, ,

Kala Kementerian Pertanian Ancam IPOP, Serikat Petani dan Pegiat Lingkungan Angkat Bicara

Aneh binti ajaib. Ungkapan ini mungkin tepat dialamatkan pada Kementerian Pertanian ini. Kala, Presiden Joko Widodo berkomitmen memperbaiki tata kelola lahan dan hutan, salah satu terkait pengembangan kebun sawit—agar ramah alam–, kementerian ini malah berang dengan perusahaan-perusahaan yang berkomitmen lingkungan. Alasan kementerian ini, kesepakatan yang dibuat perusahaan-perusahaan dalam Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) menyengsarakan ‘petani’ karena tak mau mengambil sawit-sawit misal dari lahan gambut. Kementerian inipun mengancam membubarkan IPOP bahkan mengusir perusahaan-perusahaan yang tergabung di sana.

”Kalau menyusahkan petani, ya bubarkan saja,” kata Gamal Nasir, Direktur Jenderal Perkebunan Kementan) kepada Mongabay di Jakarta, pekan lalu.

Menurut dia, 3,5 juta hektar lahan petani swadaya dan satu juta petani inti plasma terdampak kebijakan IPOP. Lahan ini pun tersebar di beberapa daerah seperti Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. ”Paling banyak di Kalimantan Tengah, Palembang dan Riau.”

Gamal menilai, perusahaan IPOP melanggar UUD 1945 kala tak menerima tandan buah segar (TBS) sawit dari petani di lahan gambut. ”Banyak aturan lain yang merugikan petani. Padahal kan bumi dan segala isi dapat dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.”

Kementerian ini, melalui Direktorat Perkebunan, katanya, telah memberikan surat peringatan kepada para anggota IPOP, yakni Wilmar, Cargill, Asian Agri, Golden Agri Resources, dan Musim Mas Group. ”Harusnya perusahaan besar membantu petani bukan menyengsarakan.”

Meskipun IPOP merupakan kesepakatan antarperusahaan, kata Gamal, pemerintah memiliki wewenang membubarkan. “Kita kan negara berdaulat memiliki aturan sendiri. Pemerintah berhak membubarkan itu. Soalnya implementasi tidak bisa dilaksanakan di Indonesia.”

Namun, Gamal tak bisa menjelaskan mekanisme ataupun aturan yang melegitimasi pembubaran itu. “Masih kita koordinasikan dengan kementerian terkait, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” katanya, sembari berulang-ulang kalau upaya ini demi membela petani.

Dia seakan menutup mata kala pasar internasional kini menginginkan prodiuk-produk sawit dengan standar berkelanjutan.”Pasti ada yang nyari, kita kan penghasil sawit nomor satu dunia.”

Baginnya, IPOP kurang penting. Indonesia sudah ada Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), bahkan Malaysia mau memberlakukan hal sama. Dia bahkan, menuding asing di balik standar ‘hijau’ kesepakatan seperti IPOP ini. ”Jangan diatur sama asing yang malah merugikan petani.” Diapun mengklaim, ISPO sudah menciptakan sawit berkelanjutan. ”Itu aturan kita. Meski pasar meminta, kita harus bertahan,” kata Gamal.

Data Kementan, lima perusahaan raksasa itu mampu memberikan pendapatan negara Rp240 triliun atau kedua terbesar setelah minyak bumi dan gas alam. Kelimanya merupakan eksportir utama sawit di Tanag Air yang telah menguasai 70% bisnis sawit Indonesia.

“Perusahaan ini telah menggunakan sumber daya nasional. Sudah sepatutnya hasil produksi petani diserap karena banyak petani yang menggantungkan hidup dan terlanjur menanam sawit disana.”

IPOP menanggapi.   Asti Putri, Manajer Komunikasi IPOP mengatakan, belum mendapatkan informasi lebih jelas mengenai duduk perkara sesungguhnya. “Hingga kini, informasi yang kami dapatkan terbatas melalui media,” katanya, akhir pekan lalu.

Soal pernyataan Gamal Nasir akan membubarkan dan mengusir perusahaan anggota IPOP bila tak mengindahkan peringatan pemerintah, dia berharap ada kesempatan berdiskusi langsung dengan Dirjen Perkebunan dan Kementerian Pertanian. “Ini untuk klarifikasi dan menjelaskan sikap IPOP atas keluhan pekebun sawit karena sawit tak dibeli perusahaan anggota IPOP.”

