Sampah Rumah Tangga yang Menyisakan Persoalan di “Kota Tanpa Kekuatiran”

Bogor pada zaman Belanda dikenal dengan nama Buitenzorg atau “tidak perlu kuatir”, hal ini tampaknya mengacu pada lokasi Bogor yang dekat dengan ibukota dan iklimnya yang sejuk, yang menjadikan kota ini termasuk nyaman untuk ditinggali. Sebutan itu pun bukanlah sekedar ungkapan, selama ratusan tahun Bogor dikenal sebagai kota hunian yang nyaman.

Memasuki awal tahun 2016, Kota Bogor pun terus berbenah memperindah diri. Dibuktikan dengan terus bertambahnya ruang terbuka hijau (RTH) seperti Hutan Kota dan Taman. Selain berfungsi sebagai paru-paru kota, RTH pun berfungsi sebagai ruang publik bagi warga Kota Bogor.

Namun perkembangan RTH tampaknya berkejaran dengan perkembangan kota. Pertumbuhan penduduk Kota Bogor, dari semula kota yang dirancang untuk dihuni sekitar 500 ribu orang, saat ini Bogor telah berpopulasi lebih dari satu juta jiwa yang pada akhirnya menimbulkan persoalan penataan kota.

Hingga saat ini, salah satu permasalahan di Bogor adalah municipal solid waste atau sampah domestik. Timbunan sampah yang belum terangkut armada kebersihan Kota Bogor dari Tempat Pembuangan Sementara (TPS) ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Galuga merusak pemandangan dan kenyamanan Kota Bogor.

Jika mengacu pada SNI 19-3964-199, satuan timbulan sampah kota besar di Indonesia adalah 2 – 2,5 liter/orang/hari atau 0,4 – 0,5 kg/orang/hari, dan satuan timbulan sampah kota ukuran sedang/kecil adalah 1,5 – 2 liter/orang/hari atau 0,3 kg/orang/hari, dengan komposisi sampah organik 70 – 80 persen.

Jumlah penduduk Kota Bogor saat ini lebih dari satu juta jiwa (total 1.968.120 jiwa menurut data Dinas Kependudukan & Pencatatan Sipil, Desember 2015) yang berarti Bogor telah diklasifikasikan sebagai kota besar. Dengan mengacu pada perhitungan SNI di atas, maka per harinya diperkirakan terdapat 4.920 meter kubik sampah (setara 984 ton) yang dihasilkan oleh warga.

Ditambah sebagai kota destinasi kuliner mingguan yang dikunjungi wisatawan, maka diasumsikan sampah non pemukiman di Bogor bertambah dengan 10 persen. Sehingga total jumlah sampah yang dihasilkan dari Kota Bogor per hari adalah 5.412 meter kubik atau setara dengan 1.082 ton/hari.

Kesadaran yang rendah. Sampah masih dibuang di bantaran kali. Foto: LP Hutahaean
Kesadaran yang rendah. Sampah masih dibuang dan dijumpai di bantaran kali. Foto: LP Hutahaean

Di sisi lain, jumlah armada angkut sampah yang siap beroperasi menghantarkan sampah dari TPS ke TPA adalah 116 unit, terdiri dari 83 unit Dump Truck kapasitas 12 meter kubik, 30 unit Arm Roll Truck kapasitas 10 meter kubik, dan 3 unit Convector Truck. Khusus unit Convector hanya bisa memuat maksimum 12 meter kubik, yang bisa dimaksimalkan hingga 20 meter kubik jika sampah kering, padahal jenis sampah Kota Bogor umumnya adalah sampah basah.

Dengan menggabungkan seluruh armada yang dapat beroperasi, lewat asumsi armada beroperasi dua rit per hari, maka terdapat 2.652 meter kubik sampah/ hari yang dapat dikirimkan ke TPA Galuga yang berjarak sekitar 30 kilometer dari pusat kota.

Agar menambah volume daya angkut truk sampah, petugas pengangkut sampah melakukan tambahan tinggi bak sampah sehingga memperoleh “tambahan” volume daya angkut truk mencapai 8 meter kubik sampah setiap unit atau 1.856 meter kubik untuk 2 ritase seluruh unit. Sehingga dengan demikian dapat diketahui total kemampuan Dinas Kebersihan dapat mengangkut sampah dalam sehari ke TPA Galuga setara 4.508 m3 sampah atau setara dengan 901 ton sampah.

