,

Konservasi Burung Liar Memang Penting untuk Ekosistem Alam

Indonesia sebagai negara yang memiliki keragaman jenis burung liar yang tinggi tak perlu diragukan lagi. Berdasarkan data Burung Indonesia 2015, Indonesia memiliki 1.672 jenis burung yang sekitar 427 jenisnya endemik atau hanya ada di Indonesia. Posisi ini, mendapuk Indonesia dalam empat besar negara di dunia yang memiliki kekayaan jenis burung terbanyak selain Kolombia, Peru, dan Brasil.

Meski kaya jenis, namun ancaman kehidupan burung-burung liar di Indonesia pun terjadi, baik dikarenakan perburuan maupun rusaknya habitat. Berdasarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature), saat ini tercatat, sekitar 22 jenis berstatus Kritis (CR/Critically Endangered), 34 jenis berlabel Genting (EN/Endangered), dan 81 jenis digolongkan Rentan (VU/Vulnerable).

Upaya pelestarian burung liar untuk keseimbangan ekosistem inilah yang coba diangkat dalam “Konferensi Nasional Peneliti dan Pemerhati Burung Indonesia II” yang berlangsung di Yogyakarta, 4-6 Februari 2016. Sejauh apakah perkembangan konservasi makhluk bersayap tersebut?

Hadi Daryanto, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, yang mewakili Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam keterangannya menuturkan ancaman kepunahan burung yang terjadi di Indonesia memang relatif tinggi. Selain hilang atau rusaknya habitat, gangguan juga muncul dalam bentuk perburuan dan perdagangan liar.

Menurut Hadi, dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, saat ini ada 93 jenis burung yang dilindungi. Namun begitu, lampiran tersebut saat ini tengah direvisi berdasarkan pertimbangan keilmuan dan kondisi terakhir tumbuhan dan satwa di alam liar. Dalam draf tersebut, kelompok yang paling banyak peningkatan akan jenis dilindungi adalah burung (aves) yang menjadi 1.492 jenis. “Ini merupakan kabar baik bagi upaya pelestarian burung, meski di sisi lain kita harus ekstra menjaganya.”

Akan begitu, konservasi burung juga diharapkan tidak terpaku pada pelestarian spesies atau jenis. Hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana habitat burung tersebut terjaga baik sebagai rumah nyamannya. “Pemerintah telah melakukan moratorium pembukaan lahan yang pastinya sangat bermanfaat bukan hanya bagi habitat burung tetapi juga untuk manusia. Dengan ekosistem yang baik, akan tercipta lingkungan yang baik, udara yang bersih, dan sumber air yang terjaga. Ini sejalan dengan kegiatan KLHK yang akan merestorasi hutan yang rusak, serta menjaga hutan yang kondisinya baik untuk kegiatan konservasi,” tutur Hadi.

Hal lain yang ingin dicapai menurut Hadi adalah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2014-2019, KLHK menargetkan adanya peningkatan sekitar 10 persen dari 25 spesies terancam punah. Burung termasuk di dalamnya. “Ini merupakan komitmen pemerintah dalam upaya konservasi.”

Penjelasan Hadi ini ditegaskan kembali oleh Sonny Partono, Mantan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam KLHK, yang kini menjabat sebagai Staf Ahli Menteri LHK Bidang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (KSDAE). Menurut Sonny, meski berbagai kasus perdagangan burung secara ilegal terjadi, yang pastinya akan mengganggu kegiatan konservasi, namun penegakan hukum terus dijalankan.

Untuk itu, draf revisi UU No 5 Tahun 1990 tentang KSDAE telah dibuat. Bila sebelumnya sanksi maksimal hanya 5 tahun bagi pelaku kejahatan, kini hukuman 5 tahun penjara tersebut akan dibuat minimal sebagai efek jera. “Pertimbangannya adalah kerugian ekosistem, akibat hilangnya jenis tertentu di alam yang disebabkan perburuan burung tersebut. Juga, untuk meningkatkan vonis bagi pelaku kejahatan lingkungan yang selama ini putusannya begitu rendah di pengadilan, seperti 3 bulan penjara atau 6 bulan kurungan percobaan,” papar Sonny.

