,

Nelayan Jawa Disuruh Melaut ke Natuna dan Arafuru

Pasca diberlakukan moratorium eks kapal asing di seluruh wilayah perairan Indonesia dalam setahun terakhir, perlahan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mulai menata wilayah perairannya. Salah satunya, dengan mengatur wilayah tangkap buat nelayan yang ada.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, kemarin, mengatakan, penataan wilayah tangkap nelayan tersebut dilakukan karena saat ini seluruh wilayah perairan Indonesia sudah bebas dari nelayan asing.

Untuk itu, langkah yang dilakukan saat ini, kata Susi, adalah dengan mengarahkan nelayan-nelayan yang biasa melaut dengan menggunakan kapal berukuran cukup besar ke wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang jauh.

“Itu kenapa, kita arahkan nelayan yang ada di (Pulau) Jawa untuk melaut yang jauh saja, keluar dari perairan Jawa,” ucap dia.

Salah satu alasan kenapa nelayan dari Jawa diarahkan melaut jauh, menurut perempuan asal Kabupaten Pangandaran itu, karena nelayan dari Jawa dinilai paling berani dan memiliki pengetahuan lebih baik dari nelayan di wilayah lainnya.

“Selain itu, yang paling penting, nelayan dari Jawa ini pengalamannya luar biasa banyak. Selain itu, perairan di Jawa juga kan kondisinya sudah semakin lesu. Jadi sebaiknya memang nelayan Jawa melaut ke lokasi jauh saja,” sebut dia.

Yang dimaksud lokasi jauh, Susi kemudian menjelaskan, itu adalah perairan di sekitar Natuna, Sulawesi Utara dan Arafuru di Maluku. Kedua kawasan tersebut, hingga saat ini dinilai masih menjadi kawasan perairan yang memiliki biota laut sangat baik dan beragam.

Akan tetapi, Susi mengungkapkan, walau wilayah tangkap yang harus dituju jauh lokasinya, namun Susi meyakinkan kepada nelayan bahwa KKP akan membantu semaksimal mungkin. Salah satunya, dengan melibatkan BUMN Perindo di dua kawasan tersebut.

“Jadi nanti, nelayan bisa langsung menjual ikan ke Perindo yang akan ada di Natuna dan Arafuru. Jadi tidak usah dibawa ke Jawa lagi. Tapi, jika memang mau dibawa (ke Jawa) juga tidak apa-apa,” tutur dia.

Waspada Modus Baru

Berkaitan dengan tertutupnya industri perikanan tangkap untuk nelayan dan kapal asing, Susi mengingatkan kepada nelayan di seluruh Indonesia untuk selalu waspada. Karena, saat ini disinyalir investor asing sedang berusaha masuk kembali dengan menggunakan modus baru.

Modus tersebut, adalah dengan mengiming-imingi nelayan dengan memberi modal untuk mendapatkan izin penangkapan di wilayah perairan Indonesia. Kata Susi, indikasi seperti itu harus diwaspadai karena itu juga bisa berwujud menjadi illegal fishing mutakhir di Indonesia.

“Maka dari itu, saya minta kepada nelayan untuk selalu mawas diri. Jangan mau dikasih janji apapun. Selain itu, nelayan juga jangan mau menjual kapalnya ke (investor) asing. Karena, dengan cara itu, asing akan bisa melaut lagi,” sebut dia.

Himbauan Susi tersebut diungkapkan di hadapan puluhan nelayan yang datang dari Juwana, Pati, Jawa Tengah. Salah satu nelayan, Sukahar, kemudian langsung menimpali himbauan Susi tersebut.

“Iya memang, saat ini modusnya bisa seperti itu. Saya mendapat kabar ada nelayan di Batang dan Juwana yang sudah ditawari modal oleh investor dari Taiwan. Tujuannya sudah jelas, supaya ada izin baru,” papar dia.

Selain iming-iming modal untuk mengurus perizinan, Sukahar menyebutkan, investor Taiwan tersebut juga menjanjikan bagi hasil hingga 5 persen untuk setiap hasil tangkapan melaut. Prosentase itu besar, karena katanya, rerata kapal yang dibangun di Batang dan Juwana, kapasitasnya mencapai 100 gros ton (GT).

“Ibaratnya, nelayan itu diberi saham kosong oleh investor. Karena, namanya dicatut untuk mengurus perizinan sehingga bisa beroperasi,” jelas dia.

Perizinan Sulit

Di samping waspada terhadap modus baru illegal fishing, Sukahar mengungkapkan tentang sulitnya mendapat perizinan untuk menangkap ikan. Dia menyebutkan, untuk kapal yang akan melaut, itu minimal harus melengkapi persyaratan perizinan hingga 26 dokumen. Dokumen tersebut, meski banyak, tapi wajib dilengkapi karena ancamannya tidak boleh melaut.

“Satu saja dokumen tidak ada, itu kami tidak bisa melaut. Padahal, saat dokumen diperiksa, posisi kapal ada di tengah laut. Itu sangat disayangkan, karena biaya operasional jadi sia-sia saja,” papar dia.

Mendengar keluhan tersebut, Susi berjanji akan segera memangkasnya menjadi lebih ringkas tapi tetap memenuhi syarat. Idealnya, kata dia, dengan perkembangan zaman sekarang, dokumen yang harus dilengkapi maksimal 3 dokumen saja.

“Kita akan mulai memberlakukannya per 1 Maret nanti. Silakan Pak Narmoko (NarmokoPrasmadji, Dirjen Perikanan Tangkap) untuk mengurusnya. Pokoknya dibuat lebih ringkas saja,” tandas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,