, , ,

Kala Seng PLTU Halangi Petani Batang Masuk Lahan Mereka

Sejak awal Desember 2015, konsorsium PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) memagar lahan proyek PLTU di Batang, dengan seng. Padahal dalam areal itu masih ada lahan warga yang belum dibebaskan. Kini, warga kesulitan masuk lahan mereka.

Puluhan perwakilan warga Batang, bersama aktivis Greenpeace aksi damai di Kantor Adaro, Kuningan, Jakarta, Selasa (16/2/16). Perusahaan ini jadi sasaran karena memegang 34% saham PLTU.

Semula, mereka hendak membawa berbagai poster penolakan PLTU kepada manajemen Adaro. Sayangnya, aksi mereka dicegah keamanan gedung. Hanya 10 orang ke Lantai 18.

Untung Purwanto, warga Desa Ponowaren mengatakan, dengan pemagaran ini akses warga ke lahan pertanian sulit. “Sudah dipagari ditambah tanggul. Bisa masuk, tetapi lebih sulit.”

Kala pemagaran, warga tak bisa berbuat banyak karena dikawal polisi, TNI dan preman. Keadaan tak memungkinkan. Sebagian warga takut.

“Lahan saya 2.500 meter persegi. Biasa tanam padi. Susah menggarap. Ada yang harus merangkak ke pagar terlebih dahulu untuk masuk ke lahan pertanian,” katanya.

Dari 19,8 hektar belum pembebasan lahan, 10 hektar dipagari seng. Total lahan PLTU 226 hektar.

Dia berharap, perusahaan mau lebih terbuka. “Sampai sekarang belum ada respon mereka. Sebagian sudah ada pasang gorong-gorong, juga perataan tanah.”

Khomaidi, warga Desa Karanggeneng mengatakan serupa. Dia harus merangkak lewat bawah pagar sebelum masuk ke lahan pertanian. Meski begitu, dia gigih mempertahankan lahan dan menolak PLTU.

“Saya sudah merasa sukar menggarap lahan. Ada 40 keluarga masih bertahan. Warga tak mau ada PLTU. Lahan warga produktif. Panen setahun tiga kali. Kalau itu berdiri, saya mau kerja apa?”

Di pagar seng, sebenarnya tertulis peringatan larangan masuk dengan ancaman pidana. Warga tak gentar.

Rokiban, nelayan Desa Roban Timur khawatir PLTU Batang mencemari laut. “Sehari tak kurang Rp.400.000 saya dapat. Saya khawatir tangkapan ikan berkurang,” katanya.

Arif Fiyanto, Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia berhasil masuk gedung dan aksi di dalam. “Awalnya kita disuruh bubar sampai kawan-kawan aktivis didorong, atribut dirobek.” Dengan dialog alot mereka bisa masuk sebagian. Dokumen soal PLTU Batang, diterima dan berjanji mendiskusikan bersama manajemen Adaro.

“Kita meminta Adaro tak melanggar HAM. Pemerintah dan perusahaan tak boleh mencuri lahan warga. Seharusnya bukan hanya Adaro, konsorsium dan pemerintah harus menghormati HAM. Pemerintah harus menempatkan kepentingan warga diatas segalanya. Bukan hanya berpihak kepentingan korporasi.”

Hindun Mulaika, team leader Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace mengatakan serupa. Saat aksi di gedung, mereka dibubarkan keamanan. Padahal mereka hanya berusaha menyampaikan kepada pimpiman Adaro bahwa perusahaan atau negara tak punya hak merenggut hak hidup warga.

Mereka belum memberikan tanggapan resmi karena surat diserahkan kepada front desk. Tak ada satupun manajemen Adaro mau bertemu. “Aksi kami tak merusak, damai.”

Berdasarkan perhitungan Greenpeace, jika PLTU Batang tetap dibangun, emisi udara dihasilkan bisa meningkatkan risiko 2.100 kematian dini per tahun. “Itu dari satu PLTU Batang.”

Bisa dibayangkan apabila pemerintah melanjutkan ketergantungan besar-besaran dari PLTU batubara di Indonesia.

“Karena satu cerobong asap PLTU itu emisi atau polutan terbawa angin dan kemana-mana. Dampak kesehatan seperti ISPA, penyakit paru-paru, bahkan risiko peningkatan kanker. Emisi sangat berbahaya. Ditambah regulasi Indonesia sangat lemah mengatur soal itu,” katanya.

Indonesia, katanya, mempunyai banyak pilihan energi, PLTU bukan satu-satunya. Ada geothermal, matahari, angin, hydro. Ada begitu banyak yang berpotensi besar tetapi masih belum dimanfaatkan. “Tren global mulai meninggalkan batubara.”

Investor sudah menutup lahan dengan seng padahal di dalamnya masih ada tanah warga yang belum dibebaskan. Warga tetap bertahan. Foto: Indra Nugraha
Investor sudah menutup lahan dengan seng padahal di dalamnya masih ada tanah warga yang belum dibebaskan. Warga tetap bertahan. Foto: Indra Nugraha
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,