,

Andal Investor Reklamasi Teluk Benoa Dikritisi Tidak Menyakinkan

Rapat publik penilaian Analisis Dampak Lingkungan Hidup (Andal) tentang rencana reklamasi Teluk Benoa pada Jumat (29/1) di Kantor Gubernur Bali berlangsung tegang sekaligus riuh,. Rapat diwarnai interupsi dari warga penolak reklamasi, yang kurang ditanggapi pimpinan rapat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Sementara di luar gedung, ribuan warga unjuk rasa dikoordinir Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) membentuk barisan sekitar 1 kilometer mengelilingi Lapangan Renon terus menegaskan penolakannya. Mereka bergantian orasi dijaga puluhan polisi yang membarikade pintu gerbang kantor Gubernur Bali.

Menurut catatan Mongabay, sedikitnya ada 36 orang yang berbicara dalam forum untuk publik menilai Andal investor dari PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) sebagai pemrakarsa utama dan PT. Dinamika Atria Raya yang mengurus penambangan pasir di Lombok. Namun kurang dari 10 orang yang mendapat waktu untuk mengkritisinya. Belum ada keputusan apakah Andal ini layak atau tidak, hanya diminta merevisi.

Reklamasi dilakukan untuk membuat 12 pulau seluas 638 hektar sebagai kawasan wisata dan hunian. Material yang dibutuhkan batu dan pasir laut. Investor mengutip Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.1329/2014 untuk legalitas penambangan pasir di Lombok yang merupakan daerah pariwisata dan juga pertambangan.

Sementara untuk reklamasi Teluk Benoa mengutip Perpres No.51/2014 tentang Perubahan atas Perpres No 45/2011. Perpres 51 ini dikeluarkan mantan presiden SBY beberapa bulan sebelum lengser untuk mengubah peraturan sebelumnya yang menyatakan Teluk Benoa kawasan konservasi menjadi kawasan pemanfaatan umum.

Konsep Revitalisasi

I Ketut Sudiarta, dosen Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa (Unwar) Denpasar menyebut kajian mengenai dampak penting kegiatan Revitalisasi Teluk Benoa dan Penambangan Pasir Laut  yang direncanakan terhadap lingkungan hidup, tidak berdasarkan atas pengetahuan dan prinsip‐prinsip pengelolaan pesisir terpadu.

Pertama, judul rencana kegiatan tidak sesuai atau konsisten dengan deskripsi kegiatan. Judul rencana kegiatan adalah “Rencana Kegiatan Revitalisasi Teluk Benoa dan Penambangan Pasir Laut” sedangkan dari deskripsi kegiatan tergambar ada rencana kegiatan reklamasi di Teluk Benoa.

Menurutnya jika yang dimaksud “revitalisasi” dalam konteks  kepariwisataan,  yaitu “revitalisasi daya tarik wisata” sebagaimana PP No.50/2010 tentang RIPPARNAS maka reklamasi (pengurugan) tidak termasuk ke dalam strategi revitalisasi.

Sedangkan jika mengacu kepada definisi “revitalisasi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, revitalisasi berarti “proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali”. “Apa yang mau dihidupkan atau digiatkan kembali terhadap ekosistem Teluk Benoa?” katanya.

Hutan mangrove di Tanjung Benoa ini akan terancam hilang jika reklamasi dilakukan. Foto: Tommy Apriando.
Hutan mangrove di Tanjung Benoa ini akan terancam hilang jika reklamasi dilakukan. Foto: Tommy Apriando.

Ia juga berargumen dalam UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil dan UU No.1/2014 tentang Perubahan Atas UU No.27/2007 sebagai pijakan hukum reklamasi wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil tidak dikenal istilah “revitalisasi”.

Sudiarta mengingatkan paradigma pengelolaan wilayah pesisir yang dikenal dengan pendekatan pengelolaan wilayah pesisir terpadu (integrated coastal management). Indonesia sudah mengadopsinya yang melahirkan UU No. 27/2007. Bali sendiri sudah juga mengadopsinya sejak tahun 2000 dengan ditetapkannya Bali sebagai National ICM Demonstration Site of Indonesia, kerjasama Kementerian Lingkungan Hidup dan PEMSEA.

