,

Koalisi LSM Kecam HGU Perkebunan Sawit yang Jarah Tanah Petani di Morowali Utara

Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Sulawesi Tengah mengecam perampasan tanah di Desa Lee, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali Utara, yang dijadikan perkebunan sawit oleh PT. Sinergi Perkebunan Nusantara (SPN), anak perusahaan dari PT. Perkebunan Nusantara VI dan XIV (PT PN). Perusahaan ini berada di bawah naungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Adriansyah Manu, Manager Kampanye dan Jaringan dari Yayasan Tanah Merdeka (YTM) yang juga juru bicara solidaritas perjuangan untuk petani di Desa Lee, mengatakan perusahaan tersebut mendapatkan hak guna usaha (HGU) pada 2009 dengan nomor 20-HGU-BPN RI-2009 (27.01.09) seluas 1.895 hektare. Dari luas tersebut, 800 hektare masuk Desa Lee yang merampas tanah petani sekitar 128 kepala keluarga.

“Seperti biasa, modus pemberian HGU tidak pernah diketahui petani. Padahal dalam aturannya, perusahaan wajib mensosialisasikan kehadirannya sebelum mendapatkan HGU,” kata Adriansyah dalam pernyataan teryulisnya yang dikirimkan ke Mongabay Indonesia, 20 Februari 2016.

Menurut Adriansyah, petani mengetahui kampung mereka akan dijadikan perkebunan pada 2014, saat perusahaan memobilisasi alat berat untuk melakukan penggusuran. Setelah itu, petani beserta pemerintah Desa Lee melakukan klarifikasi ke pemerintah kabupaten. Klarifikasi juga dilakukan sekaligus dengan menyatakan sikap bahwa mereka menolak HGU tersebut. “Mereka tidak pernah mendapatkan konfirmasi dan sosialisasi apapun.”

Kepala Desa Lee, Almida Batulapa, sebelumnya telah menuturkan bahwa HGU PT. SPN yang dikeluarkan BPN pada 2009 itu, tanpa prosedur jelas dan tidak melibatkan pemerintah desa dan petani. “Padahal, konsesi tersebut mencakup wilayah strategis desa seperti kandang ternak, sumber air bersih, pemakaman, dan lahan pertanian.”

Menurut kepala desa perempuan itu, masyarakat maupun pemerintah desa belum pernah melakukan penyerahan tanah untuk proses penerbitan HGU PT PN XIV atau PT. SPN. Selain itu, pada berita acara inventarisasi, penyuluhan, dan penyelesaian masalah areal pengukuran tertanggal 2 Oktober 1999 disinyalir ada penyimpangan. Karena sosialisasi tersebut tidak pernah dilakukan di desa mereka.

Menurutnya lagi, pada risalah panitia pemeriksaan tanah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 09/PPT/-B/X/1999, terdapat ketimpangan. Risalah itu menyatakan; pertama, tanah yang dimohon untuk HGU adalah tanah negara. Kedua, tanah tersebut belum mempunyai status hak atau sertifikat oleh pemohon yang bersangkutan dan tidak dalam keadaan bersengketa.

Ketiga, permohonan itu tidak ada keberatan dari pihak lain. Keempat, di atas tanah tersebut tidak terdapat tiang-tiang instalasi listrik. Kelima, di atas tanah tersebut tidak terdapat bangunan apapun. Keenam, di desa yang bersangkutan masih cukup persediaan tanah untuk bercocok tanam bagi penduduk setempat. Dan poin ketujuh, di atas tanah tersebut tidak terdapat kuburan umum.

Pada 2 Desember 2014, dilakukan penelusuran titik koordinat oleh BPN Kabupaten Morowali, PT PN XIV, pemerintah Desa Lee, dan seluruh warga. Hasilnya, warga menyanggah beberapa hasil risalah panitia pertanahan. Sebab tanah yang dimohon untuk HGU PT PN XIV adalah tanah masyarakat Desa Lee yang terdiri dari perkampungan, persawahan, perkebunan, kandang desa, bekas kampung tua, dan sumber air minum.

“Tanah tersebut sudah berstatus kepemilikan masyarakat sejak lama. Bahkan, di atas tanah HGU PT PN XIV berdiri tiang instalasi listrik,” kata Almida.

