, , ,

Lahan Hidup Terancam PLTU, Warga Batang Ngadu ke Gus Mus dan Syafi’i Ma’arif

Karomat tampak kelelahan. Bersama keenam perwakilan warga Batang yang tergabung dalam Paguyuban Ujungnegoro, Karanggeneng Ponowareng, dan Roban (UKPWR), sejak Kamis,(4 /2/16) berkeliling ke Yogyakarta, Rembang dan Solo.  Ke yogyakarta, mereka bertemu tokoh agama, Syafi’I Ma’arif. Jumat, (5/2/16) ke Rembang, mendatangi Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus. Sabtu, (6/2/16), mereka coba bertemu Ibunda Presiden Joko Widodo di Solo, namun terhalang protokoler.

“Pak Syafi’I Ma’arif dan Gus Mus bisa kami temui. Ibunda Presiden tidak bisa,” kata Karomat, warga Ujungnegoto, Sabtu, (6/2/16).

Mereka berkeliling menemui para tokoh ini untuk mengadu, menceritakan perjuangan warga menolak pembangunan Pembangkit Listrik tenaga Uap (PLTU) batubara berkapasitas 2×1.000 Megawatt di lahan pertanian subur dan Pesisir Batang.

Alhamdulillah, Pak Syafi’i dan Gus Mus mendukung perjuangan kami menjaga alam. Mereka berpesan, ketidakadilan harus dilawan dan perjuangan harus dilakukan,” katanya.

Dia menambahkan, petani menggantungkan hidup dari lahan pertanian untuk menghidupi keluarga, membiayai keperluan sekolah anak dan keperluan lain. “Kami menolak keras rencana  PLTU Batang.”

Cahyadi, warga Karanggeneng bercerita, bersama beberapa petani kesulitan menggarap lahan mereka. Intimidasi dan teror pada penolak PLTU terus terjadi oleh perusahaan maupun preman. Lahan pertanian dia, sekitar satu hektar dipasangi plang larangan menggarap. “Saya takut, lewat bertani satu-satunya penghasilan saya, tetap harus digarap.”

Alat berat mengeruk dengan penjagaan aparat kepolisian dan tentara di lokasi bersebelahan dengan lahan Cahyadi. Pengurukan dan pembuatan tanggul setinggi tiga meter menutup akses warga ke lahan dan mengganggu pasokan irigasi. Sejumlah warga juga mengalami intimidasi segera menjual lahan kepada perusahaan.

Cahyadi dan waga lain berharap Presiden yang mereka pilih pada Pilpres 2014 mendengarkan mereka. “Kami menolak PLTU juga bentuk dukungan terhadap cita-cita Presiden Jokowi mewujudkan kedaulatan pangan. Lahan kami subur. Kami sudah sejahtera dan cukup dengan hidup sebagai petani.”

Dia berharap, Presiden berkunjung ke Batang dan berdialog dengan warga dan pemilik lahan yang akan menjadi korban PLTU.

Dulhakim, nelayan di Roban Timur Batang juga menolak. Baginya, PLTU akan berdampak besar pada kehidupan nelayan di Pesisir Batang.

Dari hasil pengamatan dan cerita nelayan di Cilacap, Jepara dan Cirebon, dampak PLTU sangat merugikan. Limbah di laut menyebabkan ikan dan terumbu karang rusak. Penghasilan nelayan menurun dan terjadi konflik sosial.

“Kami mengadu, agar suara didengar. Dari 2011 kami menolak, hingga kapanpun akan tolak.”

Karomat, warga tolak PLTU Batang bertemu Gus Mus di Rembang, mengadu terkait penolakan warga terhadap PLTU di Batang. Foto: Greenpeace Indonesia
Karomat, warga tolak PLTU Batang bertemu Gus Mus di Rembang, mengadu terkait penolakan warga terhadap PLTU di Batang. Foto: Greenpeace Indonesia

Dulhakim mengatakan, batubara untuk energi menghasilkan limbah ke laut. Belum lagi, air laut pesisir disedot. Padahal, tanpa PLTU nelayan di Pesisir Batang sejahtera dengan penghasilan Rp500.000–Rp1.000.000 perhari.

“Nelayan Jepara, penghasilan Rp4-Rp5 juta per hari sebelum ada PLTU Jepara. Sekarang, terkadang tidak berpenghasilan karena ikan hilang dan terumbu karang rusak karena air laut disedot untuk PLTU,” kata Dulhakim.

Arif Fiyanto, Team Leader Kampanye Iklim dan Energi, Greenpeace Indonesia mengatakan, sejak 2011, warga Batang berjuang mempertahankan lingkungan dan kehidupan. Berbagai cara dilakukan dari aksi di Jakarta dan Batang termasuk audiensi ke sejumlah kementerian terkait, hingga berangkat ke Jepang bertemu investor. Namun, belum ada respon baik, hingga mereka mengadu kepada tiga tokoh ini untuk mendapatkan dukungan.

Proyek raksasa ini dibangun di lahan 226 hektar, lahan pertanian produktif, sawah beririgasi teknis 124,5 hektar dan perkebunan melati 20 hektar, serta sawah tadah hujan. PLTU ini akan dibangun di Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban, Batang. Salah satu perairan paling kaya ikan di Pantai Utara Jawa.

Batubara, sebagai energi merupakan bahan bakar fosil terkotor, mengemisi 29% lebih banyak karbon perunit energi dibandingkan minyak, dan 80% lebih banyak dari gas. Secara global batubara berkontribusi lebih 65% emisi karbondioksida penyebab terbesar perubahan iklim.

PLTU batubara salah satu penyebab terbesar polusi udara di berbagai negara termasuk Indonesia. “Polutan berbahaya dilepaskan dari pembakaran batubara PLTU antara lain SO2, NO, CO, PM 2.5, mercury, arsenik, lead dan lain-lain,” kata Arif.

Gagok Prasetyono, Kabag Humas Setda Batang dikutip dari Website resmi Batang (Batangkab.go.id) mengatakan, PLTU Batang sangat berarti bagi upaya pemerintah mendorong percepatan ekonomi di wilayah ini. Proses kontruksi proyek segera berjalan dengan harapan banyak warga ikut berpartisipasi, hingga menjadi sumber pendapatan .

“Pemkab Batang memberikan apresiasi atas komitmen dan kerjasama BPI yang memprioritaskan penggunaan sumber daya lokal dalam pembangunan PLTU Jawa Tengah. Peran masyarakat Batang sangat menentukan keberhasilan pembangunan ini,” katanya.

Sedangkan General Manager External Relations PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) Ary Wibowo menyampaikan apresiasi dukungan masyarakat Batang dan pemangku kepentingan, Pemerintah Batang, BPN Batang, Pemprov Jateng, pemerintah pusat serta PLN yang memungkinkan proyek ini berjalan.

“Dukungan dan kooperatif masyarakat Batang menjadi kunci selesainya pembebasan lahan. Kami berharap proyek ini menjadi solusi pemenuhan kebutuhan listrik nasional dan memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat Batang.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,