“Bali mempunyai pengetahuan atau kearifan lokal tentang ICM yaitu Nyegara Gunung, jelas pria yang juga membuat riset modeling dampak reklamasi bersama Conservation International (CI) Indonesia ini.

Konsep Nyegara  Gunung adalah roh Perda No.16/2009 dimana Bali sebagai satu kesatuan wilayah provinsi dan sebuah pulau kecil dikelola berdasar prinsip satu pulau, satu perencanaan, dan satu pengelolaan. Hal ini kerap diwacanakan pemimpin daerah Balim, namun tidak diimplementasikan.

Mengganggu Ekosistem

Tim riset yang dikoordinasikan ForBALI juga mengumpulkan analisisnya terhadap Andal ini namun tak bisa disampaikan secara utuh di rapat tim penilai Andal pusat ini karena pembagian waktu berbicara yang kurang adil.

Misalnya ada catatan soal analisis ekosistem dan risiko kebencanaan dari I Made Iwan Dewantama dari CI Indonesia dan I Made Kris Adi Astra seorang analis cuaca. Keduanya hadir dalam rapat.

Dalam rekomendasi Iwan, kesesuaian lokasi dari rencana kegiatan sangat dipaksakan, hanya mengacu pada Peraturan Presiden  dan merusak tatanan hukum di tingkat daerah terutama terkait dengan peraturan daerah (Perda) rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini tentu menimbulkan ketidakpastian hukum yang bisa menjadi preseden buruk di masa yang akan datang. Perda RTRW yang telah disusun dengan susah payah akhirnya harus berubah hanya karena ada Perpres baru untuk mengubah status konservasi Teluk Benoa.

Perbedaan cara pandang masyarakat Bali terhadap Teluk Benoa menurutnya tidak dipahami oleh investor. Argumennya Teluk Benoa merupakan kawasan sedang rusak dengan tingginya tingkat sedimentasi sehingga perlu direvitalisasi. “Padahal masyarakat Bali melihat sebagai kawasan ekologi dan kawasan suci penting dibuktikan dengan indeks keanekaragaman hayati tinggi,” sebut Iwan.

Anak-anak dikenalkan dengan hutan mangrove dan tanaman bakau di Teluk Benoa yang kini semakin terancam akibat laju pembangunan. Fungsi hutan mangrove sebagai sarana pendidikan lingkungan pun akan terancam hilang. Foto: Ni Komang Erviani
Anak-anak dikenalkan dengan hutan mangrove dan tanaman bakau di Teluk Benoa yang kini semakin terancam akibat laju pembangunan. Fungsi hutan mangrove sebagai sarana pendidikan lingkungan pun akan terancam hilang. Foto: Ni Komang Erviani

Teluk Benoa juga menyimpan cadangan carbon. Menurutnya kalau cadangan carbon dibongkar dan diurug maka sangat berpotensi untuk mengganggu.

Soal pengurugan, dalam Andal tidak ada penjelasan untuk memastikan tidak akan ada air keruh yang masuk ke perairan Serangan, Sanur dan Tanjung Benoa hingga Nusa dua yang sangat berpotensi membunuh ekosistem perairan seperti rumput laut dan terumbu karang di kawasan itu.

Dalam catatanya, Iwan menerangkan pada tahap konstruksi tidak dijelaskan mengenai kebutuhan air bersih. Padahal Bali sedang menghadapi krisis air bersih untuk minum dan subak.

Usulan pemrakarsa menggunakan air laut sebagai bahan baku air bersih juga tidak dijelaskan mengenai teknologi yang dipakai yang mahal dan belum ada di Indonesia. Selain itu, investor belum memiliki izin eksploitasi air laut.  Jika air permukaan akan dipakai maka akan mengganggu sistem pertukaran air di dalam teluk.