Akibat penolakan warga ini, pada 7 Januari 2015, terjadi ketegangan antara pihak perusahaan dengan masyarakat. Penggusuran lokasi kandang dan pekuburan tua dilakukan. Begitu pun dengan kayu di lokasi sumber air bersih yang ditebang. Alat-alat berat dikerahkan dengan pengawalan oknum TNI dan Brimob berseragam lengkap.

Karena merasa resah, pada saat itu masyarakat mengadukannya pada sejumlah institusi terkait, seperti Menteri Sekretariat Negara, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gubernur Sulteng, Kepala BPN Sulteng,  DPRD Sulteng, Bupati Morowali, Bupati Morowali Utara, DPRD Morowali Utara, BPN Morowali, Kapolres Morowali, Ketua Tim Penyelesian Sengketa Tanah Kabupaten Morowali Utara, hingga Danramil di Kecamatan Mori Atas. Tapi, hingga kini kasus tersebut tidak terselesaikan.

PT. Sinergi Perkebunan Nusantara (PT. SPN) di Morowali Utara. Foto: Wardi Bania

Protes

Menurut Adriansyah, beberapa kali para petani melakukan protes, lewat aksi mendatangi kantor BPN dan sejumlah instansi terkait. Bahkan Komisioner Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), pada 30 September 2015 melakukan mediasi lewat pertemuan bersama pemerintah daerah, BPN, instansi terkait, kepala desa, juga para petani.

Dalam pertemuan tersebut, dihasilkan rekomendasi: pertama, meminta agar pihak perusahaan tidak melakukan aktivitas di areal petani di Desa Lee yang telah memiliki bukti kepemilikan berupa sertifikat/SKPT/SPPT/SKT dan bukti fisik. Kedua, meminta tim gabungan yang terdiri dari Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali Utara, Camat Mori Atas, Kepala Desa Lee, dan Penyidik Polres Morowali untuk menyelesaikan masalah perampasan tanah tersebut, lewat pengukuran tanah petani berdasarkan kepemilikan sertifikat/SKPT/SKT/SPPT dan bukti fisik lapangan.

Ketiga, kami meminta agar Bupati Morowali Utara mengirim surat kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) untuk melakukan peninjauan kembali HGU PT PN XIV,” ujar Adriansyah.

Menurutnya lagi, petani dan pemerintah Desa Lee dan koalisi LSM bersolidaritas menolak keberadaan izin HGU PT. SPN. Karena proses penerbitannya tidak melalui prosedur yang berlaku dan warga merasa tidak pernah memberikan wilayahnya kepada PT SPN. Selain itu, PT SPN tidak pernah melakukan sosialisasi kepada petani Lee terkait terbitnya izin HGU itu.

Pemerintah Morowali Utara justru berpendapat beda dengan masyarakat dan koalisi LSM tersebut. Pemerintah setempat malah membenarkan bahwa keberadaan izin PT SPN telah sesuai prosedur. Karena dokumen HGU secara resmi ditandatangani serta diterbitkan secara sah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan telah melalui mekanisme yang ada.

Sebelumnya, seperti ditulis Mongabay, Kepala Sub Bagian Pertanahan yang menjabat sebagai Wakil Sekretaris Tim Sengketa Lahan Kabupaten Morowali Utara, Guslan, mengatakan bahwa persoalan tersebut merupakan satu kesatuan di wilayah PT PN XIV.

“Semua desa di lingkar sawit perusahaan permasalahannya sama. Kami sebagai pemerintah daerah hanya berupaya memediasi berbagai kepentingan, baik masyarakat maupun perusahaan,” katanya.

Guslan menjelaskan, pada waktu pertemuan di kantor Kecamatan Mori Atas di Tomata, ia menyampaikan kepada masyarakat agar memahami secara benar tentang HGU. Sebab, sertifikat HGU merupakan legitimasi dari pemerintah terhadap wilayah yang dimohonkan pihak perusahaan.

“Pemerintah berpegang pada aturan. Kalau sekarang, mereka bisa tunjukkan bukti, silakan,” tandasnya.

Terkait pemberhentian warga terhadap aktivitas perusahaan di Desa Lee, menurutnya, lahan itu berada di wilayah areal penggunaan lain. Itu kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini BPN, karena sudah memiliki sertifikat HGU.

“Kami sudah menganjurkan perusahaan agar tidak melakukan aktivitas di kebun masyarakat, kandang, sawah, pekuburan dan lain-lain,” tutur Guslan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,