Petani sawit rakyat di Desa Dosan yang sedang panen dampingan Greenpeace dan Yayasan Elang. Mereka berusaha berkebun sawit berkelanjutan. Seharusnya, pemerintah mendukung aksi-kasi warga maupun swasta, karena malah membantu mereka menuju bisnis berkelanjutan. Foto: Greenpeace

Serikat petani tolak anggapan Kementan

Benarkah petani rugi karena IPOP? Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menolak anggapan itu. Dalam keterangan tertulis kepada media, Mansuetus Darto, Ketua SPKS, akhir pekan lalu mengatakan, penolakan TBS petani karena volume sudah melebihi kapasitas tampungan di pelabuhan. Yang terjadi, katanya, efisiensi pada level pabrik pengolahan sawit.

SPKS menyatakan, petani sawit memiliki komitmen sama menjaga hutan, lahan gambut dan lingkungan serta mereka korban praktik sawit tidak berkelanjutan dalam peristiwa kebakaran hutan tahun lalu.

“Komitmen ini bentuk dukungan petani sawit untuk memenuhi target penurunan emisi Indonesia 29% sampai tahun 2030 sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo saat COP21 di KTT iklim Paris.”

Untuk itu, SPKS sangat menyayangkan sikap pemerintah (Kementan) yang meminta IPOP dibubarkan dan mengusir perusahaan anggota IPOP. “Ini justru kontra produktif dengan komitmen target penurunan emisi dan investasi.”

Menurut dia, peningkatan produktivitas petani tak harus melalui pembukaan lahan baru di hutan dan lahan gambut, namun bisa melalui intensifikasi dan good agricultural practices. “Petani sawit yakin dapat memenuhi standar nol deforestasi dan membantu komitmen pemerintah melindungi hutan dan lahan gambut.”

Seharusnya, kata Darto, pemerintah merasa terbantu dan mendukung upaya ini guna membantu petani sawit dalam peningkatan kapasitas kelembagaan, aspek legalitas dan finansial, serta dapat memenuhi standar ISPO.

Permintaan pasar untuk minyak sawit bebas deforestasi meningkat. Seharusnya, momen ini jadi kesempatan emas bagi Indonesia meningkatkan daya saing produk Indonesia. “Inisiatif IPOP memberikan dorongan positif bagi petani sawit mulai berbenah dan meningkatkan produktivitas. Praktik terbaik petani sawit ini dan dukungan atas kerja IPOP justru membantu pemerintah Indonesia dalam menghadapi hambatan perdagangan saat ini.”

Dorong perbaikan tata kelola

Pegiat lingkunganpun angkat bicara dengan keanehan sikap kementerian ini. Manajer Kampanye Hutan Greenpeace di Indonesia, Kiki Taufik mengatakan, sikap Kementan ini jelas bertolak belakang dengan visi kuat Presiden Joko Widodo yang ingin melindungi hutan dan gambut sebagai solusi tak terjadi lagi krisis kebakaran hutan tahun lalu. Juga mengurangi emisi karbon Indonesia dari sektor kehutanan.

“Presiden tahu persis, kebakaran hutan gambut karena deforestasi skala besar dan pengeringan gambut untuk perkebunan . Akhir tahun lalu Presiden mengeluarkan sejumlah kebijakan kuat mendukung komitmen perlindungan ini,” katanya.

Di sektor industri perkebunan, katanya, model bisnis bertanggung jawab yang membatasi perilaku destruktif terhadap lingkungan terus tumbuh. Bergabungnya Astra Agro Lestari, pekan lalu dalam IPOP, katanya, bukti ada perubahan model bisnis di sektor industri perkebunan sawit Indonesia. “Ini seharusnya menjadi langkah besar yang harus didukung Kementan, bukan sebaliknya, memilih jalan mundur menolak semangat perlindungan swasta.”

Mungkin pemerintah belum mempelajari bagaimana standar-standar keberlanjutan IPOP. Standar IPOP, kata Kiki, sangat memungkinkan pemerintah memperbaiki tata kelola perkebunan agar tak merusak lingkungan.

Pohon sawit hampir berbuah dikembangkan di lahan gambut dan terbakar. Apakah praktik-praktik seperti ini yang coba dipertahankan Kementan? Foto: Sapariah Saturi
Pohon sawit hampir berbuah dikembangkan di lahan gambut dan terbakar. Apakah praktik-praktik seperti ini yang coba dipertahankan Kementan? Foto: Sapariah Saturi

Kiki menduga tekanan Kementan kepada IPOP berkaitan dengan pebisnis sawit yang enggan beroperasi ‘hijau.’ Beberapa pemain besar sektor perkebunan di Indonesia, katanya, besembunyi di balik petani kecl dan nilai ekonomi sebagai alasan menghindar dari upaya menghentikan deforestasi skala besar dan pengeringan gambut.