Andal juga tidak menyebutkan ukuran alur antar pulau reklamasi, yang bisa menjamin adanya pergerakan air. Karena bila air llaut tidak mengalir, berpotensi jadi sumber penyakit.

Disebutkan dalam Andal terganggunya lalu lintas laut oleh kegiatan penambangan pasir laut dianggap sebagai dampak tidak penting, padahal area yang dilalui sangat luas yaitu dari lokasi pengambilan pasir hingga ke dalam Teluk Benoa.

“Tidak ada penjelasan mengenai kondisi lalu lintas di wilayah yang dilalui oleh kapal pengangkut pasir, padahal melewati selat Lombok yang relatif padat karena merupakan alur laut kelautan Indonesia (ALKI) dan selat Badung yang merupakan jalur utama transportasi laut menghubungkan Bali dan Nusa Penida,” ingatnya.

Ditambah lagi tidak dimasukkannya data dari riset yang dilakukan Conservation International Indonesia mengenai keanekaragaman hayati mamalia laut di perairan selatan Bali yang dilakukan November-Desember 2015 lalu. Datanya menunjukkan bahwa perairan selatan Bali merupakan jalur ruaya penting spesies mamalia laut.

Satwa tersebut yaitu Sperm Whale (Physeter macrocephalus), Sei whale (Balaenoptera borealis), Bryde’s whale (Balaenoptera edeni), Spinner dolphins (Stenella longirostris), Spotted dolphins (Stenella attenuata), Risso’s dolphins (Grampus griseus), Fraser’s dolphins (Lagenodelphis hosei) dan Bottlenose dolphins (Tursiops sp).

Selain itu juga penyu, sunfish (Mola mola), pari manta , hiu paus/whale shark (Rhincodon typus), hiu dan ular laut yang tidak teridentifikasi jenisnya.

Kajian sosial dan buaya juga kembali dijelaskan oleh Sugi Lanus soal situs-situs dan kawasan suci di Teluk Benoa. “Mestinya para pemangku (pemimpin ritual di lokasi persembahyangan) dilibatkan,” ujarnya.

Peneliti Penanggulangan Bencana UPN Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno mengingatkan setiap proyek besar memiliki risiko dan ini harus dikelola. “Kalau saya baca masalah yang ada di Teluk Benoa menarik, pencemaran limbah, pembuangan sampah, sedimentasi. Negara berkewajiban menata itu semua. Kan banyak caranya tidak hanya dengan reklamasi, kenapa kita menutup cara yang lain. Tanggung jawab negara bukan diprivatisasikan,” sebut Eko.

Suriadi Darmoko Direktur Walhi Bali mengingatkan ada 11 desa adat di sekitar Teluk Benoa yang sudah resmi menyatakan penolakan dan harus didengar suaranya. Setidaknya ada 4 perwakilan desa adat yang bisa bicara dan menolak reklamasi. Kemudian pentingnya partisipasi publik di Lombok misalnya dalam survey oleh investor banyak warga tak menjawab karena belum pahami resiko.  “Kalau dibilang milik rakyat Bali, ini faktanya dijual,” sentilnya.

Klaim Investor

Sebaliknya dari pihak investor yang membawa analis budaya dan agama menyebut apa yang dilakukan TWBI sesuai dengan prinsip keseimbangan lingkungan Bali, Tri Hita Karana.

Jro Mangku Gede Suarjaya, Mantan Dirjen Hindu dan Budha yang mewakili kepentingan TWBI ini menjelaskan budaya sebagai potensi utama Bali menggunakan kepariwisataan sebagai wahana aktualisasinya sehingga terwujud hubungan timbal balik yang dinamis antara pariwisata dan kebudayaan.

Komisaris PT TWBI, Marvin Lieano kembali meyakinkan publik bahwa reklamasi adalah solusi dari masalah sedimentasi dan sampah di kawasan ini. “Kami dan kolega di TWBI dan para konsultan mempunyai ide bagaimana caranya agar Teluk Benoa diperhatikan secara khusus agar daya saingnya meningkat nasional maupun dunia. Maka revitalisasi menurut saya harus dilakukan,” ujarnya.