Dengan kemampuan armada angkut Dinas Kebersihan yang terbatas tersebut berarti masih terdapat defisit 904 meter kubik sampah (setara 181 ton) sampah yang tidak terangkut perharinya. Apabila menggunakan volume bak truk secara normal tanpa ada “penambahan” volume bak truk, maka jumlah sampah yang tidak terangkut per hari mencapai 2.748 meter kubik atau setara dengan 550 ton sampah dalam sehari.

Ilustrasi perhitungan kasar di atas lebih tinggi dari perhitungan Dian Herdiawan (Kasi Pembinaan Pengelolaan Sampah Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor) yang dikutip dalam media Suara Pembaruan pada tanggal 11 Maret 2015. Herdiawan menyebutkan masih terdapat kisaran 789 meter kubik sampah yang tidak terangkut ke tempat pembuangan akhir.

Kedepannya dengan pertambahan jumlah jiwa di Bogor, dan tanpa adanya perubahan tata kelola sampah, dapat dipastikan semakin banyak sampah yang tidak terangkut perharinya. Bayangkan berapa banyak sampah yang tidak terangkut perhari, per minggu atau per bulannya.

Gambaran ini tentunya menjadi nyata bahwa permasalahan sampah domestik rumah tangga akan dapat “menjadi petaka bom waktu” dari mewujudkan keberlanjutan lingkungan suatu kota.

Setidaknya terdapat dua persoalan dalam pengangkutan sampah warga kota. Pertama adalah persoalan maintenance asset yang tidak maksimal dari UPTD workshop. Berdasarkan data aset, Dinas Kebersihan sebenarnya memiliki 170 unit armada truk sampah, namun hanya 116 yang dapat beroperasi akibat unit rusak atau sudah terlalu tua untuk dioperasikan.

Kedua adalah model pengangkutan. Angkut buang sampah dari rumah, kantor, toko, dan lain lain ke TPS sampai sejauh ini tidak ada masalah disebabkan masih terjalinnya kordinasi dengan Lingkungan dan Dinas Kebersihan. Namun ketika armada harus masuk ke lokasi yang tidak terakses truk, maka petugas kesulitan dalam mengakses sampah yang ada.

Truk sampah di TPA Galuga. Terlihat bagaimana truk "dimodifikasi" agar mampu mengangkut lebih banyak sampah. Foto: LP Hutahaean
Truk sampah di TPA Galuga. Terlihat bagaimana truk “dimodifikasi” agar mampu mengangkut lebih banyak sampah. Foto: LP Hutahaean

Di lain pihak, terdapat kendala dengan mental masyarakat terkait budaya membuang sampah sembarangan, semisal di bantaran sungai. Di satu sisi masyarakat ingin agar rumahnya bersih, namun tidak peduli tempat lain menjadi kotor, walaupun sebenarnya warga sudah paham dampak buruk dari pembuangan sampah ke badan dan bantaran sungai.

Dinas Kebersihan pun lalu berupaya untuk mengembangkan teknologi pengelolaan sampah di tingkat komunitas dan permukiman yaitu Digister Composter. Dengan demikian diharapkan dapat mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA. Teknologi ini masih disempurnakan kajiannya dan disosialisasikan oleh Dinas Kebersihan.

Solusi alternatif lain hal penaganan sampah sebenarnya sudah mulai berkembang yaitu dengan sistem 3R yaitu Reuse (menggunakan kembali sampah yang masih dapat digunakan untuk fungsi yang sama ataupun fungsi lainnya), Reduce (mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan sampah), dan Recycle (mendaur ulang sampah menjadi barang atau produk baru yang bermanfaat).

Penerapan sistem reuse, reduce, dan recycle tentunya amat tergantung kepada pemahaman dari tiap individu, dan perlu menjadi gaya hidup yang dilakukan tiap orang dalam kegiatan pribadinya, dilakukan setiap waktu, dan di mana saja. Yang dibutuhkan sekarang hanyalah kesadaran, sedikit waktu, dan kepedulian.

* L. P. Hutahaean, penulis adalah praktisi teknik planologi dan pengamat wilayah perkotaan

Artikel yang diterbitkan oleh
,