Garam Nangalekong: Warisan Leluhur dalam Tantangan Modernitas

Garam halus Nangalekong mudah dijumpai beredar di pasar–pasar tradisional di kabupaten Sikka. Garam yang biasa dijual oleh Papalele (pedagang) dalam ukuran karung berukuran 50 kilogram ini terlihat berwarna putih bersih. Namun banyak petani garam tradisional yang hidup dalam ekonomi sulit.

Nangalekong adalah nama sebuah kampung tempat pembuat garam tradisional yang terdapat di Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka. Saat ini terdapat sekitar 16 kepala keluarga yang hidupnya tergantung kepada produksi garam.

Saat dikunjungi oleh Mongabay (10/02), dari 14 pondok tempat memasak garam di Nangalekong, hanya tersisa 8 pondok saja yang masih rutin melakukan aktivitas menghasilkan garam. Salah satunya milik Veronika Nika (77), yang meski telah berumur namun masih setia membuat garam.

Pondok tempatnya bekerja berdinding dan beratap daun kelapa serta berlantai tanah. Memiliki ukuran sekitar 5×3 meter, dengan tinggi 4 meter. Menurut Veronika, proses memasak garam dilakukannya secara tradisional dengan tetap mengikuti proses yang dilakukan oleh leluhurnya.

Untuk bahan baku, warga biasanya mengambil tanah di areal tambak garam. Tanah kemudian disaring dalam tempat meniriskan yang disebut oha, yaitu sebuah kotak kayu berukuran satu meter persegi yang bagian bawahnya dipasangi karung untuk menyaring air garam. Untuk membuat garam halus, tanah garam dapat digantikan dengan garam kasar.

Untuk proses penyaringan air garam, di dalam oha biasanya dipasang bahan-bahan seperti batu karang, pasir putih, ilalang dan tanah. Tanah garam ditumpuk di atas oha dan disiram dengan air laut. Dalam dua kali penyaringan, air garam kemudian dimasak ke dalam kuali persegi yang terbuat dari drum bekas yang telah dipipihkan.

Selanjutnya garam yang dihasilkan, ditiriskan dalam wadah penyaringan berbentuk kerucut yang terbuat dari daun pohon enau dan ditampung dalam ember. Setelah dingin garam halus dimasukkan dalam karung plastik dan siap dipasarkan. Seluruh proses yang dilakukan memerlukan sekitar 12 jam, dimulai sejak dini hari hingga selesai pada sore hari.

Dalam sehari, Veronika mampu membuat 50 kilogram garam dengan harga jual Rp 150 ribu per karungnya. Namun dia menyebut keuntungannya kecil, hanya sekitar dua kilogram yang setara untuk membeli beras sehari-hari. “Tidak ada kerja lain, kecuali masak garam.”

Pekerjaan yang menguras tenaga dan keuntungan yang kecil membuat produksi garam tradisional menjadi tidak lagi menarik di kalangan muda. Banyak dari mereka yang memilih pekerjaan lain.

Sekarang pun produksi memasak garam saat ini lebih banyak dilakukan oleh perempuan yang menggantikan pekerjaan orangtua mereka.

Sebagian dari mereka yang lain memilih untuk menjadi papalele, yaitu membeli garam dari para produsen. Menurut salah seorang papalele, Selestina Maria, keuntungan dari menjual garam sekitar Rp 40 ribu, dimana satu karung garam bisa bisa laku dalam 2-3 hari.

Garam yang sudah dimasak ditiriskan di wadah berbentuk kerucut yang terbuat dari daun pohon Tuak ( Enau ). ( Foto : Ebed de Rosary )
Garam yang sudah dimasak ditiriskan di wadah berbentuk kerucut yang terbuat dari anyaman daun enau. Foto: Ebed de Rosary.

Terkendala biaya

Salah satu masalah yang dihadapi oleh para pembuat garam tradisional adalah peralatan memasak yang sudah dimakan usia. Saat ini para pembuat garam terkendala biaya untuk mengadakan peralatan baru.

“Kalau peralatan diganti tentu kualitas juga tambah baik. Tapi kalau mereka disuruh beli alat, mereka tidak mampu,“ sebut Petrus Blasius, salah seorang ketua masyarakat.

Hal lain biaya memasak. Dahulu saat kayu bakar masih banyak tersedia, mereka memilih mengumpulkan kayu yang mudah diperoleh. Namun dengan semakin langkanya kayu, mereka menggantikannya dengan batok kelapa. Untuk ukuran satu ukuran truk, batok dibeli seharga Rp 300 ribu.

“Dulu kami biasa cari kayu bakar di pantai, di hutan bakau atau beli kayu bakar. Tapi sekarang kayu sudah susah dan mahal. Kami beli batok kelapa yang harganya lebih murah,“ tutur Linda salah satu pembuat garam.

Kesulitan untuk memasarkan hasil produksi juga sempat menjadi kekuatiran para pembuat garam Nangalekong. Banyaknya garam kemasan dari luar daerah dirasakan cukup berdampak. Menurut mereka sebelum adanya garam kemasan, berapapun hasil produksi mereka setiap hari selalu habis terjual. Namun, saat ini perlu sekitar 2-3 hari baru garam mereka habis laku terjual.

“Garam Nangalekong sebenarnya bagus, karena orang sudah tahu kualitasnya. Saya harap pemerintah bisa bantu dengan membuatkan label dan kemasan, bantu dengan peralatan yang lebih higienis serta juga bantu pelatihan,” tutup Petrus.

Artikel yang diterbitkan oleh
,