Pernah dengar Spedagi? Spedagi dari kata sepeda pagi– kegiatan rutin Singgih Susilo Kartono setiap pagi berkeliling melewati jalanan Desa Kandangan, Temanggung. Belakangan Spedagi menjadi nama sepeda bambu, dan gerakan revitalisasi desa.
Proyek Spedagi mengajak semua kalangan menemukan permasalahan di desa dan merumuskan pemecahan. Spedagi juga upaya menggali potensi, menggandakan, dan mengembalikan kepada desa. Proyek ini memayungi penyelenggaraan International Conference on Village Revitalitation (ICVR), pengelolaan homestay, Pasar Papringan, dan sepeda bambu.
Jangan membayangkan ada pabrik sepeda produk massal sepeda dari bambu di Kandangan. Spedagi tak produksi massal. Singgih ingin ia sebagai hasil tangan terampil perajin, bukan barang industri.
Spedagi hanya bisa dibeli dengan memesan. Biasa Singgih akan mengumumkan produksi Spedagi dimulai lagi dengan jumlah terbatas, misal 10 buah, dan bisa memesan. Untuk frame, Singgih mematok Rp3,5 juta. Dengan komponen dan asesoris lengkap Spedagi seharga Rp7 juta.
Sepeda ini tak hanya dijual di Indonesia. Singgih memberi kesempatan peminat luar negeri untuk mengoleksi. Namun disainer yang sukses lewat radio kayu “magno” ini ingin orang memikirkan Spedagi bukan semata sepeda bambu, juga sebuah gerakan.
“Sepeda bambu bukan kegiatan memproduksi sepeda bambu. Ini movement, penyadaran baru melalui media atau alat yang kita pakai,” dalam konferensi pra ICVR di Kandangan.
Sebagai gerakan, Spedagi telah “ekspor” ke Jepang, bernama Spedagi Ato. Ato, nama desa di Kota Yamaguchi. Asuka, salah satu pembicara mengatakan, Ato berpenduduk 6000 jiwa. Banyak warga pergi ke kota mencari pekerjaan. Di desa, tak banyak kerjaan. “Itu hanya alasan yang dicari-cari.” Setelah bertemu Singgih, dengan proyek Spedagi, Auka tertarik membuat proyek serupa di Ato.
Spedagi, kata Singgih, untuk peminat internasional, tidak dijual utuh. Membeli Spedagi tidak sama dengan membeli sepeda umumnya tinggal pilih lalu pakai.
“Orang harus membeli dengan uang dan waktu mereka. Saya ingin memperlihatkan dan ngomong kepada mereka bahwa kekayaan itu diukur dari waktu yang kita miliki, bukan dari uang. Jadi, tidak bisa membeli sepeda bambu bentuk jadi, atau merakit sendiri. Gak boleh. Anda harus pastikan, punya waktu weekend, bahkan beberapa kali weekend. Ada instruktur, fasilitas, dan kita rakit di situ,” kata Singgih.
Cara unik Singgih berjualan sepeda bambu itu berkaitan dengan keprihatinan bagaimana orang memandang waktu. Waktu selalu terasa kurang bagi orang-orang di kota, seolah tersedia melimpah bagi orang di desa.
“Kekayaan kita tentang waktu ini sebenarnya tergerus banyak, terutama bagi orang-orang berkecukupan. Uang makin banyak, tetapi waktu makin sedikit. Persoalan miskin waktu ini luar biasa.”
Dalam kacamata dia, kemiskinan waktu di negara-negara industri sudah sedemikian parah. “Buat mereka yang sangat kaya waktu mereka mungkin banyak. Mereka berdiri di antara sekian orang yang merasa kaya dengan uang, tetapi tidak dengan waktu.”
Pasar Papringan
Singgih juga menelurkan gagasan menghidupkan lagi denyut pasar tradisional di desa (Jawa) yang ramai pada hari pasaran. Pasar Papringan, pasar yang buka setiap 35 hari sekali, atau selapanan dalam perhitungan Jawa, jatuh setiap Minggu Wage. Lokasi di lahan yang ditumbuhi bambu. Barang jualan semua ramah lingkungan.
“Ide Pasar Papringan adalah melestarikan papringan yang di sini sudah bosan, lelah melihatnya. Masyarakat malah memakai untuk buang sampah,” katanya.
Perumpunan bambu gelap, banyak nyamuk, dan kotor ditata sedemikian rupa hingga menjadi bersih, asri, dan eksotis. “Dulu banyak orang tidak mau datang. Kami coba kelola hingga menjadi tempat menyenangkan. Bermanfaat bagi masyarakat sekitar.”
Pedagang yang berjualan di Pasar Papringan, adalah masyarakat Kelingan, dan desa sekitar. Proyek Spedagi, membantu pendampingan guna menghasilkan produk berkualitas.
Di lahan kira-kira 25×75 meter setidaknya ada 20-an penjual. Ada produk kerajinan, kuliner, dan hasil tani. Kerajinan antara lain batik, produk bambu, magno, merchandise. Sajian kuliner seperti kupat tahu, gudeg, soto, kopi dan jamu. Produk pertanian ada hasil organik, jamur, dan tanaman hias.
Singgih menunjukkan produk-produk desa umumnya eco-product, bisa bernilai tinggi. Engkrak atau serok pengumpul sampah dari bambu dengan sentuhan kreativitas mampu dijual dengan harga berlipat.
“Engkrak, di bawah, untuk ngumpulin sampah. Ketika cara pandang di balik, bentuk diperkecil, dipindah ke kepala, menjadi topi lucu. Saya membeli dari perajin Rp15.000, dijual Rp35.000. Orang sini ketawa-ketawa menganggap tidak lazim, orang luar senang luar biasa,” katanya.
Hal lain yang unik di Pasar Papringan adalah mereka bertransaksi harus menggunakan mata uang khusus. Setiap pengunjung menukarkan uang dulu di tempat penukaran sebelum berbelanja. Begitu pula pedagang. Mata uang disebut pring. Satu pring Rp1.000. Habis