya di tanah Banggai. Orang Banggai memanggilnya Adi Soko. Kedatangannya ke bumi selebes untuk memperdalam Agama Islam. Jauh sebelumnya di tahun 1200-an, Islam sudah ada di Banggai yang dibawa oleh Syeh Djabar dari Hadramaut.

Tidak lama setelah itu, Adi Soko diangkat menjadi Raja Banggai. Ia menikah dengan putri Raja Motindok di Batui bernama Sitti Aminah. Dari pernikahannya lahirlah putra yang diberi nama Abu Kasim. Kelahiran Abu Kasim diberi hadiah oleh sang kakek Raja Motindok sepasang burung maleo. Sayang, selang beberapa tahun menjadi Raja Banggai, Adi Soko memutuskan kembali ke tanah asalnya, Jawa. Sepasang maleo itu turut dibawa, sementara istri dan anaknya tidak, mereka menetap di Gunung Tatandak.

Karena terjadi kekosongan kekuasaan, kerajaan mencari sosok raja baru. Pilihan jatuh pada Abu Kasim. Para petinggi kerajaan coba menjemput Abu Kasim, namun ia menolak menjadi raja karena teringat pesan ibunya.

“Kamu jangan jadi raja anakku, kalau tidak selama hidup kita tidak akan bertemu.”

Abu Kasim memutuskan tidak menjadi raja dan pergi ke tanah Jawa, mencari ayahnya. “Maaf nak, kamu yang harusnya menjadi Raja Banggai,” begitu kata Adi Soko kepada Abu Kasim, ketika anaknya berada di tanah Jawa.

“Jika kamu tidak ingin jadi raja, jemputlah saudaramu Mandapar di Ternate,” kata Adi Soko lagi.

Mandapar adalah anak Adi Soko dari istrinya yang berdarah Portugis di Maluku Utara. Abu Kasim setuju dengan ayahnya. Ketika pulang, sepasang maleo yang pernah diberikan kakeknya kepada Adi Soko, dibawa ke Banggai. Di Jawa, burung tersebut tak bisa berkembang biak.

Akhirnya, Abu Kasim berhasil membujuk Mandapar menjadi Raja Banggai. Saat itulah, sepasang maleo tadi dibawa lagi ke Batui, dan dilepas di Bakiriang.

“Kalau maleo ini bertelur, tolong telur pertama ini dibawa ke Kerajaan Banggai,” kata Abu Kasim pada sang kakek.

Telur maleo pertama ini disebut tumpe. Amanahnya, diperingati oleh warga Batui hingga saat ini. Setelah pengantaran telur pertama maleo selesai, puncak ritual Monsawe atau ucapan sukur atas selesainya pelaksanaan tumpe merupakan acara berikutnya.

***

Malam, 9 Januari 2016. Langit di Batui memerah. Api yang keluar dari cerobong perusahaan minyak dan gas milik Medco seperti menjilat langit. Masyarakat di Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah; tua, muda, anak-anak, dengan membawa bekal, berkumpul di Kusali.

Setelah Salat Isya, warga memadati bangunan yang menyerupai masjid itu. Dindingnya sebagian besar dibalut kain merah muda. Sementara di luar, berjejer gubuk dan tenda beralaskan pelepah bambu. Gubuk dan tenda ini menjadi tempat tinggal warga selama di Kusali, sehari-semalam.

Telur maleo setelah didoa dan diritualkan, kemudian direbus dan dimakan bersama. Foto: Christopel Paino
Telur maleo setelah didoa dan diritualkan, kemudian direbus dan dimakan bersama. Foto: Christopel Paino

Kusali juga disebut tempat keramat. Lokasinya di areal hutan. Jaraknya 15 sampai 20 menit menggunakan kendaraan, baik roda dua maupun roda empat, yang sedikit mendaki dan berbatu. Namun, sebelum ada kendaraan, warga jalan kaki sekitar 7 jam.