Sebagai contoh, Sonny memparkan kasus penyelundupan kakatua dalam botol yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Menurutnya, berkas tersangka kini sudah P 21 dengan artian hasil penyidikannya sudah lengkap, meski aktor intelektualnya masih dicari. “Tidak mudah membongkar sindikan penyelundupan ini. Selain jaringannya rapi, mereka juga menggunakan uang tunai saat transaksi untuk menghindari pelacakan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan).”

Julang emas. Foto: Asep Ayat

Panduan pelepasliaran

Lalu, bagaimana dengan pelepasliaran burung yang belakangan ini hangat diperbincangkan, apakah memang belum ada aturannya? Hadi Daryanto kembali memberikan penjelasan, saat ini memang sedang dibuat peraturan menteri yang mengatur hal tersebut. Dengan panduan yang ada nanti, siapapun harus ikut aturan main yang ada terkait tata cara pelepasliaran burung, tanpa terkecuali. “Dalam panduan IUCN memang ada juga aturannya. Namun begitu, kami tetap mengharapkan masukan dari para peneliti dan pemerhati burung akan panduan yang baik dan benar terkait pelepasliaran burung di Indonesia.”

Perihal panduan pelepasliaran burung ini, Rudyanto dari Burung Nusantara menjelaskan bahwa panduan IUCN/SSC untuk Re-Introduksi yang berlaku internasional itu memang dibuat oleh anggotanya sendiri. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) merupakan anggota IUCN yang terlibat dalam pembuatan panduan tersebut.

Di Indonesia, panduan IUCN ini, sudah dipergunakan oleh para pegiat lingkungan yang berfokus pada pelepasliaran elang atau kakatua. Masalahnya sekarang adalah, penduan ini belum digunakan secara resmi oleh Pemerintah Indonesia. “Bila memang ingin diadopsi bisa saja. Tinggal dibuatkan saja surat keputusannya, apakah SK Menteri atau SK Dirjen. Toh, panduan IUCN ini sudah dipergunakan sebagai panduan shahih,” paparnya.

Hal lain terkait pelepasliaran, menurut Rudyanto, dalam pasal 21 Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa disebutkan bahwa pelepasan merujuk pada jenis tumbuhan dan satwa hasil pengelolaan untuk dilepaskan kembali ke habitatnya.

Syaratnya ada tiga yaitu, pelepasan merupakan bagian dari sebaran jenis asli yang dilepaskan, tumbuhan dan satwa yang dilepaskan harus secara fisik sehat dan memiliki keragaman genetik yang tinggi, serta memperhatikan keberadaan penghuni habitat. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelepasan jenis tumbuhan dan satwa ke habitatnya ini diatur oleh pejabat setingkat menteri. “Sebelum dilepaskan, burung harus dihabituasi dahulu dan pastikan juga asal-usul burung tersebut. Ini aturan dasarnya.”

Infografis Status keterancaman Burung di Indonesia 2015__A2__SMALL

Namun begitu, menurut Rudyanto, segala hal terkait penangkapan burung di alam sudah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Ktts-II/2003 yang secara gamblang menjelaskan hal-ikhwal sebelum penangkapan dilakukan. Mulai dari menangkap, membawa, hingga menjualnya, bahkan untuk jenis yang tidak dilindungi sekalipun ada izinnya. “Artinya adalah burung yang tidak dilindungi di Indonesia sekalipun, sebenarnya juga “dilindungi” keberadaannya.”

Johan Iskandar, Guru Besar Etnobiologi Universitas Padjadjaran (Unpad) juga menuturkan, panduan untuk pelepasliaran burung memang diperlukan. Ada prinsip kehati-hatian yang memang harus diperhatikan. Sebelum pelepasliaran memang harus ada kajian terlebih dahulu. Misal, bagaimana kesehatatan burung tersebut, dari mana asalnya, serta bagaimana habitat untuk burung yang akan dilepas nanti, apakah daya dukung pakannya tercukupi dan juga tidak akan ada kompetisi dengan burung yang ada. “Untuk kepentingan ilmiah, bisa juga burung yang dilepaskan tersebut diberi cincin agar diketahui keberadaan dan perkembangannya.”

Presiden Indonesian Ornithology Union (IdOU), Ignatius Pramana Yuda, juga sepakat bila guidelines IUCN dijadikan panduan untuk dipergunakan secara nasional. “Saya percaya, panduan tersebut bisa sebagai acuan selama kita belum memiliki tata cara yang baku. Karena, kegiatan konservasi memang harus kita lakukan menyeluruh. Tidak bisa sepenggal,” paparnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,