,

Mampukah Warga Mengatasi Kebakaran Gambut Dalam di Jambi Tahun Ini?

Panas dan gerah. Sulit mendapatkan hembusan angin. Ibarat berdiam di dekat kompor yang menyala. Itulah yang dirasakan tubuh, saat siang hari memasuki Desa Gambut Jaya, Kecamatan Tanjung Gelam, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, pertengahan Februari 2016 ini. Desa Gambut Jaya merupakan desa yang berada di tengah perkebunan sawit dengan luas sekitar 5.000 hektare, di lahan gambut dengan kedalaman 5-10 meter.

“Saat musim kemarau kemarin, panasnya lebih dari sekarang. Saat terjadi kebakaran, asap masuk hingga ke rumah,” kata Sujiono Basiran, warga Desa Gambut Jaya, yang kini dipercaya sebagai ketua Kelompok Tani Peduli Api Bunga Selasih. Sungguh tak terbayangkan bagaimana tubuh saya menghadapi kondisi tersebut.

Dengan kondisi udara yang ekstrim, Sujiono bersama anak dan warga di desanya, melakukan upaya pemadaman api di lahan gambut. Ironinya, menghadapi api yang begitu mudah membuat lahan gambut bak padang bara, mereka hanya mengandalkan peralatan seadanya. Dua buah mesin semprot pemadaman, dan puluhan garu api.

Peralatan yang sederhana tersebut jelas tak mampu mengatasi kebakaran begitu cepat. Akibatnya, ribuan hektare lahan gambut di Tanjung Gelam terbakar, termasuk 300 hektare kebun sawit plasma milik warga.

“Tanaman jelutung yang saya tanam di antara kebun sawit pun hangus,” kata Sujiono.

Kebakaran lahan gambut pada 2015 lalu jelas membuat sekitar 500-an kepala keluarga di desa tersebut menjadi cemas  akan adanya peristiwa yang sama pada 2016 ini maupun di masa mendatang.

“Persoalannya, awal kebakaran ini bukan dari desa kami tapi dari luar. Entah dari kebun perusahaan maupun dari lahan warga. Itu artinya ancaman kebakaran seperti tahun kemarin tetap ada,” ujarnya.

Di sisi lain, peralatan pemadaman kebakaran yang dimiliki kelompok taninya sangat minim.

“Idealnya kami memiliki lima mesin pemadam api,” kata Dwi Prasongko, seorang warga yang menjadi anggota Kelompok Tani Peduli Api Bunga Selasih.

“Dua alat mesin pemadam api jelas sangat tidak cukup. Api yang kami hadapi bergerak di dalam, bukan di permukaan. Jika menemukan titik api kami harus membanjirinya. Sudah banjir pun api masih menyala. Terus terang kebakaran kemarin pada dasarnya diselamatkan datangnya musim penghujan,” kata Dwi.

Selain itu, kami juga butuh alat transportasi yang cepat dan mudah ke lokasi kebakaran. Misalnya sepeda motor. Lalu, dibutuhkan sebuah tower pemantau api. “Yang lebih penting, adanya cadangan BBM seperti bensin. Kemarin mesin pemadam tidak dapat digunakan cepat karena tidak ada bensin.”

Pada dasarnya warga siap mengatasi kebakaran lahan gambut, tinggal bagaimana pemerintah mampu memenuhi fasilitas pemadaman. “Kalau bukan karena saya menetap di sini, terus terang digaji berapa pun saya tidak mau menjadi anggota pemadaman. Risikonya bukan hanya nyawa saat terjadi kebakaran, tapi juga dampak kesehatan akibat menghisap asap dari lahan gambut yang sangat beracun,” ujar Dwi.

Lahan plasma seluas 300 hektare di Desa Gambut Jaya yang terbakar pada 2015 lalu, kini ditumbuhi semak. Foto: Taufik Wijaya
Lahan plasma seluas 300 hektare di Desa Gambut Jaya yang terbakar pada 2015 lalu, kini ditumbuhi semak. Foto: Taufik Wijaya

Air bersih

Selain peralatan pemadam kebakaran, persoalan muncul saat kebakaran terjadi yakni ketersediaan air bersih, alat bantu pernafasan, dan obat-obatan. “Ini penting bagi anak-anak, ibu dan orangtua, yang sangat rentan terkena dampak kebakaran,” kata Subagyono yang juga anggota Kelompok Tani Peduli Api Bunga Selasih.

Air bersih, misalnya, sampai saat ini warga masih membeli air mineral yang didatangkan dari Jambi. Air yang dihasilkan dari lahan gambut tidak dapat dikonsumsi. Warnanya yang coklat dan berbau, jelas tidak sehat.

Setiap galon berisi lima liter air dibeli warga seharga Rp5 ribu. Kebutuhan sehari-hari sekitar dua galon per kepala keluarga. “Saat musim kemarau dan terjadi kebakaran, kebutuhan air bersih untuk minum dan masak kian meningkat.”

Jadi, pemerintah seharusnya sejak saat ini menyediakan tempat penampungan air bersih. Air yang dapat digunakan warga saat musim kemarau atau terjadi kebakaran.

Inilah garu api yang digunakan warga untuk memadamkan api di lahan gambut. Foto: Taufik Wijaya
Inilah garu api yang digunakan warga untuk memadamkan api di lahan gambut. Foto: Taufik Wijaya

Takut dihukum

Sosialisasi terkait hukuman terhadap pelaku kebakaran yang dilakukan pemerintah, justru membuat warga takut memadam api jika terjadi kebakaran.

“Warga yang menemukan titik api di lahan plasmanya cenderung tidak berani memadamkan, sebab mereka takut saat memadamkan justru ditangkap karena diduga sebagai pelaku pembakaran. Ini banyak terjadi saat kebakaran kemarin,” ujar Sujiono.

“Akibatnya, ketika titik api membesar barulah akan dipadamkam,” tambahnya.

Kami takut ditangkap karena adanya papan himbauan agar tidak membakar lahan terkait usaha perkebunan dengan mengutip UU No.39 Tahun 2014 tentang perkebunan, yang menyebutkan hukuman penjara 10 tahun dan denda Rp10 miliar terhadap pelakunya.

“Maunya mencegah pembakaran, tapi juga membuat orang takut memadamkan karena ancaman hukuman tersebut. Perlu penjelasan yang benar kepada setiap warga mengenai hukuman ini, sehingga tidak salah memahaminya,” kata Sujiono.

Sosialisasi hukuman para pembakar lahan justru membuat warga takut memadamkan api. Foto: Taufik Wijaya
Sosialisasi hukuman para pembakar lahan yang justru membuat warga takut memadamkan api. Foto: Taufik Wijaya
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,