,

Warga Aceh Utara Desak Gubernur Cabut Izin PT. Mandum Payah Tamita

Tokoh masyarakat adat atau Imum Mukim se-Kabupaten Aceh Utara bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM) menolak keberadaan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) dan pembukaan hutan untuk perkebunan sawit di Hutan Lindung Cut Mutia.

Imum mukim merupakan lembaga adat yang diakui oleh pemerintah di Aceh dan setiap Imum Mukim membawahi beberapa desa. Para imum mukim dari sembilan kecamatan di Aceh Utara ini; Langkahan, Lhoksukon, Pirak, Pirak Timu, Tanah Pasir, Tanah Luas, Cot Girek, Paya Bakong dan Lapang menilai, keberadaan PT. Mandum Payah Tamita mengundang petaka bagi masyarakat.

Imum Mukim Paya Bakong, Kecamatan Paya Bakong, Syarifuddin, Rabu (10/2/2016) menyebutkan, Imum Mukim bersama tokoh masyarakat dari sembilan kecamatan di Kabupaten Aceh Utara, didukung oleh LSM Selamatkan Isi Alam dan Flora-Fauna (SILFA), telah menyurati Gubernur Aceh Zaini Abdullah pada 2 Februari 2016, agar izin perusahaan tersebut dicabut.

“Keberadaan Hutan Lindung Cut Mutia di tengah areal konsesi PT. Madum Payah Tamita (PT.MPT) menyusahkan masyarakat. Perusahaan sawit asal Malaysia itu telah mengganggu aktivitas masyarakat yang biasa mencari rotan atau madu.”

Menurut Syarifuddin, Hutan Lindung Cut Mutia juga merupakan wilayah perlintasan gajah. Saat ini, di pinggir hutan lindung telah didirikan Conservation Response Unit (CRU) yang juga menjadi tempat konservasi gajah. Dengan adanya CRU, konflik gajah di Aceh Utara telah diminimalisir, namun, jika hutan lindung dibuka untuk perkebunan sawit, keberadaan gajah akan terancam.

Syarifuddin juga  menyebutkan, dulu di Kabupaten Aceh Utara, banjir hanya terjadi sekali dalam lima tahun. Namun, akibat hutan dirusak, masyarakat mengalami puluhan kali banjir kiriman dalam setahun. “Masyarakat lelah dan jadi korban akibat rusaknya kawasan hutan di hulu sungai Krueng Keureuto dan Jambo Aye, makanya kami meminta gubernur mencabut izin perusahaan tersebut,” ujarnya.

Direktur LSM SILFA Irsadi Aristora, di Lhokseumawe mengatakan, aktivitas PT. MPT yang berlokasi di Desa Cot Girek, Kecamatan Cot Girek, berdampak buruk terhadap lingkungan. “Jika kegiatan ini tidak dihentikan, kami khawatir, intensitas banjir akan meningkat di Aceh Utara, bahkan saat ini sekitar tujuh kecamatan terendam.”

Menurut Irsadi, PT. MPT memiliki izin konsesi HTI yang diberikan Pemerintah Aceh seluas 8.015 hektare. Perusahaan itu berlokasi di wilayah Kecamatan Cot Girek dan Langkahan, Aceh Utara, dan berada di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Keureto dan Krueng Jambo Aye.

Hasil penelusuran SiLFA, kata Irsadi, diketahui izin konsesi nomor 522/052/2003  yang dikantongi perusahan itu, dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh pada  23 Desember 2003 dan berlaku hingga 23 Desember 2053.

“Kalau IUPHHK-HTI PT. Mandum Payah Tamita mengajukan hampir 5.000 hektare lahannya sebagai kebun sawit, berarti Dishut Aceh salah besar dalam menerbitkan izin IUPHHK-HTI. Padahal, kawasan yang diajukan hutan produksi kenapa diberikan izin penanaman sawit.”

Pelanggaran

Juru Bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA), Efendi Isma menambahkan, hasil penelusuran KPHA, setidaknya terjadi tiga pelanggaran dalam dalam proses penerbitan serta pemberian IUPHHK-HT kepada PT. MPT.

“Pelanggaran itu yaitu, penyalahgunaan wewenang penerbitan izin, pelanggaran tata cara dan persyaratan permohonan izin, serta pelanggaran kriteria areal konsesi yang dapat diberikan IUPHHK-HT.”

Menurut Efendi, wewenang memberi izin untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam atau izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman diberikan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan rekomendasi bupati atau walikota dan gubernur.

“Itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Namun, untuk PT. MPT, izin dikeluarkan oleh Gubernur Aceh saat dijabat oleh Abdullah Puteh melalui Surat Keputusan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor: 522/052/2003 tanggal 23 Desember 2003 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman kepada PT. Mandum Payah Tamita.”

KPHA juga menemukan, kawasan yang dikeluarkan untuk IUPHHK-HT bertentangan dengan Pasal 30 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.

“Kawasan yang boleh dikeluarkan izin untuk usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan tanaman dalam hutan produksi, hanya lahan kosong, padang alang-alang dan semak belukar. Tapi, kawasan yang didapat perusahaan asing berkedok pengusaha lokal ini, malah potensi tegakan kayu.”

Dari pelanggaran-pelanggaran tersebut, Gubernur Aceh harus membatalkan IUPHHK-HT PT. MPT, terlebih, masyarakat di daerah tersebut menolak keberadaan perusahaan itu. “Penolakan oleh masyarakat telah berlangsung setahun terakhir. Bahkan minggu lalu, mereka mengirim surat ke Gubernur Aceh,” tutup Efendi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,