,

Jejak-jejak Konservasi di Kaki Gunung Palung

Tak banyak orang tahu siapa sesungguhnya Ismanto. Tubuh ceking dengan kumis dan janggut yang dibiarkan tumbuh seadanya. Dia memang bukan orang terkenal. Tapi keberaniannya mengubah haluan hidup, cukup mengantar lelaki 39 tahun itu jadi inspirator perubahan lingkungan ke arah yang lebih baik.

Kamis (28/1/2016), cuaca di Dusun Manjau, Desa Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, serba tidak menentu. Kadang hujan, tapi tak jarang pula sinar matahari menyengat panas.

Perjalanan dari Kota Sukadana, Kabupaten Kayong Utara menuju Laman Satong begitu terasa. Infrastruktur jalan porak-poranda. Simbol-simbol negara sepertinya hanya hadir dalam kehidupan warga melalui tiang listrik dan kawasan Taman Nasional Gunung Palung.

Tepat di kilometer 20 Dusun Manjau, Ismanto terlihat membenahi sejumlah bibit di Pondok Asri. Dia mengenakan kaos hitam berpadu hijau muda. Pada bagian dada sebelah kiri, tertera sebuah logo: Yayasan Alam Sehat Lestari (Asri). Seperti tersemat rasa bangga dengan kostum yang dikenakannya.

Di pondok sederhana itu, Ismanto bersama sejumlah rekannya bekerja. Selain merawat berbagai jenis bibit pohon, mereka juga terlibat penanaman di areal bekas kebakaran hutan di kaki Taman Nasional Gunung Palung.

Jauh sebelum terlibat dalam gerakan konservasi alam, ayah dua anak ini adalah seorang illegal logger. Sejak 1997, aktivitas perambahan hutan sudah dia kerjakan sesuai permintaan para pemilik sawmill. Rata-rata, pemilik pengelolaan kayu itu berasal dari Siduk dan Ketapang. Selain merambah hutan, Ismanto juga mengisi hari-harinya dengan menoreh karet dan berladang.

Tiga tahun berjalan, Ismanto memutuskan berhenti menjadi pembalak liar. Alasannya, kegiatan tersebut kurang menguntungkan. Jika dilihat dari sisi ekonomi, penghasilan Ismanto berkisar Rp4 hingga Rp8 juta per bulan. Namun, angka tersebut berbanding lurus dengan risiko yang harus ditanggung.

“Lalai sedikit, bisa tertimpa kayu dan mati. Artinya, saya bersusah payah menebang, memikul kayu dari hutan ke tepi jalan, yang meraup keuntungan besar hanya pemilik modal. Usaha sawmill-nya bisa berjalan karena saya memasok kayu berkualitas seperti bengkirai dan meranti,” urainya.

Akhirnya, tahun 2000 menjadi hari baru dalam kehidupan rumah tangga Ismanto. Aktivitas menoreh karet dan berladang tetap ia lakoni untuk menyangga perekonomian rumah tangganya. Namun, sesekali dia bergabung dengan para aktivis lingkungan di Yayasan Palung yang sudah mulai melakukan upaya rehabilitasi hutan di kilometer 15. “Akhirnya saya mulai tertarik untuk membantu kawan-kawan di Asri dan memutuskan bergabung di lembaga itu pada 2009. Awalnya sebagai tenaga lepas,” ujarnya.

Ismanto tertarik dengan Asri lantaran kerusakan lingkungan yang kian parah. “Saya mulai sadar bahwa hutan itu rusak akibat ulah saya juga. Kondisi ini diperparah dengan ancaman kebakaran hutan dan lahan. Api cepat merembet melalui padang ilalang yang kering.”

Jika kebakaran terjadi, tambahnya, bisa menimbulkan penyakit pernafasan. “Itu yang membuat saya mulai bergabung di Asri sejak 2009. Saya berusaha untuk terus bekerja di sini sampai anak saya tamat sekolah,” imbuh Ismanto.

Beginilah bentuk sekat api yang dibuat untuk melokalisasi pergerakan api manakala kebakaran terjadi. Foto: Andi Fachrizal
Beginilah bentuk sekat api yang dibuat untuk melokalisasi pergerakan api manakala kebakaran terjadi. Foto: Andi Fachrizal

Ancaman kebakaran

Koordinator Reforestasi Yayasan Asri, Fransiscus Xaverius mengamini lika-liku kehidupan Ismanto. “Kita bersyukur, Pak Ismanto dan rekan-rekannya sudah insyaf. Pintu kesadarannya dibuka dan segera mengambil inisiatif baru. Ya, semacam upaya penebusan dosalah,” katanya tersenyum.