Perusahaan-perusahaan tergabung dalam IPOP yang menyatakan komitmen nol deforestasi ini, katanya, sudah berkomitmen bekerja dengan petani kecil dalam meningkatkan produktivitas. “Jika komitmen dalam ikrar ini terlaksana baik, akan memudahkan petani kecil memperoleh keuntungan dari permintaan pasar global terhadap sawit berkelanjutan. Ini memperkuat persaingan sawit Indonesia di pasar global,” katanya.

Dia menyarankan, sebagai tanggung jawab pemerintah dalam pengurangan emisi, seharusnya, lebih mengefektifkan penggunaan dana CPO Fund, dalam memperkuat rantai pasok dalam mengedukasi, mempersiapkan skema independent small-holder yang disinyalir mengambil atau menanam sawit di hutan lindung.

“Bukan hanya berpikir relokasi juga memperkuat revitalisasi perkebunan skala kecil dan skema tanam atau produksi dengan mengembangkan good agricultural practices dengan pola praktik terbaik.”

Saat ini, sektor swasta berlomba-lomba memperkuat small-holder untuk lebih bertanggung jawab, seperti inisiatif kebun sawit berkelanjutan di Dosan, didampingi Greenpeace dengan Yayasan Elang, Koperasi Amanah, Setara dengan Asian Agri, pengembangan modul high conservation value(HCV)/high carbon stock (HCS) untuk smallholder, metode identifikasi serta penguatan kelembagaan petani rantai pasok oleh lembaga keuangan dan IDH, dan lain-lain. “Justru kita harus mengkritisi pemerintah.”

Apa masukan buat IPOP guna memperbaiki mata rantai pasokan mereka? Greenpeace, kata Kiki, berharap direktur-direktur perusahaan IPOP menggunakan posisi di Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dalam menyusun agenda 2016 yang konstruktif bagi seluruh industri . “Agar mereka bekerja menyelamatkan hutan dan gambut guna mencegah kembali krisis kebakaran hutan tahun lalu.”

Tujuan IPOP, katanya, bisa dipenuhi dan selaras dengan komitmen Presiden dalam perlindungan hutan gambut. “Presiden juga mempertegas pentingnya keterbukaan, melalui inisiatif peta tunggal.”

Untuk itu, Greenpeace mendesak seluruh perusahaan mendukung keterbukaan dengan mempublikasikan data peta konsesi mereka dan penyuplai pihak ketiga guna memudahkan pengawasan dan perlindungan hutan dan gambut.

Bagaimana langkah mereka untuk bantu petani atau pemasok perbaiki standar dan operasi? “Ini tantangan bagi perusahaan IPOP untuk membuat lebih jelas timeline bagaimana mereka bisa berkontribusi terhadap petani-petani kecil independen,” ucap Kiki.

Saat ini, ada sejumlah kelompok petani kecil sudah punya inisiatif perlindungan hutan gambut seperti petani sawit di Desa Dosan, Riau. “IPOP juga harus menargetkan insiatif-inisiatif positif petani ini menjadi bagian dari penyuplai sawit ramah lingkungan pabrik-pabrik mereka.”

Kemunduran?

Aktivis lingkungan senior, Erna Witoelar mengatakan, seharusnya dipisahkan antara IPOP sebagai pernyataan komitmen untuk berwawasan lingkungan dengan hubungan kerja antara perusahaan besar, perusahaan kecil dan pemerintah sebagai pengayom.

“Mestinya, pemerintah itu minta aja perusahaan besar berdayakan perusahaan kecil untuk bisa berstandar seperti IPOP. Atau bisa juga dikasih beberapa tahun untuk itu dan diwajibkan capacity building petani. Jangan pledge-nya yang dilarang.”

Dia tak habis pikir dengan ancaman dari Kementan. “Waduh, itu saya pikir banyak sekali kemunduran banged dalam pemerintahan sekarang. Saya tuh sangat pro usaha kecil dan dari dulu, memerangi perusahaan besar. Tapi gak bisa terus-terus. Jangan terlalu ekstrim begitu.”

