Dibandingkan dengan petani sawit yang berada di wilayah dataran tinggi, ternyata kondisi kemandirian pangan bagi petani sawit di wilayah gambut jauh lebih memprihatinkan. Contohnya pada kehidupan petani sawit plasma di Desa Gambut Jaya, Kecamatan Tanjung Gelam, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi. Bukan hanya beras, sayuran, buah-buahan, ikan, atau daging, mereka pun terpaksa membeli air bersih untuk dikonsumsi.
Saat memasuki desa yang berada di lahan gambut dengan kedalaman antara 5-10 meter ini, kita hanya menemukan sejumlah tanaman pisang, kelapa, yang tumbuh di halaman rumah transmigran yang menjadi plasma PT. Bahari Gembira Ria (BGR), perusahaan perkebunan sawit yang tergabung dalam grup PT. Minamas Plantation.
“Tidak ada sayuran yang tumbuh baik di sini. Jika ingin menanam padi, kami tidak memiliki lahan. Kami hanya punya lahan dua hektare lahan plasma, dan lahan untuk permukiman. Tapi sebagian kami juga menanam sawit di lahan untuk pemukiman ini sebagai sumber pendapatan selain dari kebun plasma,” kata Agung, warga Desa Gambut Jaya, memberikan alasan kenapa banyak warga yang tidak menanam pangan, Jumat (12/06/2016) lalu.
“Kami ya terpaksa membeli kebutuhan makan yang dibawa pedagang ke desa kami. Termasuk ikan,” katanya.
Ironi memang. Lahan gambut yang dulunya banyak terdapat beragam jenis ikan air tawar, seperti gabus, toman, lele dan betok, kini sangat sulit didapatkan. “Kemungkinan besar tidak ada makanan alaminya lagi,” kata Sujiono Basiran, warga lainnya.
Dengan kondisi ini, pendapatan warga dari buah sawit, akhirnya sulit disimpan. Sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Bahkan, sekitar 200 kepala keluarga yang sampai saat ini belum mendapatkan lahan sebagai plasma, terpaksa menjadi buruh di perkebunan sawit atau melakukan pekerjaan lainnya. “Pokoknya kehidupan di sini layaknya hidup di tengah kota. Semua dibeli, termasuk pula air minum,” kata Sujiono.
Pengetahuan pertanian
Tidak adanya warga yang menanam sayuran dan padi, kata Agung, bukan lantaran warga di desanya pemalas. Tapi selain karena tidak punya lahan untuk bersawah, juga tidak memiliki pengetahuan bagaimana menanam sayuran di lahan gambut agar tumbuh dan menghasilkan.
“Ada juga yang memberi saran menggunakan tanah olahan dari kotoran sapi atau kambing dengan beralaskan plastik atau tidak langsung bersentuhan dengan tanah gambut. Tapi, bahannya sulit didapatkan di sini. Kami harus membeli dari luar. Ini kan membutuhkan biaya. Belum lagi kami menilai cuaca yang panas di sini juga sulit membuat sayuran tumbuh. Jadi, kami sangat butuh pengetahuan mengenai bertani di lahan gambut, serta dukungan lainnya,” kata Agung.
Memanfaatkan kanal
Terkait dengan buahan dan ikan, kata Sujiono, sejumlah warga memiliki keinginan untuk memanfaatkan lahan di sepanjang kanal yang berada di tepi jalan desa. Jalan yang juga mengelilingi perkebunan inti maupun plasma.
“Di sepanjang tepian kanal ini kami akan menanam buahan, bambu, atau tanaman lain yang dapat menjaga air kanal dan hasilnya dapat dimanfaatkan warga,” kata Sujiono.
Hanya, katanya, keinginan ini belum dapat direalisasikan karena belum mendapatkan persetujuan dari perusahaan. “Alasannya tepian kanal tersebut dijadikan tempat penumpukan hasil galian kanal,” katanya.
Tapi sebagai langkah awal mereka akan memanfaatkan tepian kanal yang berada di sekitar pemukiman warga. “Kami sekarang lagi mencari bibitnya. Semoga ada yang membantu,” ujarnya.
Selain itu, mereka pun akan mencoba memanfaatkan air kanal untuk peternakan ikan. Langkah awal yakni menanam sejumlah tanaman atau rumput yang mampu menjernihkan air kanal, serta menjadi makanan ikan. “Kami akan menanam enceng gondok atau teratai dengan cara disekat. Mudahan ada pengaruhnya terhadap air. Jika baik untuk ikan, kami akan menanam ikan. Meskipun saat musim kemarau kanal ini menjadi kering, setidaknya saat musim penghujan dimanfaatkan. Tapi jika banyak tanaman keras di tepi kanal, kemungkinan keberadaan air saat musim kemarau juga ada,” ujarnya.