, ,

Menteri Lingkungan Norwegia Bahas Implementasi Kerja sampai Komitmen Dana Restorasi Gambut

Rabu(3/2/16), Menteri Lingkungan Hidup dan Iklim Norwegia, Vidar Helgesen melakukan pertemuan dengan beberapa menteri Indonesia, antara lain Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Menteri Keuangan. Setelah itu, dia bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Bahasan pertemuan soal perkembangan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD+) dalam kaitan komitmen US$1 miliar Pemerintah Norwegia, seperti tertuang dalam Letter of Intent (LoI) antar dua negara ini.

Helgesen melihat, kemajuan komitmen Presiden Indonesia, dalam tata kelola hutan dan lahan, seperti melanjutkan kebijakan moratorium, menghentikan konversi lahan gambut sampai pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG). Sebagai dukungan, Pemerintah Norwegia memberikan pendanaan bagi BRG sebesar US$50 juta tahun ini.

Pemerintah Norwegia, memandang, kini sudah terjadi dialog konstruktif antara pemerintah, dunia usaha dan organisasi masyarakat sipil, yang merupakan perkembangan positif. Namun, dia menilai, tak cukup dengan rencana baik, terpenting bergerak maju untuk implementasi di lapangan.

“Kami melihat peningkatan transparansi dalam proses satu peta, citra satelit. Ada banyak sekali hal-hal yang penting untuk bergerak maju dari rencana ke implementasi aktual,” katanya, usai pertemuan dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Siti Nurbaya di Jakarta.

Dalam pertemuan itu, katanya, mereka membahas bagaimana mendorong kerja restorasi gambut oleh BRG. Helgesen mengatakan, BRG, penting tetapi terpenting menghentikan konversi gambut. “Pencegahan itu lebih penting.”

Pemerintah Norwegia, katanya, konsern dalam memerangi deforestasi, sebagai bagian dalam agenda REDD+yang akan mereka dukung. “Kami akan siap mendukung restorasi gambut sebagai bagian dari pendekatan bersama kami,” katanya.

Minim progres?

Meskipun begitu, dia menilai belum melihat perkembangan cukup berarti meskipun LoI sudah berjalan lebih enam tahun.

Mereka memahami, suatu hal alami, bagi pemerintahan baru memerlukan waktu mengatur prioritas kerja. Terlebih, tahun lalu, kebakaran hutan dan lahan hingga menempatkan Indonesia, dalam krisis tata kelola.

“Kami telah melihat begitu banyak persiapan kerja dan pengaturan. Kini sudah tahun baru, bersamaan dengan ada Kesepakatan Paris, yang akan meningkatkan tekanan kepada semua pemerintah, baik Indonesia maupun Norwegia, untuk memberikan perkembangan aktual dalam pengurangan emisi.”

Ketika ditanya soal apakah Norwegia puas dengan perkembangan kerjasama ini? “Norwegia puas dengan dialog yang telah berjalan. Sangat puas dengan kerja lapangan yang telah berjalan.” “Tetapi, saya yakin siapapun tak akan puas ketika melihat kebakaran tahun lalu, melihat deforestasi berlanjut, ketika kami melihat konversi gambut berlanjut. Itulah mengapa sangat bagus diskusi bersama di Indonesia untuk membahas apa yang bisa kita lakukan untuk memperkuat dan membuat perubahan di lapangan,” ucap Helgesen.

Anak usaha IOI Group di Ketapang, yang membuka lahan gambut buat kebun sawit. Foto: Aseanty Pahlevi
Sumber: KLHK
Sumber: KLHK

Tim MRV

Mengenai measurement, reporting and verification (MRV) atau konsep pengukuran, pelaporan dan verifikasi, dalam waktu dekat Norwegia akan mengirimkan tim ke Indonesia.

Menurut Helgesen, MRV merupakan bagian sangat penting yang harus selesai. “Kami telah mendiskusikan bagaimana menempatkan sistem MRV. Karena akhirnya, kita perlu memverifikasi kontribusi pengurangan emisi dari gambut dan hutan. Inilah yang menjadi landasan untuk pendekatan berbasih hasil dari REDD+.”

Untuk itulah, kedua negara ini setuju menempatkan tim bersama dalam waktu dekat untuk menentukan model yang akan digunakan.

Siti Nurbaya, Menteri LHK mengamini, hal penting mesti selesai soal MRV. Saat ini, katanya, metode MRV masih bervariasi, ada dari Universitas Indonesia, ITB, Bappenas.

