Pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) diharapkan bisa mempercepat pemulihan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut secara khusus, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh. Demikian dikatakan pakar gambut dari Universitas Gadjah Mada, Oke Karyanto.
“Pembentukan BRG menujukkan keseriusan Presiden mengembalikan lahan gambut lebih baik. Mengukur keberhasilan kinerja jika BRG mampu melakukan sesuai harapan Presiden,” katanya.
Indonesia, katanya, memiliki lahan gambut sekitar 20 juta hektar, 90% di pesisir selatan Kalimantan dan pesisir timur Pulau Sumatera. Dari lahan itu, sekitar 7,5 juta hektar untuk sawit dan hutan tanaman industri (HTI).
Dalam Perpres, restorasi gambut dua juta hektar. Dia mempertanyakan, bagaimana lahan gambut lain yang rusak. “Aturan harusnya menjadi representasi kepentingan publik. Pemerintah harus belajar dan melihat kebakaran tahun lalu. Kurang apa lagi,” kata Oka.
Permasalahan gambut, katanya, muncul karena banyak faktor, seperti tekanan pasar global akan produk, paradigma pembangunan cenderung eksploitatif sampai tata kelola buruk. “Kita berhadapan dengan perilaku individu rakus, hingga kearifan dan budaya lokal tak digunakan.”
Dengan berbagai masalah itu, BRG perlu mengintegrasikan beberapa aspek, yakni rekayasa sosial, rekayasa teknis, dan aspek politik pembangunan ekonomi dalam pengelolaan HTI ataupun perkebunan. Dari berbagai aspek terintegrasi tadi, katanya, perlu dibungkus dengan aturan hukum, penegakan peraturan, harmonisasi peraturan, perbaikan peraturan serta tata ruang jelas. “Tata ruang perlu ditekankan bagaimana kondisi topogragfi gambut guna mengontrol tata air dalam merestorasi.”
BRG, katanya, harus memikir ulang bagaimana menata lahan gambut. “Banyak kebijakan yang dibuat menabrak hukum alam.”
Jika tak ditangani komprehensif, asap ke depan akan makin parah. Lahan gambut kering di Sumatera, Kalimantan dan Papua makin bertambah luas.
“Belum lagi faktor perubahan iklim makin tajam. Ini problem berat hingga harus ada perubahan fundamental dalam pengelolaan lahan gambut dan hutan di Indonesia.”
Menurut dia, menyelamatkan lahan gambut dengan mengembalikan fungsi kubah hingga gambut kembali mampu menyimpan air cukup (tetap basah).
“Setelah kubah selamat, di bawah kubah jangan lagi ada saluran-saluran langsung terhubung ke sungai atau bikin sekat.”
Bagi Oka, pemilihan Nazir Foead, sebagai Kepala BRG sudah tepat. Nazir dinilai cukup cerdas memahami kondisi gambut dan politik ekonomi dan politik ekologi. “Persoalannya, apakah dia bisa menghadapi berbagai pihak yang tentu bisa jadi penghambat kinerja, terutama perusahaan besar yang punya kepentingan mengeksploitasi lahan gambut.”
Kepala BRG, katanya, harus berpihak pada pelestarian lingkungan gambut, tak berperspektif perusahaan. “Badan ini menjadi test case dalam perbaikan pengelolaan sumber daya alam,” katanya.
“Langkah strategis itu, mesti diawali penyiapan data spasial. Dukungan data-data hidrotropi dan peta kontur beresolusi tinggi untuk memudahkan restorasi.”
Dia juga berharap, pengusaha menjalankan bisnis ke arah pelestarian lanskap hutan.
Dia mengingatkan, Nazir berhati-hati dengan para akademisi superior yang malah punya pemikiran tak berpijak pada pelestarian gambut. Lahan gambut, katanya, tak harus dieksploitasi. “Memang ada bisa difungsikan ekonomi namun sangat terbatas. Kita jangan terbebani target lahan gambut untuk ekonomi. Itu sesat.”
Saat ini, katanya, gambut di berbagai pulau, dalam kondisi buruk. “Ada terlihat baik di Papua, namun sudah banyak ditunggangi izin pemanfaatan.” Dia menyarankan, evaluasi izin di lahan gambut hingga pembangunan ekonomi tak merusak gambut.