Di Kusali, warga menggelar ritual monsawe. Ini semacam ucapan syukur ketika ritual tumpe atau pengantaran telur pertama burung maleo selesai dilaksanakan. Ada empat Kusali untuk warga menggelar ritual: Kusali Loa, Kusali Kuop, Kusali Bola Totonga, serta Kusali Matindok. Malam itu, Kusali Bola Totonga menjadi tempat ketiga puncak perayaan tumpe.

“Ini rangkaian ritual tumpe. Kami mengucap syukur karena telur maleo sudah dibawa ke Banggai,” kata Ketua Lembaga Adat Batui, Baharudin Saleh.

Di depan Kusali, berdiri sebuah tiang dan bendera merah putih. Di sampingnya juga beberapa botol plastik dan jerigen air yang akan didoakan. Dalam ritual monsawe, bendera itu harusnya berwarna merah. Pergantian terjadi sejak peristiwa 1965 meletus di Jakarta dan beberapa tempat di Indonesia. Bendera adat Batui itu sempat dituduh bagian dari komunis oleh komando distrik militer setempat. Hingga kini, merah putih menjadi pengganti bendera adat.

Saat ritual monsawe, masyarakat juga mendirikan dapur umum. Ibu-ibu memasak, ada ratusan orang yang harus dijamu makan. Termasuk, tamu undangan yang hanya ingin melihat ritual. Seekor sapi dan kambing dipotong sebagai jamuan.

Usai memasak, sebagian ibu masuk ke Kusali. Ritual dimulai dengan prosesi buka kunci, untuk memanggil roh nenek moyang. Gong dan rebana ditabuh. Suasana malam berubah menjadi mistik. Tak lupa, empat telur maleo diletakkan di pojok sebagai salah satu syarat. Selendang merah digunakan untuk menutupi sebagian tubuh atau jadi ikat kepala. Satu persatu tubuh peserta mulai mengalami Tontenbang. Ada yang menari, ada yang mirip orang pasang jurus silat, bahkan ada yang dalam posisi duduk bersila, tiba-tiba tubuhnya seperti terangkat.

“Ini bukan kerasukan atau kemasukan. Tontenbang itu sepertinya tidak ada padanan kata dalam Bahasa Indonesia. Kondisinya seperti dalam buaian. Pada saat tontenbang ada juga yang ambil air wudhu. 70 persen yang pakai selendang merah saat Tontenbang itu ketika ditanya mereka adalah Syeh,” kata Baharudin.

Semakin larut, semakin banyak warga yang mengalami Tontenbang. Kondisi ini berlangsung hingga jam 9 pagi. Sebelum diakhiri dengan makan bersama. Di sini, telur maleo yang tadinya didoakan, sudah direbus dan disajikan sebagai makanan.

***

“Banyak yang menyoroti, ritual adat ini membuat burung maleo punah,” kata Baharudin.

Baharudin dan sebagian besar masyarakat percaya bahwa maleo yang tersebar di Pulau Sulawesi berasal dari Batui.

“Kalau ritual ini bikin punah, maleo tidak akan sampai ke Sulawesi Utara, Gorontalo, atau tempat lain. Itu tidak benar. Maleo tidak kami tangkap, hanya telurnya yang kami ambil karena amanah leluhur. Itu pun ada aturan adat; yang diambil dan yang dibiarkan menetes. Warga tahu larangan itu.”

Papan selamat datang di Suaka Margasatwa Bakiriang. Kawasan ini adalah wilayah adat Batui, namun di dalamnya ada konsesi sawit dan migas. Foto: Christopel Paino
Papan selamat datang di Suaka Margasatwa Bakiriang. Kawasan ini adalah wilayah adat Batui, namun di dalamnya ada konsesi sawit dan migas. Foto: Christopel Paino

Menurut Baharudin, justru yang menghancurkan habitat maleo adalah perusahaan, seperti perkebunan sawit dan perusahaan minyak dan gas. Bakiriang yang sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi oleh negara malah di tanami sawit dan pipa untuk pengeboran minyak.

