,

Nisan Ornamen Goa dari Kampung Tongkuno

Ornamen-ornamen goa yang diambil buat nisan. Fotot: dokumentasi KRIYAW

Ornamen-ornamen gua yang diambil buat nisan. Foto: dokumentasi KRIYAW

Jalan menuju Kampung lama Tongkuno, Kabupaten Muna, cukup mulus. Gerimis membuat jalanan sedikit basah dan licin. Sisi kanan kiri jalan terlihat beberapa pohon jambu mete dipenuhi rerumputan lebat. Tak ada pohon besar. Udara menyengat.

Pemandangan menuju Tongkuno, berkelok-kelok. Jika bertemu kendaraan roda empat harus hati-hati. Bukit-bukit karst menghampar sepanjang rute itu. Puncak-puncak terlihat landai. Beberapa anak kecil tiga hingga enam tahun berlarian.

Kami melanjutkan perjalanan. Tampak sebuah pohon kelapa,  di bagian bawah ada ornamen goa, stalagmit dan stalagtit. Berderet saling bertumpuk. Ornamen itu dari beberapa goa di sekitaran kampung lalu digotong menggunakan kayu oleh dua hingga puluhan orang, tergantung ukuran.

Ornamen goa itu beragam ukuran. Ada kecil  sampai besar. Ia buat nisan dengan harga bervariasi,  kecil Rp500.000 hingga dua meter Rp2,5 juta.

Masyarakat Muna, adalah penduduk mayoritas agama Islam. Masa lalu, wilayah bagian Kesultanan Buton, meski beberapa intrik politik mendesak memisahkan diri dari kesultanan.

Orang Muna, bangga dengan budaya mereka. Beberapa orang yang saya temui, mengatakan Muna dan Buton, berbeda. Sampai sekarang, klaim melanggengkan legitimasi leluhur mana yang paling tua masih berlangsung.

Orang Muna, menguburkan jenazah mengikuti tradisi Islam. Memandikan dan membungkus dengan kain kafan, mendoakan menggunakan bacaan Al-Quran. Sebagai penanda kubur, menggunakan satu nisan, hanya bagian kepala.

Beberapa kuburan tua, tak memiliki nama. Silsilah dan keperluan ziarah masing-masing rumpun keluarga hanya diwariskan melalui tradisi lisan. Stalagtit dan stalagmit sebagai nisan tak dipahat. Pada awal 1990-an, beberapa orang mulai membangun kuburan keluarga pakai semen.

Di pusara kuburan, dibuat pembatas kecil dari semen cor atau pula dilapisi keramik. Nama dan informasi singkat orang yang meninggal dituliskan pada keramik atau pula semen di pusara itu. Nisan tetap tak tersentuh.

Pada bagian depan nisan, diletakkan piring. Masa lalu, piring untuk meletakkan dupa atau sesajen ritual.

Saya menemui La Likasa (47) di Desa Korihi Kecamatan Lohia. Dia pria hangat. Rumah berdampingan dengan tempat pemakaman umum desa itu. Kami berbincang. “Saya yakin, hingga kapanpun batu goa (stalagtit dan stalagmit) tak akan habis jika digunakan untuk nisan,” katanya.

Muna ini, katanya, diberikan ratusan bahkan ribuan goa. Ada banyak ornamen dan sebuah berkah. “Kalau kami menggunakan semen seperti tempat lain, identitas kami sebagai orang Muna akan luntur,” katanya.

Dalam logika La Likasa, menggunakan semen untuk nisan tak akan lama, karena mudah keropos dan ditumbuhi lumut. “Kalau semen, kelihatan tak berwibawa. Ada banyak model tergantung desain orang. Kalau batu gua seragam, benar-benar dari alam.”

Pandangan lain dinyatakan La Ode Balaba (67) di Desa Lakarinta. Menggunakan ornamen goa untuk nisan, katanya, hakikat manusia. Tafsirannya adalah kelahiran dan kematian manusia. “Saya kira ada dua goa tempat kita bermukim. Rahim dan liang kubur. Di dunia nyata ada goa, saya kira itulah kenapa orang Muna menggunakan batu goa,” katanya.

