,

Tekad Petani Sawit Mandiri di Jambi dan Keinginan Tidak Lagi Beli Sayuran dari Kota

“Sebagian besar warga di sini membeli sayuran yang dijual pedagang dari Jambi. Bahkan sebagian dikirim dari Medan. Kalau beras pasti beli, tidak ada warga yang menanam padi atau bersawah,” kata Jazuri (58),  warga Desa Tanjung Benanak, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, pertengahan Februari 2016 ini.

“Rata-rata setiap keluarga di sini belanja beras, sayuran, ikan dan lainnya, berkisar Rp50-100 ribu. Biaya kebutuhan pangan ini setiap keluarga berkisar Rp3 juta. Biaya pangan ini jauh lebih besar dari biaya lainnya, seperti listrik, atau biaya sekolah anak,” kata Jazuri yang juga seorang penyuluh pertanian.

Tingginya biaya pangan tersebut, berbanding terbalik dengan harga jual buah sawit di desanya yang berkisar Rp1.200 per kilogram membuat kehidupan mereka menjadi prihatin. Apalagi, hasil buah sawit milik warga, yang usianya rata-rata di atas 20 tahun, dengan luas 2 hektare, maksimal 3 ton per bulan, sehingga hasil tersebut hanya cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Dijelaskan Jazuri, sebenarnya warga yang kini sudah lunas membayar hutang di bank untuk mendapatkan lahan seluas 2 hektare sebagai plasma perusahaan PT. Inti Indo Sawit Subur (Asian Agri), ingin menjadi petani sawit mandiri. Namun, guna memulai kemandirian tersebut mereka harus melakukan peremajaan perkebunan dengan biaya yang cukup besar.

“Warga memiliki dana untuk melakukan peremajaan, tapi jika dana simpanan warga tersebut digunakan, mereka khawatir tidak mampu membiayai kehidupan sehari-hari,” kata Jazuri. “Inilah persoalan yang kami hadapi saat ini,” ujarnya.

“Guna mendapatkan dana peremajaan tersebut, sebagian besar kami tidak mau lagi meminjam dari bank, apalagi bermitra dengan perusahaan,” kata lelaki asal Semarang, Jawa Tengah, yang menjadi transmigran di Kecamatan Merlung sejak tahun 1991.

“Kenapa tidak mau? Sebab posisi tawar kami soal harga buah sawit sangat lemah,” katanya.

Ada dua langkah untuk mendapatkan dana tersebut, kata Jazuri. “Pertama, pemerintah menaikan harga jual buah sawit yang usianya di atas 20 tahun, sehingga kami dapat mengumpulkan dana dalam beberapa bulan ini. Kedua, pemerintah memberikan bantuan dana peremajaan perkebunan kami,” kata Jazuri yang mendampingi sejumlah jurnalis dan aktivis dari Yayasan Perspektif Baru (YPB) dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Tanjung Jabung Barat, yang melakukan kunjungan ke desa yang warganya berkisar 300 kepala keluarga ini.

Swisto Uwin, sekretaris SPKS, mendukung dua upaya mendapatkan dana peremajaan perkebunan sawit bagi 500-an kepala keluarga eks transmigran di Desa Tanjung Benanak dan Desa Lampisi tersebut.

“Kalau harga jual buah sawit dinaikkan, mereka dapat menyimpan dana untuk peremajaan. Kalau tidak ya adanya bantuan dari pemerintah untuk biaya peremajaan. Tapi bantuan ini harus disampaikan secara langsung kepada masyarakat, jangan melalui pihak kedua, sehingga dana tersebut mudah diakses dan langsung dapat digunakan masyarakat,” kata Swisto.

Kebun sayuran milik warga Desa Tanjung Benanak,Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Biaya hidup menjadi tinggi saat pangan harus dibeli. Foto: Taufik Wijaya
Kebun sayuran milik warga Desa Tanjung Benanak, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Biaya hidup menjadi tinggi saat pangan harus dibeli. Foto: Taufik Wijaya

Krisis air bersih dan pangan

Selain persoalan pangan, masalah lainnya bagi warga Desa Tanjung Benanak dan Lampisi yakni air bersih. “Kami selama ini menggunakan air sumur. Tapi jika musim kemarau, sumur-sumur ini menjadi kering sehingga kami harus membeli air bersih, khususnya untuk dikonsumsi,” kata Jazuri.

Keberadaan kanal atau sekarang menjadi anak Sungai Benanak, sulit digunakan. Selain bercampur dengan pembuangan limbah perkebunan, juga turut mengering saat kemarau.

Nasrudin, kepala Desa Tanjung Benanak, membenarkan dua persoalan tersebut. Halaman rumah transmigran, yang dulunya diproyeksikan pemerintah sebagai lahan pangan, saat ini sebagian besar sudah ditanami warga dengan pohon kelapa sawit. Begitupun dengan daerah aliran sungai (DAS) yang berada di perkampungan juga ditanami pohon sawit.

“Nah, saat kondisi seperti ini, semua baru terasa. Kita memang berencana mendorong masyarakat membuat kemandirian pangan. Sebagian warga juga sudah berkebun sayuran di halaman rumah. Mengenai penghijauan di DAS, kita tengah menyusun agenda kerjanya,” kata Nasrudin.