“Kami masyarakat adat tidak bisa apa-apa, tidak punya wewenang.”

Ia menjelaskan, pengrusakan wilayah adat Bakiriang yang merupakan habitat utama maleo itu justru terjadi pada 1970-an, ketika pengelolaannya diambil alih negara. Padahal, ketika Bakiriang dipegang oleh adat Batui tidak seperti sekarang, untuk masuk saja harus permisi.

Bakiriang menyimpan banyak memori. Bagi Mahasuna Lahamusa, ibu yang menjadi juru masak saat ritual itu, mengaku ketika masih remaja di 1970-an, sering ikut pamannya mencari telur maleo di pesisir pantai.

“Bakiriang dan hutan adat di sini, pohonnya kelihatan hitam karena banyak maleo. Mereka bertelur di pantai. Paman saya tukang gali telur, saya ikut dan diajarkan mana telur yang harus diambil dan yang tidak,” kata Mama Iki, panggilannya.

Tidak lama, Mama Iki berbicara pelan, seperti orang berbisik, “Sekarang maleo susah. Bakiriang di tanam sawit Pak Murad. Dekat sini, sawit milik perusahaan bernama Sawindo, lalu dibangun kampung transmigrasi dari Jawa, serta ada juga pipa-pipa gas milik LNG.”

Yang ia sebut Pak Murad adalah Murad Husain, taipan lokal pemilik PT. Kurnia Luwuk Sejati (PT. KLS), perusahaan perkebunan sawit yang telah menanam sawit di Bakiriang sejak 1999. Sementara Sawindo adalah PT. Sawindo Cemerlang yang belum lama ini mendapatkan konsensi perkebunan sawit di Kecamatan Batui. Lalu LNG adalah blok minyak dan gas milik Medco Grup yang bekerja sama dengan Pertamina mengeksploitasi sumber daya alam di Batui.

Menurut Baharudin, di Kecamatan Batui ada delapan perkampungan yang juga masuk wilayah adat, semuanya habis dirambah sawit, termasuk tujuh makam keramat. Untuk itu, dari adat, katanya, mendesak pemerintah mengembalikan habitat maleo kepada mereka.

“Ada baiknya masyarakat yang punya wewenang penuh mengelola Bakiriang, kalau hanya setengah-setengah, lebih baik tidak usah.”

Saat ini saja, katanya, dalam melaksanakan ritual tumpe dan ritual monsawe, masyarakat adat bersusah payah mendapatkan telur maleo. Mereka harus pergi ke Kabupaten Morowali untuk membeli telur sebanyak 160-an butir.

“Satu butir telur kami beli Rp50.000. Total untuk semua rangkaian ritual adat kami menghabiskan uang sekitar Rp50-an juta, sudah termasuk biaya makan dan potong sapi. Kami tidak minta ke perusahaan,” ungkap Baharudin.

Kantor Resort Suaka Margasatwa Bakiriang hanya tersisa plang nama. Kantor ini menjadi tempat beristirahat pekerja dari perusahaan migas. Foto: Christopel Paino
Kantor Resort Suaka Margasatwa Bakiriang hanya tersisa plang nama. Kantor ini menjadi tempat beristirahat pekerja dari perusahaan migas. Foto: Christopel Paino

Abdul Haq B Salam, dari Dewan Adat Batui, mengakui bahwa hak komunal masyarakat adat sudah hilang. Saat ini katanya semua diatur oleh manajemen industri. Untuk penangkaran maleo saja dilakukan oleh perusahaan dan ketika mau lihat, harus memakai kartu visitor.

“Sekarang tidak ada jaminan ketika telur maleo habis, apakah ritual-ritual adat ini bertahan. Apalagi sudah ada undang-undang yang melarang penggunaan telur maleo. Saya berharap, aturan ini tidak menyentuh adat yang ada di Batui. Sebab, kalau beli telur maleo di Morowali, orang di sana tidak mau menjual, takut, dilarang undang-undang, bisa di penjara. Terus kita mau ambil telur di mana?” kata Abdul Salam.