Kini, ancaman kebakaran hutan dan lahan jadi momok di kawasan TNGP. Kebakaran paling hebat terjadi pada 2013. Belasan hektar hutan ludes terpanggang si jago merah.

Beranjak dari pengalaman kebakaran hutan sebelumnya, Asri coba mengadopsi kearifan lokal dengan membuat sekat api. Namun, pola ini hanya berjalan efektif jika ada upaya pembersihan semak di sekitar sekat api secara berkesinambungan. “Hal terpenting adalah membangun kesadaran masyarakat di sekitar kawasan TNGP. Kini, warga secara sadar melakukan langkah-langkah monitoring kawasan di depan rumahnya.”

Sebelum kebakaran, kita sudah coba menghijaukannya kembali dengan menambal sulam kawasan-kawasan yang sudah bolong atau terbuka. Upaya ini kemudian tersandung kebakaran. Tapi kita tak lantas berputus asa. Reforestasi terus dilakukan sampai sekarang melalui gerakan penanaman.

“Bibit-bibit pohon lokal diperoleh melalui sejumlah inisiatif. Di antaranya dengan mengumpulkan swadaya, juga melalui imbal jasa pengobatan di klinik kesehatan Asri yang terletak di Jalan Pantai Pulau Datok, Sukadana, Kabupaten Kayong Utara,” ujar Frans.

Bibit pohon ini berasal dari usaha swadaya dan hasil pembayaran warga yang berobat di Klinik Kesehatan Asri di Sukadana, Kabupaten Kayong Utara. Foto: Andi Fachrizal
Bibit pohon ini berasal dari usaha swadaya dan hasil pembayaran warga yang berobat di Klinik Kesehatan Asri di Sukadana, Kabupaten Kayong Utara. Foto: Andi Fachrizal

Bayar pengobatan dengan bibit pohon

Pola yang diterapkan manajemen Klinik Asri terhadap pasiennya terbilang unik. Jika pasien tidak memiliki uang untuk membayar, warga bisa menggantinya dengan menyediakan bibit pohon lokal yang ada di sekitar rumah.

Tercatat, ada 26 bibit pohon paling populer yang diserahkan warga untuk membayar biaya pengobatan mereka di Klinik Asri. Bibit pohon itu meliputi belian (ulin), gaharu, keruing, meranti, cempedak, rambai, bintangur, jengkol, petai, ubah jambu, sungkai, makarangga, mangga, laban, ketapang, hopea, kayu cina/kayu cin, kelanjau/pelanjau, pulai, kapur, medang, nangka, rambutan, langsat, nyatoh, dan rengas.

Pola penyerahannya dilakukan dengan dua metode. Warga bisa mengantar langsung ke lokasi reboisasi, atau diletakkan di depan rumah. Jika pola kedua dilakukan, maka yang akan mengambil inisiatif adalah Sahabat Hutan (Sahut).

Asri membentuk Sahut di setiap dusun untuk menjembatani kepentingan pasien dan klinik, sebagai komunikator. “Relawannya dibentuk per dusun dan didominasi eks illegal logger. Mereka bertugas sebagai komunikator antara pasien dengan manajemen klinik,” kata Hendriadi, Koordinator Sahabat Hutan.

Pada titik itu, tim reforestasi akan menjemput bibit pohon yang sudah disiapkan oleh warga di dusun masing-masing. Bibit-bibit itu kemudian dinilai harganya, dan diangkut ke lokasi reboisasi Asri di Desa Sedahan Jaya, Kecamatan Sukadana, Kayong Utara, dan Desa Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara, Ketapang, sebelum ditanam di kawasan TNGP.

Setiap bibit punya harga bervariasi. Bibit pohon belian menempati peringkat tertinggi dengan harga Rp20 ribu per batang. Harga ini berlaku jika warga atau pasien mengantar langsung ke lokasi reboisasi. Namun demikian, nilainya akan turun menjadi Rp18.500 jika bibit tersebut dijemput oleh Tim Asri ke rumah pasien.

Jika diklasifikasikan, maka ada tiga jenis pohon yang paling dominan ditanam. Masing-masing adalah tipe buah-buahan, pohon hutan, dan jenis pionir. Paling banyak adalah petai dan jengkol. Kedua bibit ini dinilai tidak rewel, mudah tumbuh, dan tahan api.

Semua strategi yang diterapkan itu senantiasa beranjak dari pemahaman lokal yang dikombinasikan dengan ilmu kehutanan. Jadi, metodenya tidak murni dari satu hal saja. Dengan metode itu pula, kini Asri sudah mereboisasi kawasan kritis sebanyak empat hektar di Laman Satong dan enam hektar di Desa Sedahan Jaya.