Komisaris TWBI Marvin Lieano dalam rapat penilai Andal di Kantor Gubernur Bali, pada Jumat (29/01/2016). Foto : Luh De Suriyani
Komisaris TWBI Marvin Lieano dalam rapat penilai Andal di Kantor Gubernur Bali, pada Jumat (29/01/2016). Foto : Luh De Suriyani

Konsultan TWBI, Iwan Setiawan memaparkan teknis reklamasi. Bermuaranya masing-masing sungai ke Benoa tak akan mengalami gangguan. Kegiatan konstruksi meliputi 3 yakni ketersediaan sumber urugan, penataan alur antar pulau, dan pengurugan.

Material hasil penataan jadi bahan timbunan sekitar 10 juta meter kubik sisanya dari Selat Alas-Lombok sekitar 30 juta meter kubik. “Kita membangun pulau itu bertahap didasarkan pertimbangan sosial ekonomi. Selama 3 tahun seluruh pulau terbentuk,” katanya.

Metode reklamasi dengan pembuatan tanggul permanen dan sementara menggunakan kantong pasir. Fasilitas yang ada seperti jalur pipa bahan bakar disiasati dengan adanya desain pulau terbelah untuk keamanan pipa.  Pengadaan air salah satunya dengan mengolah air laut dengan teknologi RO dan daur ulang air hujan.

Pihaknya mengaku mendapat ringkasan 180 dampak yang dikaji di antaranya terumbu karang pengaruh mobilisasi pasir urug dari Selat Alas ke Teluk Benoa. Lalu kemungkinan banjir, hidrologi, kualitas udara, air, dan lainnya.

Proses Perizinan

Ketua Komisi Penilai Amdal Pusat, San Afri Awang, mengatakan Amdal (proses setelah Andal) ini bukan satu-satunya soal perizinan, tapi Amdal menentukan langkah berikutnya.

Menurutnya ada distorsi antara reklamasi dan revitalisasi.  “Jadi kesannya kalau reklamasi selalu dalam posisi mengubah segalanya, atau dikesankan mengubah rona lingkungan secara drastis, tapi revitalisasi ini beda,” sebutnya.

Reklamasi murni menurutnya mungkin bisa mengubah bentang alam, tapi kalau revitalisasi bentang alam tidak akan terganggu. “Setuju atau tidak setuju tolong diarahkan pada substansinya. Memang proses ini yang diperintahkan dalam peraturan perundang-undangan, harus kita jalankan dengan tertib, santun dan bermartabat,” lanjutnya.

Pimpinan rapat lainnya adalah Wakil Ketua DPRD Bali Sugawa Korry. Ia tak mengkritik dampak buruk namun memberi catatan jika reklamasi jadi dilakukan. Investor diminta mengutamakan tenaga kerja lokal, tidak menggunakan air bawah tanah dan irigasi, dan pengawasan proyek.

Ada sedikit insiden yang membuat riuh ketika ada anggota DPRD yang angkat tangan untuk ikut bicara namun ditolak oleh Sugawa Korry. Menurutnya yang berhak bicara hanya undangan komisi I dan III. Sementara yang ingin bersuara adalah AA  Ngurah Adhi Ardana dari Komisi II dan seorang anggota DPRD Kota Denpasar kerap menyatakan penolakan rencana reklamasi. Pemkot Denpasar sampai kini secara resmi menolak proyek ini.

Ada juga beberapa warga Lombok Timur yang mengatakan setuju pada rencana ini. Misalnya Abdul Mahjid dan Taufik Hidayat. “Janganlah ketika mengarah ke mendukung, dicap menjadi antek-antek. Di Lombok Timur terjadi gerakan seperti itu sehingga kalau kita mengarah ke mendukung, dicap dapat uang. Bagi yang menolak, apa benar menolak. Ini menjadi pertanyaan kami. Kami di lapangan di masyarakat pesisir sepakat bumi air dikuasai negara untuk kepentingan rakyat,” kilahnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,