, , ,

Tata Kelola Air Harus Jamin Hak Rakyat

Dulu, di depan rumah-rumah di Kota Gede, Yogyakarta, selalu ada air gentong. Banyak rumah bersumur bisa diminum. Budaya membagikan air gratis menjadi modal kemandirian dan sarana melekatkan relasi sosial. Kini budaya ini tercerabut.

“Masyarakat desa sudah lama terdiskriminasi para pengkonsumsi air mineral, terutama air kemasan,” kata Tokoh Masyarakat Yogyakarta, Abdul Muhaimin, Rabu (10/2/1).

Dampak negatif privatisasi dan komersialisasi air oleh perusahaan, katanya, seperti masyarakat tak bisa mengakses air bebas dan harus membayar mahal. Eksploitasi air juga melebihi kemampuan alam hingga menyebabkan kerusakan dan krisis air. Rakyat miskin, katanya, harus membayar untuk mendapatkan air dan privatisasi menutup hak publik mendapatkan air gratis. Bahkan merusak tata nilai sosial, budaya dan lingkungan.

“Peran agama dan tokoh agama penting menolak privatisasi air yang merugikan manusia dan alam,” katanya.

Kontrol dan pengelolaan, katanya, berpindah tangan, atas nama pengelolaan sumberdaya air terpadu/integrated water resource management (IWRM). Lalu, dipromosikan berbagai lembaga pembangunan dan lembaga keuangan internasional, dengan mengabaikan hak atas air dan mengakselerasi kerusakan lingkungan.

Penerapan di Indonesia, kata Abdul. cenderung menyederhanakan tata kelola air dengan mengesampingkan hak-hak pengguna, pengetahuan dan kearifan tradisional, lembaga-lembaga lokal dan partisipasi publik. “IWRM justru memfasilitasi kontrol korporasi mengelola enam DAS besar di Indonesia.”

Data Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha) 2015 menyebutkan, Indonesia menjadi laboratorium pengelolaan sumber daya air bagi lembaga pembiayaan internasional. Meskipun diberkahi 21% air tawar di Asia-Pasifik, lebih 100 juta orang tidak memiliki akses air minum aman. Hampir 30-an sungai utama tercemar.

“Lewat krisis ini, lembaga keuangan internasional dan instansi pemerintah membuat jalan pengelolaan air yang mengasingkan masyarakat,” katanya.

Direktur Amarta Institute for Water Literacy, Nila Ardhianie mengatakan, eksploitasi air tanah masif oleh perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) menyebabkan warga kesulitan mendapatkan air bersih, walau sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Komersialisasi air meniadakan peran negara dalam memenuhi hak rakyat atas air.”

Industri AMDK di Indonesia, katanya, mayoritas perusahaan asing, mencapai 76% dengan merek ternama seperti Aqua (50%), Ades (10%), Nestle (10%) dan Club (6%). Perusahaan lokal hanya 24%. Swasta asing juga menguasai pelayanan air perpipaan 15,3%.

Pertumbuhan penduduk dan industrialisasi membutuhkan banyak air, namun penentuan lokasi pembangunan harus melihat daya dukung dan daya tampung. Contoh, pembangunan hotel, mal dan apartemen memerlukan air sangat besar. Jika pembangunan di cekungan air tanah, berpotensi kekeringan.

“Lokasi sangat penting, jika peruntukan pemukiman, jangan bangun industri. Dokumen Amdal harus dibuat jujur dan baik,” kata Nila.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito mengatakan, eksploitasi air berdampak kelangkaan. Risiko kerusakan lingkungan dan pemiskinan masif dialami masyarakat bawah. Situasi ini, katanya, ancaman serius, menciptakan ketidakadilan dan kerusakan ekologi.

“Memperbaiki regulasi pengelolaan sumber daya alam  kuncinya. Indonesia kehilangan kedaulatan sektor air. Jika tak segera diatasi menyebabkan konflik horizontal di masyarakat bawah.”

Air, katanya, merupakan penghubung berbagai bagian ekosistem, dan menyediakan jaring biologis di hilir, termasuk penduduk perkotaan dan berbagai bentuk pertanian berbasis komunitas.

Berdasarkan laporan MDG 2010 terbitan Bappenas, proporsi populasi rumah tangga memiliki akses air bersih memadai hanya 47,71% dan rumah tangga punya akses ke sanitasi 51,19%. Pelayanan air PDAM memprihatinkan. Indonesia hanya memiliki 8 juta sambungan air perpipaan, berarti 40 juta penduduk memiliki akses air bersih.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, penurunan cakupan, pada 2011 sebesar 42,76%, 2012 (41,11%). Di daerah tertinggal, akses rumah tangga terhadap air minum 2011 (41,67%), hanya 4,8 juta, 2012 (41,07%) atau 4,6 juta rumah tangga.

Air pertanian

Tak hanya air konsumsi, but pertanian juga makin sulit. Data Kruha, kurang 60% tanah subur yang mendapat air. Sejauh ini, solusi-solusi teknologi belum terbukti mampu mengatasi.

Dihubungi terpisah, Muhnur Satyaprabu dari Walhi Nasional mengatakan, proyek-proyek ekstraksi besar tak hanya rakus air juga menhasilkan limbah luar biasa dan mencemari sumber air. “Industri pertambangan dan pengolahan logam skala besar misal, Freeport setiap  hari membuang 200.000 ton tailing ke Sungai Ajkwa, Newmont membuang 140.000 ton tailing ke Teluk Senunu.”

Begitu juga pembangunan infrastruktur seperti bendungan skala besar menyediakan air untuk industri.

Ekonomi ekstraktif, katanya, mengubah ekosistem tropis, dan mengacaukan hukum yang mengatur tanah, air, dan pedesaan. Industri pertambangan dan sawit, katanya, memanfaatkan dan menyalahgunakan sistem sosial masyarakat dan mendorong ke situasi konflik terbuka.

Lokasi sumber mata air Umberl Gemulo yang debitnya terus menurun. Foto: Tommy Apriando
Lokasi sumber mata air Umberl Gemulo yang debitnya terus menurun. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,