Menanam pohon di kawasan kritis Taman Nasional Gunung Palung terus dilakukan untuk menghijaukan kembali kawasan ini. Foto: Andi Fachrizal
Menanam pohon di kawasan kritis Taman Nasional Gunung Palung terus dilakukan untuk menghijaukan kembali areal ini. Foto: Andi Fachrizal

Terobosan yang menyentuh

Ketua Yayasan Asri, Hotlin Judika Romanna Ompusunggu mengatakan, ada semacam lingkaran buruk yang saling berkait antara kondisi lingkungan dengan kesehatan warga. “Kami temukan berbagai penyakit di sekitar kawasan TNGP,” katanya di Sukadana, Rabu (27/1/2016).

Jenis-jenis penyakit yang teridentifikasi dari hasil survei baseline adalah tuberkulosis (TBC), malaria, diare, tipes, kencing manis, ISPA, dan tekanan darah tinggi. Banyaknya jenis penyakit yang diderita masyarakat di sekitar TNGP ini, ternyata tidak dibarengi dengan kemampuan ekonomi yang mamadai.

Akhirnya, inisiatif untuk mendirikan klinik kesehatan bergulir ke tingkat masyarakat sejak 2007. Dari 23 desa yang berbatasan langsung dengan TNGP, 21 desa langsung menyatakan persetujuannya.

“Kita sadar, masyarakat perlu mendapat pelayanan kesehatan. Tapi dari sisi ekonomi, mereka sangat tidak berdaya. Makanya, kami menerima pembayaran dengan bibit pohon dan kerajinan tangan dari hasil hutan bukan kayu. Ini merupakan program terintegrasi dengan semangat konservasi alam,” urai Hotlin.

Bahkan, klinik kesehatan dengan kantor sederhana di Sukadana, kini akan menjelma menjadi rumah sakit pertama yang berdiri tepat di perbatasan taman nasional.

Impian untuk mendirikan Rumah Sakit Asri di Sukadana pun mendapat sokongan penuh Pemerintah Kayong Utara. “Pemerintah menyokong penuh niat baik itu. Secara administrasi, kita urus izinnya agar rumah sakit itu dapat segera berdiri dan beroperasi serta melayani kesehatan masyarakat secara optimal,” kata Hildi Hamid, Bupati Kayong Utara, dikonfirmasi terpisah dari Pontianak, Selasa (9/2/2016).

Menurut Hildi, gagasan Asri ini sudah selaras dengan visi Pemerintah Kayong Utara yang lebih menitikberatkan pada pembangunan bidang pendidikan dan kesehatan. “Artinya, upaya pemerintah dengan swasta sudah bersinergi baik. Tentu saja, dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat Kayong Utara,” ucapnya.

Taman Nasional Gunung Palung yang berdasarkan SK Kementerian Kehutanan No. 448/Kpts-II/1990 luasnya sekitar 90 ribu hektare. Foto: Cam Webb

Kisah-kisah ini tentunya tak lepas dari peran Kinari Webb, salah seorang pendiri Yayasan Asri. “Jauh sebelum rumah sakit ini direncanakan berdiri, kita sudah melakukan survei yang sangat komprehensif. Mulai dari jenis penyakit hingga kesehatan lingkungan,” jelasnya.

Waktu itu, tim survei menemukan sejumlah fakta mencengangkan. Ada 1.350 kepala keluarga yang berdomisili di sekitar TNGP terlibat aktivitas penebangan kayu.

Seiring waktu berjalan, kata Kinari, angka itu mulai susut dan kini tersisa 160 kepala keluarga. Dalam rentang waktu yang cukup panjang, pihaknya mencoba melakukan monitoring per dusun dengan kode warna. Ini untuk memudahkan proses identifikasi masalah yang terjadi di setiap kampung.

Jika sebuah dusun mendapat kode warna merah, berarti aktivitas masyarakatnya masih menebang kayu di kawasan TNGP. Tapi, jika warnanya sudah kuning, aktivitas penebangan kayu di hutan sudah mulai berkurang. Dan, jika warna hijau berarti dusun yang bersangkutan sudah clear and clean dari aktivitas perambahan hutan.

Melalui pendekatan persuasif demikian, kata Kinari, pihaknya mampu menanamkan prinsip-prinsip edukasi kesehatan dan lingkungan kepada masyarakat. Dan, pada titik ini, hasilnya sudah terukur melalui indikator-indikator yang jelas. Alam sehat, warga pun hidup sejahtera dan bestari.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,