Sidang perdana Citizen Lawsuit sembilan warga Aceh tergabung dalam Koalisi Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (Geram) terhadap Menteri Dalam Negeri, Gubernur Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) digelar di PN Jakarta Pusat, Selasa (23/2/16). Mereka menggugat karena dinilai lalai dalam penerbitan Qanun RTRW Nomor 19 tahun 2013.
Sidang dipimpin Ketua Majelis hakim Agustinus Setyo Wahyu, anggota Casmaya Patahi dan Tulus Hutapea. Hadir perwakilan Pemprov Aceh, sedang Mendagri dan DPRA absen.
“Mendagri dan DPRA tak hadir. Seharusnya mereka sadar negara ini bukan hanya pemerintah. Rakyat menggunakan hak yang diatur perundang-undangan. Ketidakhadiran mereka seolah-olah terkesan menyepelekan para penggugat yang notabene rakyat kecil. Juga menyepelekan masalah yang seperti tak ada dampak luas. Padahal berdampak luas,” kata Nurul Ikhsan, pengacara warga. Dia berharap, persidangan selanjutnya Mendagri dan DPRA hadir.
Edrian, Kepala Biro Hukum Pemprov Aceh sebelum persidangan mengatakan, mekanisme melahirkan rancangan qanun RTRW Aceh sudah sesuai prosedur.
“Persoalan, obyek gugatan sudah ada putusan Mahkamah Agung. Sebelumnya Walhi mengajukan judicial review qanun RTRW, ada putusan MA menolak. Kalau berpegang azas hukum ya makin habis waktu kita meladeni hal-hal ini,” katanya.
Pemprov Aceh, katanya, sudah menjalankan rekomendasi atau evaluasi Mendagri. Jika tidak, qanun bisa dicabut atau dibatalkan. Hingga kini tak ada pembatalan.
Soal Kawasan Ekosistem Leuser, dengan masuk Kawasan Strategis Nasional kewajiban-kewajiban, kewenangan dan otoritas pada pemerintah pusat. “Yang memberikan perizinan pemerintah pusat, yang mengalami bencana orang daerah. Sebenarnya sistem ini harus kita ubah,” katanya.
Dia berharap, kewenangan KEL di Aceh. Selama ini, pemerintah tak maksimal menjaga KEL. “Dimana peran pemerintah pusat menjaga KEL? Kalau kewenangan KEL diberikan pada daerah, otomatis masuk RTRW. KEL kan masuk KSN. Kalau berbicara KSN itu termasuk otoritas pusat. Pembiayaan dan pengelolaan pusat,” katanya.
Nurul mengatakan, persoalan yang digugat berbeda dengan sebelumnya. Kalau di MA, persoalan tata usaha negara. Gugatan sekarang, melalui mekanisme perdata. “Yang kita gugat perbuatan melawan hukum dalam hal pengabaian,” katanya.
Mendagri dianggap abai karena terlambat mengeluarkan hasil evaluasi terkait draf Qanun RTRW Aceh sebelum pengesahan. Seharusnya, 14 hari terhitung sejak Mendagri menerima draf tetapi evaluasi itu keluar dua hingga tiga bulan.
Mendagri, seharusnya melaksanakan kewenangan, yakni, kontrol proses qanun. Mendagri lalai, meskipun sudah ada evaluasi qanun, tetap Gubernur Aceh tak menindaklanjuti.
Mengenai alasan KEL tak mask karena KSN, kata Nurul, tak relevan. Sebab di Aceh, ada lima KSN tetapi hanya KEL tak masuk RTRW.
Di Aceh ada lima KSN, yakni Kawasan Industri Lhokseumawe, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Banda Aceh Darussalam. Lalu, Kawasan Perbatasan Laut termasuk dua pulau kecil terluar (Pulau Rondo dan Berhala), serta Kawasan Ekosistem Leuser. “Empat KSN lain masuk qanun, KEL tidak.”