,

Dengan Cara Pertanian Ini, Petani Onembute Konawe Jadi Lebih Makmur

Ramlah (33) dulunya hanyalah ibu rumah tangga biasa, yang hanya sesekali membantu suami di kebun membelah kakao dan mengeringkannya di halaman rumah.

Namun, setahun terakhir ia punya kesibukan sendiri. Dengan memanfaatkan waktu luang, ia melakukan pembibitan berbagai jenis tanaman di halaman sekitar halaman rumahnya.

Ditemui di Desa Onembute, Kecamatan Besulutu, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, Senin (15/2/2016), Ramlah menjelaskan keuntungan yang telah diperolehnya dalam usaha pembibitan ini.

“Bulan Januari lalu saya membibit merica sebanyak 1400 bibit, dijual dengan harga Rp3000 per bibit. Silahkan hitung keuntungannya,” katanya sambal tertawa lebar.

Harga bibit memang bervariasi antara Rp2000 hingga Rp3500, tergantung pada tren harga, kualitas bibit serta pada jenis komoditasnya sendiri. Harga ini pun masih terhitung murah.

Dengan patokan harga Rp3000 per bibit, Ramlah bisa memperoleh keuntungan hingga Rp4,2 juta dalam waktu sebulan. Beberapa petani perempuan lainnya bahkan bisa membibit hingga 2000-3000 bibit dalam sebulan.

Usaha yang dikelola Ramlah ini tak terlepas dari keterlibatannya dalam Kelompok Bunga Mawar, sebuah kelompok perempuan petani yang menjadi dampingan dari proyek Agroforestry and Forestry in Sulawesi: Linking Knowledge with Action (AgFor) di Sultra.

Kelompok Bunga Mawar meski sudah terbentuk lama, yaitu di tahun 2003, namun baru pada tahun 2013 bisa benar-benar aktif dan terlibat dalam kegiatan AgFor. Selain Bunga Mawar ini, ada tiga kelompok lainnya yang juga menjadi dampingan program ini yaitu Teguh Karya, Tunas Harapan, dan Karya Sentosa. Masing-masing kelompok beranggotakan 30-35 orang.

Anggota kelompoknya tidak hanya dari Desa Onembute, tapi juga dari desa tetangga yaitu Desa Lawonua dan Desa Asunde.

Usaha pembibitan Ramlah di lahan seluas 3×8 meter ini hanyalah usaha sampingan. Bersama suaminya, ia kini tengah mengembangkan sistem pertanian secara agroforestri di lahannya seluas 6 hektar. Agroforestri sendiri sistem pemanfaatan lahan yang memadukan pohon dengan tanaman lain dan atau ternak. Biasa juga disebut sistem tumpang sari.

Melalui sistem ini, lahan tersebut ditanami berbagai jenis tanaman berbeda seperti kakao, lada, merica, gamal, rambutan, mangga, jati, dan beragam tanaman kehutanan dan hortikultura.

Anggota kelompok petani perempuan Bunga Mawar di Desa Onembute, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara,  dengan anggota sebanyak 35 orang kini bisa memperoleh penghasilan tambahan melalui usaha pembibitan tanaman. Foto : Wahyu Chandra
Anggota kelompok petani perempuan Bunga Mawar di Desa Onembute, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, dengan anggota sebanyak 35 orang kini bisa memperoleh penghasilan tambahan melalui usaha pembibitan tanaman. Foto : Wahyu Chandra

Hal yang sama juga dirasakan oleh Rosdianah (50), perempuan petani anggota Kelompok Bunga Mawar lainnya. Lahan pembibitan Rosdianah bahkan lebih luas dengan jumlah pembibitan yang lebih banyak.

“Kalau mau ditotalkan sudah sekitar 2000-an bibit yang sudah saya tanam,” tambahnya.

Keuntungan Agroforestri

Menurut Hamsari, Ketua Kelompok Tunas Harapan, keuntungan yang diperoleh dengan sistem tanam agroforestri ini adalah mereka bisa memperoleh hasil panen yang beragam, dan tidak lagi tergantung dengan musim. Sistem ini juga dinilai dapat memutus matarantai siklus hama, dan memberi perlindungan tanaman melalui penanaman tanaman naungan seperti gamal, durian, rambutan, jati dan lainnya.

“Kalau dulu kita hanya menanam satu jenis tanaman saja. Kalau panen gagal maka kita tak bisa mengharap apa-apa lagi. Dengan sistem sekarang, jika pun satu tanaman gagal panen, kita masih bisa mengharap hasil panen dari tanaman lain.”

Jika selama ini petani hanya menggantungkan hasil pertanian dari tanaman kakao, kini mereka juga mulai mengembangkan tanaman dengan nilai ekonomis yang tinggi, seperti lada dan merica.

Sebagai perbandingan, kalau dulunya Hamsari, dari lahan 1 hektar ia hanya bisa menghasilkan Rp15 juta dari tanaman sekitar 600 pohon kakao yang ada, maka dari tanaman lada, dengan hanya 300 pohon ia bisa menghasilkan panen sebesar Rp17 juta per sekali panen.

“Padahal ini belum dilakukan secara serius dan ini baru panen pertama. Belum semua kebun saya tanami dengan lada. Kalau ini dilakukan secara serius dengan lahan yang lebih luas lagi hasilnya bisa mencapai ratusan juta,” tambahnya.