Semestinya, kata Erna, pemerintah meminta bagaimana perusahaan memperbaiki kinerja petani, bisa dengan kerja sama dengan pelaku usaha kecil. “Instruksikan aja mereka (IPOP) buat mempunyai plegde memberdayakan petani agar punya standar IPOP. Dikasih insentif juga. Kalau sudah setahun, dua tahun, saya beli sawitmu. Jadi banyak cara menuju ke sana.”

Tak jauh beda dikatakan Nyoman Iswarayoga, Direktur Komunikasi dan Advokasi, WWF Indonesia. Menurut dia, IPOP itu komitmen perusahaan-perusahaan sendiri. Kalaupun ada keberatan maupun dampak tak diinginkan, katanya, semestinya, diskusikan langsung kepada mereka. “Sampaikan kepada mereka. Karena itu kan self declared yang kemudian ada dampak ke masyarakat, takut produksi sawit turun, harusnya dibicarakan dalam dialogis. Kalian betul gak? Jangan-jangan self declared tinggi, pelaksanaan bagaimana? Cari titik tengah.”

Semestinya, kata Nyoman, tak perlu ada ancam mengancam tetapi cari jalan terbaik. “Intinya, kalau orang mau berbuat baik semertinya kita dorong. Itu harus dipahami dulu. Perbuatan mengarah ke yang baik atau tidak? Kalau langkah itu baik, dibicarakan jangan sampai ada yang dirugikan. Itu aja. Bukan dengan ancam mengancam. Harusnya, buka dialog. Bisa gak smallholder dibantu capai standar itu? Bikin langkah-langkah mencapai standar sampai tahun sekian seperti apa.”

Beberapa waktu lalu, kekhawatiran standar IPOP menghambat binis juga muncul dari KLHK dan Kementerian Perekonomian. Namun, dalam pertemuan itu, beragam pandangan muncul, dari yang khawatir standar IPOP ketinggian sampai kesepakatan ini malah membantu target pemerintah mengurangi emisi karbon sekaligus kontribusi swasta bagi perbaikan lingkungan.

Dalam berita Mongabay, sebelumnya, pada 2014, Kadin memfasilitasi penandatanganan ikrar bersama antara beberapa perusahaan sawit besar di Indonesia. Komitmen ini terealisasi menjadi IPOP, ditandatangani pada Konferensi Tingkat Tinggi tentang Iklim pada Sidang Umum PBB oleh Wilmar, Golden Agri Resources, Cargill, dan Asian Agri. Musim Mas ikut komitmen Maret 2015. Dalam Februari 2016, bergabung anggota baru IPOP, PT Astra Agro Lestari.

IPOP berisi komitmen perusahaan sawit berkelanjutan dengan mengimplementasikan praktik bertanggung jawab tanpa deforestasi, mampu memperluas manfaat sosial bagi masyarakat. IPOP sekaligus memperkuat daya saing sawit Indonesia di pasar global.

Empat fokus IPOP, pertama, meningkatkan kepemimpinan lingkungan dengan mengakui dan melindungi lahan high carbon stock (HCS) maupun high conservation value (HCV). Mengidentifikasi lahan kandungan karbon rendah untuk ekspansi, tidak membuka lahan baru area gambut, serta mengadopsi dan mempromosikan rantai bisnis berkelanjutan melalui mekanisme penelusuran bertanggung jawab.

Kedua, memperkuat kebijakan dan regulasi. Caranya, dengan berkolaborasi bersama pemerintah untuk mengkodifikasi semua elemen ikrar ini diperkuat dalam hukum Indonesia. Juga mendukung pembangunan dan mengimplementasikan standar ISPO, mendukung reformasi regulasi lokal dan nasional juga mendukung implementasi one map.

Ketiga, anggota IPOP berkomitmen memperluas manfaat sosial, melalui peningkatan produktivitas petani sawit, partisipasi komunitas dalam proses dan produksi sawit. Juga mengadvokasi dan mengimplementasikan kebijakan yang memberdayakan komunitas.

Keempat, peningkatan daya saing sawit Indonesia. Caranya, melibatkan dan mendorong industri sawit lain menerapkan praktik dalam ikrar.

Hutan Kalimantan Tengah, terbabat bersiap berganti sawit. Aksi seperti ini massif terjadi di Indonesia. Apakah bisnis sawit seperti ini yang akan terus dipertahankan Kementan demi meningkatkan produksi CPO? Foto: Save Our Borneo
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,