,

Curhat Nelayan tentang Generasinya dan Menteri Susi

Akhir Januari lalu angin Barat sedang bertiup kencang di Bali. Sudah dua pekan para nelayan di perairan Amed, Karangasem ini tak melaut. Mereka memanfaatkan waktu luang untuk ngobrol, curhat, dan menggantungkan mimpi.

Beberapa kelompok nelayan ngorte kangin kauh (ngalor ngidul) tentang masa depan generasi mereka. Juga harapan untuk Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Sedikitnya ada lima orang nelayan berbagai kelompok berkumpul di sebuah bale bambu dan perahu-perahu tradisional yang berderet di pantai. Ombak terlihat menggulung-gulung dan arusnya menampar bibir pantai berpasir hitam di Timur Bali ini.

Tidak ada agenda khusus seperti rapat rutin kelompok nelayan saat itu. Tapi mereka makin sering bertemu tanpa rencana karena sudah beberapa pekan tak melaut. Ikan-ikan beku yang dipindang sudah menipis. Harga ikan di pasaran tentu saja naik.

Sepelemparan batu dari lokasi bale ini terlihat bangunan Pusat Pendaratan Ikan (PPI) yang hidup segan mati tak mau. “Sudah lama tak beroperasi. Tidak tahu bagaimana kelanjutannya,” I Wayan Suparta tertawa. Ia anggota Kelompok Nelayan Segara Mulia Banjar Amed, Desa Purwakerthi.

Seolah tak punya harapan pada PPI itu. Ia bahkan punya istilah baru untuk PPI ini. “Pusat Pendaratan Kendaraan,” ujarnya sambil lalu menunjuk banyaknya kendaraan yang menggunakan arealnya untuk parkir.

Suparta mengatakan nelayan masih tergantung pada tengkulak. Pemilik modal ini mengharuskan nelayan menyetor hasil tangkapan dengan harga yang ditetapkan tengkulak. Halnya di usaha pertanian, menggunakan sistem ijon. Nelayan diberikan uang atau utang sekitar Rp 5-10 juta terlebih dahulu yang kemudian harus dibayar dengan ikan.

“Pas panen mestinya kita senang tapi rugi karena harga yang dipatok tengkulak rendah, kita tak bisa menolak,” tutur pria murah senyum dan bersemangat ini.

Harga bagus menurutnya Rp2500 per ekor ikan tongkol ukuran sekitar 300 gram. Sementara harga rugi Rp300-500 per ekor.

Menurutnya pemasaran ikan ini tak pernah ada pilihan lain. Ia merasa kehidupan nelayan masih belum ada kemajuan berarti karena soal pemasaran ini. Belum ada pihak atau sistem yang terintegrasi di PPI untuk penentuan harga yang baik atau pengembangan pengolahan ikan jika musim panen. Misalnya pengolahan ikan yang memberi nilai tambah dan aktivitas saat cuaca buruk seperti gelombang tinggi. “Mestinya ada pelatihan pengolahan ikan untuk istri-istri biar ada tambahan penghasilan,” usul rekannya.

Beberapa teman lainnya kadang menimpali paparan Suparta. Mereka menambahkan dengan cerita di kelompoknya atau pengalaman menyampaikan suara nelayan ini ke pemerintah daerah.

Topik lain yang dibahas adalah pos Pertamina untuk nelayan yang dibuat pemerintah tapi salah sasaran. “Kok yang disalurkan solar, padahal kami kebutuhannya bensin,”  kata I Wayan Suandi, nelayan muda 31 tahun yang didaulat menjadi Ketua Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokwasmas) dan koordinator nelayan di Kecamatan Abang dengan lebih 2000 orang nelayan ini.

Sebagai Pokwasmas, Suandi juga berlayar untuk patroli mengawasi pesisir. Misalnya menangkap pengebom ikan hias dan tindak kriminal lain di tengah laut.

Suandi mengaku sudah menyampaikan keluhan nelayan soal pos BBM untuk nelayan yang tak dimanfaatkan ini. Namun belum ada tindakan.

Suasana pantai Amed, Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali yang terlihat sepi dari aktivitas perikanan karena nelayan takut melaut akibat cuaca buruk. Foto : Anton Muhajir
Suasana pantai Amed, Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali yang terlihat sepi dari aktivitas perikanan karena nelayan takut melaut akibat cuaca buruk. Foto : Anton Muhajir

Sebagai pimpinan kelompok nelayan yang berjumlah besar, Suandi malah merasa terganggu karena ada partai politik atau calon pejabat yang akan nyalon yang minta suara. Bukannya membantu solusi keluhan nelayan, ia malah diminta mengamankan dukungan. “Haha.. saya pilih menghindar dari parpol yang cari suara karena biar netral dan gampang cari bantuan,” elaknya.

Obrolan kemudian berlanjut dengan situsi koperasi setempat. Sebagian nelayan menjadi anggota koperasi yang menurutnya cukup membantu terutama simpan pinjam. “Asetnya sekarang Rp1,3 milyar dengan sekitar 1000 anggota dan 70% nelayan,” papar Suandi bangga.

Beberapa rekannya protes kenapa tak diundang saat rapat anggota tahunan kemarin padahal ingin tahu perkembangan koperasi ini. Ada juga yang mengomentari perlu ada program bantuan yang lebih produktif untuk nelayan tak hanya simpan pinjam saja. Unit keuangan ini menurut mereka harus ada yang memberikan pendampingan agar bisa lebih mendorong usaha kecil menengah di kalangan nelayan dan keluarganya.

Misalnya ada pemberian keterampilan untuk anak-anak nelayan, generasi maritim Indonesia ini. Juga model-model pengembangan ekonomi lain.

Topik yang makin besar ini sampai ke sosok Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. “Saya salut pada bu Susi berani meledakkan kapal-kapal pencuri ikan itu,” ujar Suparta. Ia melihat sosok yang paham dunia perikanan pada Susi karena menurutnya nelayan perlu merasakan perubahan mendasar agar makin banyak anak muda yang cinta lautnya.

Saya hanya menyimak, mendengarkan dan kadang sedikit minta penjelasan pada para nelayan yang masih menyimpan harapan besar ini. Ini juga perjumpaan yang tak direncanakan namun merangkum banyak hal yang sebagian mencerminkan masalah yang tak pernah selesai di negara kepulauan ini.

Semangat dan harapan ini terlihat dari upaya mereka membangun sebuah pos kelompok nelayan yang kecil, diapit restoran dan hotel-hotel di pinggir pantai. Mereka juga rapat rutin setiap tanggal 15. Walau tak melaut, mereka memenuhi kesepakatan kelompok untuk setoran wajib kas kelompok.

“Padahal sekang sering minus untuk biaya bensin. Habis 1,5 liter tapi tak dapat ikan,” celetuk nelayan lain sambil tertawa. Para nelayan di daerah pariwisata kadang menimbulkan ironi. Deretan kapal nelayan yang berwarna warni ini hanya menjadi pemandangan hotel atau obyek foto turis.

Sementara nelayan sabar menyongsong musim panen sekitar Agustus-Desember. Bahagia itu sederhana, mendapat 25-30 kg tongkol dari hasil tangkapan menggunakan mata-mata kail yang dipasang di jaring. Ketika para istri nelayan dan ibu pengecer ikan yang menunggu di pantai dengan penuh harap.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,