Bahkan, guna membuka akses transportasi desa dengan jalan negara, Desa Tanjung Benanak dengan menggunakan dana desa kini tengah membangun sebuah jalan. “Saat ini sudah empat kilometer. Dengan adanya jalan ini, masyarakat tidak lagi menggunakan jalan di area perkebunan kelapa sawit milik perusahaan,” jelas Nasrudin.

Guna menjaga kualitas air tanah, kata Jazuri, masyarakat telah menanam sejumlah pohon selain kelapa sawit seperti jelutung, meranti, dan jabon. Meskipun jumlahnya masih sedikit. “Rencananya, kita akan menanam pohon beringin dan bambu,” tambahnya.

Pohon beringin akan ditanam di antara tanaman kelapa sawit. Sementara bambu dengan berbagai tanaman lain seperti aren, akan ditanam di tepian daerah aliran sungai.

“Harapan kita dengan upaya ini kualitas air tanah terjaga, dan sungai atau kanal yang berada di perkebunan dapat terjaga kualitasnya, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai usaha perikanan,” katanya.

Salah satu kanal atau sungai yang akan dihijaukan warga dengan tanaman selain kelapa sawit, seperti bambu. Foto: Taufik Wijaya
Salah satu kanal atau sungai yang akan dihijaukan warga dengan tanaman selain kelapa sawit, seperti bambu. Foto: Taufik Wijaya

Pupuk organik

Agar air sungai di perkebunan dapat digunakan dan kualitas lahan perkebunan sawit terus dapat digunakan dalam waktu panjang, sebagian warga sudah menggunakan pupuk organik. Pupuk ini menggunakan kotoran hewan ternak sapi.

“Kami sudah mengelola pupuk organik ini selama dua tahun. Pupuk organik yang kami buat selain digunakan sendiri, juga dijual kepada petani lain,” kata Sunarti, warga Desa Talang Benanak yang mengelola pupuk organik kotoran sapi bersama suaminya Pujiman.

Dikatakan Sunarti, menggunakan pupuk organik dapat menghemat sekitar 70 persen biaya jika menggunakan pupuk kimiawi.  Misalnya, biaya pupuk sekitar Rp10 juta per tahun untuk satu hektare, dapat dihemat menjadi Rp3 juta dengan menggunakan pupuk organik. “Tapi, saat ini penggunaan pupuk organik masih menjadi bahan campuran dengan pupuk kimiawi. Kalau nanti meremajakan perkebunan sawit, kami akan menggunakan pupuk organik sejak awal,” katanya.

Pupuk organik yang dikelola Sunarti dihasilkan dari delapan ekor sapi. Sapi ini semula berjumlah dua ekor yang merupakan bantuan pemerintah pada 2013 lalu.

Pengelolaan pupuk organik juga dilakukan kelompok tani di Desa Tanjung Benanak. Pupuk organik ini didapatkan dari kotoran 72 ekor sapi. Jumlah ini bertambah dari 40 ekor sapi yang dibantu pemerintah pada 2013.

Yang mengurus pupuk organik dan termasuk mengurusi sapi-sapi ini adalah para perempuan dari 20 kepala keluarga. “Kita mengurusnya giliran. Setiap hari sekitar 4 ibu yang bertugas,” kata Kasibah, transmigran asal Serang, Jawa Barat.

Halaman rumah yang seharusnya diperuntukan sebagai lahan pangan, turut ditanami kelapa sawit. Foto: Taufik Wijaya
Halaman rumah yang seharusnya diperuntukan sebagai lahan pangan, turut ditanami kelapa sawit. Foto: Taufik Wijaya

Beralih tanaman

Bagaimana jika warga tidak mendapatkan biaya untuk melakukan peremajaan perkebunan sawit? “Sebagian warga kami akan mengubah jenis tanaman. Sebagian warga sudah mejadikan kebunnya dengan jenis tanaman lain, seperti ketela pohon,” kata Nasrudin.

“Pilihan tanaman lain jelas lebih menarik bagi warga yang saat ini tidak punya biaya untuk meremajakan kebun sawitnya. Itu karena biaya penanaman dan perawatannya jauh lebih murah. Kalau terus berkebun sawit, dengan kondisi penjualan seperti ini, jelas tidak memberikan masa depan bagi petani. Bahkan kami pun turut merasakan kemarahan masyarakat yang menuduh kebun sawit sebagai penyebab kerusakan lingkungan hidup,” kata Jazuri.

Jika warga Desa Talang Benanak dan Lampisi beralih berkebun jenis tanaman lain, dan pilihan ini juga dilakukan banyak petani sawit dengan lahan kecil—eks plasma—lain di Indonesia, bukan tidak mungkin pendapatan Indonesia dari sektor industri sawit sekitar 15 miliar dolar pada 2014 lalu, akan berkurang.

“Kami tidak rugi. Sebab selama ini pun pendapatan kami dari masa puncak kelapa sawit sebagian diberikan kepada bank, pinjaman modal kami sebagai plasma. Kami tidak menjadi makmur. Jika pemerintah ingin para petani sawit makmur, ya bantu peremajaan kebun sawit kami. Jika tidak terjadi, kami terpaksa beralih ke tanaman lain,” kata Jazuri.

Salah satu hamparan perkebunan sawit di kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Foto: Taufik Wijaya
Salah satu hamparan perkebunan sawit di kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Foto: Taufik Wijaya
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,