Ornamen goa di Muna. Foto: dokumentasi KRIYAW
Ornamen goa di Muna. Foto: dokumentasi KRIYAW

La Ode Uhu (44), juru pelihara situs benteng dan rumah kerajaan di Tongkuno mengatakan, pembuatan nisan awalnya menggunakan kayu. Karena mudah lapuk pakai batuan karst. “Batuan karst dipahat sesuai jenis kelamin yang meninggal. Jika laki-laki, bentuk nisan menyerupai penis, perempuan menyerupai vagina.”

Ketika Islam menjadi landasan aturan kerajaan, nisan ikut berubah bentuk. Laki-laki nisan dibungkus kain putih setengah, perempuan dibungkus utuh. “Seperti orang menggunakan kerudunglah. Tertutup. Laki-laki kan tidak.”

Antara tradisi dan penyelamatan lingkungan

La Likasa, menolak tegas jika penggunaan batu goa merusak lingkungan karst. “Tidak mungkin. Itu batu terus tumbuh. Terus ada,” katanya. “Kami tak pernah berpikir batu itu suatu saat hilang dan habis.”

Pengambilan ornamen goa serampangan. Bagi mereka yang menggunakan untuk keperluan ekonomi, pencarian di goa manapun. Untuk beberapa orang yang memilih bakal nisan akan mengunjungi goa. “Saya memilih nisan saya. Saya belum beritahu keluarga, tapi dalam waktu dekat akan tunjukkan. Cukup besar, saya suka itu,” kata Ode.

Guru Besar Universitas Hasanuddin Jurusan Geologi, Imran Umar mengatakan, pembentukan ornamen goa memerlukan waktu lama dan panjang, puluhan bahkan ratusan tahun, disebut proses karstifikasi.

Pembentukan ornamen dimulai, dari Pegunungan karst. Air hujan mengalir melalui celah-celah karst dan menyimpan dalam batuan. Dalam waktu tertentu, air larut bersama kalsit atau unsur semen dalam karst (CaCO3) dan merembes perlahan menuju dinding ataupun plafon gua.

Ornamen gua yang sudah diambil buat nisan. Foto: dokumentasi KRIYAW
Ornamen gua yang sudah diambil buat nisan. Foto: dokumentasi KRIYAW

Ornamen yang menjuntai mirip taring, akan meneteskan air dan membentuk endapan di bagian bawah disebut stalagmit. Ketika dua ornamen menyatu, disebut pilar. “Ornamen inilah peneliti memprediksi perubahaan iklim masa lalu,” kata Imran.

Ornamen-ornamen ini juga berfungsi menjaga kadar suhu dalam goa. Sebagai pelindung spesies goa, dari antrhoppoda dan serangga, hingga burung. Goa terjaga baik, menjadi semacam tangki air raksasa.

Saresehan Kelompok Pencinta Alam Indonesia Timur (KRIYAW) pada November 2015 memetakan, potensi goa di Muna. Tim ini menjelajahi puluhan goa dan menemukan beberapa kondisi rusak fatal.

Dian Kartika, tim ekspedisi KRIYAW mengatakan, di Kecamatan Parigi dan Tongkuno, kondisi goa yang menjadi titik sasar pengambilan nisan, sangat berantakan. Ada stalagmit dan pilar tumbang.

Ketua tim ekspedisi KRIYAW untuk Muna, Miftah Jannah mengatakan, penggunaan ornamen untuk keperluan nisan dari sisi lingkungan cukup merusak. Bukan berarti kesalahan pada masyarakat. “Saya kira jika ornamen itu untuk keperluan yang bermanfaat sah saja. Kecuali untuk hiasan tidak bermanfaat, jelas merusak,” katanya.

Penelusuran tim ekspedisi KRIYAW selama 14 hari. Dari data mereka, pengambilan ornamen goa berlangsung hingga kini. “Saya kira hanya pendatang menggunakan nisan semen.”

Ornamen goa tampak rusak parah. Foto: dokumentasi KRIYAW
Ornamen goa tampak rusak parah. Foto: dokumentasi KRIYAW
Ornamen goa di Muna, nan indah. Foto: dokumentasi KRIYAW
Ornamen goa di Muna, nan indah. Foto: dokumentasi KRIYAW
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,