Ia menjelaskan lagi, yang unik di hutan adat Batui adalah maleo biasa bertelur di pinggiran sungai atau dekat makam keramat yang ada pasirnya. Sayangnya, semua kekayaan adat Batui itu diambil oleh banyak kepentingan.

“Saya kira perlu dibuat pemetaan wilayah adat di Batui. Karena, di kabupaten Banggai yang sudah terpetakan baru wilayah adat Suku Ta’a,” tandasnya lagi.

Masyarakat adat Batui pernah melakukan perlawanan ketika mempertahankan wilayahnya. Peristiwa itu terjadi di penghujung 2004. Pohon-pohon adat yang ada di Kusali Bola Totonga, tempat ritual monsawe dilakukan, ditebang oleh perusahaan kayu atau sawmill. Masyarakat protes dan ribuan orang menyerbu kantor polisi di kecamatan.

“Ketika itu kami datang ke kantor polisi untuk melihat orang perusahaan yang menebang pohon, sebab banyak yang lihat pelakunya berkeliaran di pasar. Tapi, polisi menghalangi. Kami yakin orang itu dibebaskan dan minta pelakunya dihukum adat saja. Dari sini mulai ricuh, masyarakat melempar batu ke kantor polisi, bahkan ada yang mau merobohkan pakai martil. Kantornya nyaris rata dengan tanah,” kata Rahmat Samadi, warga Batui.

Saat demo itu, Rahmat berstatus mahasiswa semester tiga. Ia ikut memimpin masyarakat adat, dan berdebat dengan Kapolsek Batui. Beberapa hari setelah demo, satu persatu warga diciduk Polres Banggai. Total 28 orang ditangkap, termasuk Rahmat dan juga ketua lembaga adat, Baharudin Saleh. Mereka dituntut penjara 7 tahun dan dikenakan pasal perbuatan makar dan perusakan fasilitas umum. “Kami menjalani hukuman penjara 6 bulan, termasuk saya karena dianggap provokator. Lainnya, penjara 4 bulan.”  

Pada Oktober 2010, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah mengirimkan surat ke Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), yang isinya menyebutkan, petugas BKSDA Sulteng menemukan perambahan Suaka Margasatwa Bakiriang menjadi perkebunan sawit milik PT. KLS seluas 562,08 hektar. Perambahan tersebut dilakukan sejak 2000.

Kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang ditetapkan berdasarkan SK Menhut Nomor 394/kpts-II tahun 1998 tanggal 21 April 1998 dengan luas 12.500 hektar.

Namun ketika kami mencari kantor resort Bakiriang milik BKSDA itu, yang tersisa hanya papan plang. Kantornya menjadi tempat istirahat pekerja yang menanam pipa dari perusahaan minyak dan gas.

Tidak jauh dari situ, terdapat plang dengan tulisan “Selamat Datang di Kawasan Lintasan Maleo, SM Bakiriang,” dengan tulisan yang mulai memudar. Sementara hanya beberapa ratus meter, terdapat perkebunan sawit inti milik PT. KLS.

Salah seorang pekerja sawit berasal dari Mamuju, Sulawesi Barat, tampak sibuk mencungkil tandan buah segar. Ia dibantu istri dan anak perempuan berusia 4 tahun. Keduanya memungut buah sawit yang tercecer, lalu dimasukan ke ember, kemudian dikumpulkan di karung.

“Saya bekerja di sini tanpa jaminan kesehatan dan jaminan kerja. Kami dilarang bentuk serikat pekerja. Gaji saya hanya Rp1,5 juta. Tapi itu dipotong sana-sini. Bersihnya Rp500 ribu perbulan, kadang kurang,” kata pekerja itu.

Sawit milik PT. KLS yang ada di kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang. Foto: Christopel Paino
Sawit milik PT. KLS yang ada di kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang. Foto: Christopel Paino
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,