Hamsari, Ketua Kelompok Tunas Harapan, Desa Onembute, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara  saat ini tidak hanya bergantung pada hasil pertanian kakao saja, tetapi juga dengan tanaman lada ia bisa memperoleh hasil yang lebih banyak. Dengan sistem agroforestri,  ia bisa meminimalkan resiko kerugian dari panen di kebunnya. Foto : Wahyu Chandra
Hamsari, Ketua Kelompok Tunas Harapan, Desa Onembute, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara saat ini tidak hanya bergantung pada hasil pertanian kakao saja, tetapi juga dengan tanaman lada ia bisa memperoleh hasil yang lebih banyak. Dengan sistem agroforestri, ia bisa meminimalkan resiko kerugian dari panen di kebunnya. Foto : Wahyu Chandra

Mahrizal, Kordinator AgFor Sultra, menjelaskan bahwa sejak 2012 lalu pihaknya memang sedang mengembangkan kemitraan dengan petani yang ada di Sultra, baik terkait pembibitan ataupun penerapan langsung petani sistem agroforestri di lahannya masing-masing.

“Terkait pembibitan, di Desa Onembute dan Lawonua ini kita membantu petani dalam hal mempelajari berbagai keterampilan bertani, seperti teknis perbanyakan tanaman melalui okulasi, sambung pucuk, serta menggunakan kotak perbanyakan tanaman dan kotak adaptasi,” katanya.

Jika awalnya petani memproduksi bibit hanya untuk kebutuhan sendiri, maka kini mereka baik secara kelompok ataupun individu mulai menjual bibit unggul dan menjadikannya sebagai sumber pandapatan alternatif.

“Di Desa Onembute ini saja sudah ada sekitar delapan pembibitan individu dengan berbagai jenis tanaman, seperti merica, cengkeh, pala, durian, kakao dan beberapa jenis tanaman lainnya. Pak Hamsari misalnya, baru-baru ini memproduksi 2000 bibit lada dan kini sedang memproduksi 2000 bibit lagi.”

Kualitas produk bibit dari petani dampingan AgFor ini bahkan sudah tersebar di daerah lain.

“Kalau kita bilang bibitnya dari Desa Onembute atau Lawonua, petani di desa lain pasti tidak akan ragu untuk membeli, dianggap memiliki kualitas yang sangat bagus dengan harga yang murah.”

Selain pengembangan pembibitan unggul, petani juga menerapkan sistem pertanian agroforestri secara langsung dengan membudidayakan tanaman perkebunan dan kehutanan di lahan masing-masing.

“Kalau terkait penerapan langsung dari agroforestri ini, di kedua desa ini kami memberikan pembelajaran terkait teknis budidaya berbagai jenis tanaman, manajemen kebun campur, pengendalian hama penyakit, pembuatan dan aplikasi pupuk kompos, kunjungan belajar ke daerah lain yang sudah sukses, demplot kebun agroforest, pelatihan calon penangkar, serta pendampingan teknis oleh staf ataupun oleh petani penyuluh binaan AgFor.”

Menurut Mahrizal, dengan penerapan sistem agroforestri ini mampu meningkatkan produksi beberapa tanaman perkebunan dengan waktu panen yang berbeda antara satu dengan jenis tanaman lainnya.

“Perbedaan waktu panen tersebut membuat petani memperoleh pendapatan secara berkesinambungan. Di tahun 2015 yang merupakan musim kemarau terpanjang, ketika banyak petani gagal panen, petani binaan kami justru bisa menjadi teladan sukses bagi petani lain di desa mereka,” tambahnya.

Praktek Langsung

Hamsari sendiri menilai keberadaan program AgFor ini memang telah mampu membantu petani dalam meningkatkan hasil pertanian mereka.

“Selama ini kami bertani asal-asalan saja tanpa melalui teknis dan metode yang benar. Dari AgFor ini kami memperoleh banyak sekali pembelajaran baru.”

Menurutnya, pengetahuan yang diberikan oleh AgFor sebenarnya bukanlah hal yang baru, hanya saja pendekatan pembelajaran yang diberikan AgFor berbeda dengan yang dilakukan oleh penyuluh pemerintah selama ini.

“Dulu kan banyak program-program pemerintah yang masuk, tetapi kebanyakan hanya tetori-teori saja, kita tidak tahu seperti apa itu di lapangan. Kalau dengan AgFor ini kita belajar langsung di lapangan dan langsung praktek. Jadi bisa langsung tahu,” ujarnya.

Pendekatan lain AgFor yang diapresiasi oleh Hamsari adalah dengan diberikannya kebebasan bagi petani untuk menanam apa saja di kebun mereka.

“Kalau dari penyuluh pemerintah kan biasanya dipilihkan, hanya bisa tanaman tertentu saja padahal belum tentu sesuai dengan keinginan petani. Di sini kita ada kebebasan.”

Hamsari juga menilai pembelajaran pembuatan pupuk kompos bisa memberikan nilai tambah bagi petani, tidak hanya memangkas biaya produksi, dengan semakin berkurangnya penggunaan pupuk dan pestisida dari bahan kimia, tetapi juga bisa memberikan hasil pertanian yang lebih berkualitas dan sehat.

“Kini hampir semua petani bisa bikin kompos, tahu cara bikin lorak di kebun masing-masing, sehingga kualitas tanah bisa terus terjamin.”

Salah satu tantangan yang dihadapi petani di Desa Onembute dan Lawonua ini adalah serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK) dan beragam penyakit seperti busuk buah dan busuk batang di pertanaman kakao.

“Kita berusaha mengurangi tingkat serangan itu dengan sistem pertanian yang lebih terarah dan bersih. Dengan adanya hasil dari tanaman lain seperti lada dan merica, kita juga sudah tidak terlalu pusing kalau panen kakao nya gagal.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,