“Rencana minggu depan akan ada tim kerja dari Norwegia untuk MRV. Kebetulan banged. Nanti kumpulin buat focus group discussion sampai seminar besar. Ini penting,” katanya.

Dia mengatakan, selain membahas deforestasi, moratorium , dan restorasi gambut, Norwegia juga khusus menanyakan soal Papua dan Papua Barat. Menurut dia, di Papua, banyak usulan dalam kaitan pengelolaan hutan oleh masyarakat adat. Pemerintah, katanya, sedang menyelesaikan norma standar pedoman dan kriteria.

“Tetapi secara umum sudah dapat arahan Presiden, bahwa hutan Papua dan Papua Barat, harus dijaga. Jadi bener-bener pertimbangan lingkungan harus sangat kuat. Berarti juga, pengertian menjaga hutan, termasuk pengawasan dan penegakan hukum,” katanya.

Siti juga menyampaikan soal masih beredar, kayu-kayu ilegal dari Papua ke Kalimantan Timur dan Jawa Timur. “Ini sedang pelajari terus.”

Dia mengakui, Indonesia masih banyak kelemahan dalam dukungan kapasitas mengenai penegakan hukum, terutama inteligen, persiapan material untuk ke pengadilan seperti ahli dan lain-lain.

Dana restorasi US$50 juta

Nazir Foead, Kepala BRG membenarkan soal bantuan buat restorasi gambut dari Norwegia—yang merupakan bagian dari LoI US$1miliar. “Untuk 2016 ini, US$50 juta untuk BRG bagian dari LoI dengan Norwegia dalam fase II,” katanya.

Untuk pencairan dana ini, kata Nazir, kemungkinan dalam dua termin, masing-masing US$25 juta. Idealnya, kata Nazir, Kementerian Keuangan menyiapkan mekanisme keuangan untuk pencairan. “Kalau nanti sudah selesai, tergantung bagaimana mekanisme yang dibuat Kemenkeu. Kalau misal belum ada mekanisme Kemenkeu, tetapi kegiatan sudah harus jalan, berarti pakai gunakan mekanisme yang ada sekarang. Seperti pendanaan ke BP REDD+ melalui UNDP,” ujar dia. Meskipun begitu, katanya, teknis detil masih akan didiskusikan.

BRG baru terbentuk hingga masih proses kelengkapan. Meskipun begitu, katanya, jangan sampai kerja-kerja terkendala. Menurut Nazir, kalau kelembagan belum lengkap, tetapi pekerjaan mulai berjalan, akan menggunakan lembaga keuangan lain yang akan mengelola dana sampai BRG siap mekanisme sendiri.

Pendanaan ke BRG dari Norwegia ini, katanya, karena negara itu melihat keputusan Presiden progresif dalam mencegah kebakaran dan emisi karbon serta deforestasi dari gambut. “Ditambah kebijakan lahan gambut masih baik, tak boleh dibuka. Kebijakan ini direspon Norwegia seperti ini.”

Sebelum dari Norwegia, bantuan dana datang antara lain dari Amerika Serikat komitmen US$30 juta, Yayasan Packard US$15 juta.

“Kita yakin akan bertambah terus bantuan. Ini menunjukkan kepercayaan kepemimpinan Jokowi dengan langkah-langkah yang diambil.”

Program restorasi gambut ini, kata Nazir, diharapkan bermanfaat ekonomi kepada masyarakat. “Positif ke iklim, penyediaan air, dan dampak sosial ekonomi ke masyarakat.”

Dengan program ini, dia menilai, negara sahabat melihat solusi Indonesia sudah tepat. “Maka datanglah bantuan-bantuan ini agar solusi dapat dikerjakan dengan baik. BRG harus buktikan program-program berjalan baik,” katanya.

BRG, membuat program dengan masukan berbagai pihak, dari pemerintah, organisasi masyarakat sipil, masyarakat juga pengusaha, dengan memperhatikan aturan (perpres).

“Saya yakin kalau kerja ini bagus, tahun depan, akan lebih banyak lagi tawaran buat kerja. Baik dari donor bilateral dan multilateral atau donor-donor lain bahkan dunia usaha.”

Sumber: KLHK
Sumber: KLHK
Hutan hambut di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah, yang ludes terbakar pada akhir 2015. Foto: Sapariah Saturi
Hutan hambut di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah, yang ludes terbakar pada akhir 2015. Foto: Sapariah Saturi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,