Gara-gara PHP, Kapal Penjelajah ZEE dan Laut Lepas Berhenti Beroperasi

Sebanyak 34 asosiasi nelayan dan pengusaha perikanan dan kelautan mengadu ke Komisi IV DPR RI, Kamis (25/2/2016). Mereka meminta DPR RI untuk meninjau ulang keberadaan sejumlah kebijakan yang sudah dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Di antara kebijakan yang dikeluhkan para pengusaha dan asosiasi, adalah pemberlakukan Peraturan Pemerintah No 75 Tahun 2015 tentang pungutan hasil perikanan (PHP). Kebijakan tersebut dinilai sangat memberatkan nelayan dan pengusaha yang akan melaut.

Keberatan tersebut, karena pajak PHP untuk kapal di atas 150 gros ton (GT) nilainya sangat besar. Jika itu diterapkan, maka nelayan dan pengusaha akan mengalami kesulitan perekonomian. Penyebabnya, karena PHP ditarik sebelum kapal akan berangkat melaut.

Hal tersebut diungkapkan James Then, salah satu pengusaha dari Jakarta. Menurut dia, saat ini saja di Muara Baru dan Muara Karang ada puluhan kapal berkapastas diatas 200 GT yang terpaksa tidak melaut. Mereka tidak melaut, karena beban HPN bisa mencapai Rp1 miliar untuk setiap kapal.

“Jadi mau bagaimana ini kalau PHP harus membayar Rp1 miliar. Makanya kapal-kapal tersebut memilih tidak melaut saja, daripada harus keluar duit banyak, sementara hasil tangkapan juga belum jelas berapa,” tutur dia.

Karena biaya yang mahal, James mengungkapkan, saat ini sebagian besar kapal yang melaut adalah kapal berukuran kecil atau rerata 30-60 GT. Akan tetapi, karena kapal tersebut kecil, maka daya jelajahnya menjadi terbatas dan maksimal tidak boleh melebihi batas 12 mil laut.

“Itu artinya, diluar 12 mil laut tidak ada kapal lagi yang bisa melaut. Itu artinya, ZEE (zona ekonomi eksklusif) dan laut lepas akan kosong dari produktivitas. Jika kosong, maka negara lain bisa memanfaatkannya. Apa ini tidak sayang?” tandas dia.

“Untuk itu, nelayan semua sudah sepakat akan melakukan judicial review melalui kuasa hukum Yusril Ihza Mahendra. Karena, ini sudah melebihi batas,” tambah dia.

Sebagaimana diketahui, untuk usaha perikanan tangkap skala besar, PHP naik dari 2,5% menjadi 25%, usaha skala kecil naik dari 1,5% menjadi 5%, sedangkan PHP untuk usaha skala menengah ditetapkan sebesar 10%.

Kapal Berhenti Beroperasi

Selain karena faktor pajak PHP, saat mengadu ke Komisi IV, pengusaha mengungkapkan bahwa ada banyak kapal yang terpaksa berhenti melaut karena belum keluar izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Padahal, jika merunut pada hasil analisis dan evaluasi (anev), kapal-kapal tersebut berstatus bersih dan masuk kategori whitelist.

Fakta tersebut diungkapkan Endang dari Himpunan Pengusaha Penangkapan Udang Indonesia (HPPI). Dalam penjelasannya, perempuan berjilbab tersebut mengungkapkan bahwa kapal-kapal yang bernaung di bawah asosiasnya saat ini terpaksa berhenti melaut karena terkendala izin.

Puluhan kapal penangkap ikan yang bersandar di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada Selasa (19/01/2016) siang. Kapal-kapal tersebut tidak beroperasi karena tidak mempunyai izin atau sedang mengurus izin melaut dari KKP. Foto : M Ambari
Puluhan kapal penangkap ikan yang bersandar di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada Selasa (19/01/2016) siang. Kapal-kapal tersebut tidak beroperasi karena tidak mempunyai izin atau sedang mengurus izin melaut dari KKP. Foto : M Ambari

“Kebijakan buat kami ini aneh, karena kapal-kapal kami sudah clean and clear. Tapi, masih tidak boleh melaut juga. Sudah begitu, KKP meminta kepada kami untuk menghapus bendera di kapal-kapal. Kami kan kapal Indonesia,” sebut dia.

Kebijakan aneh tersebut, kata Endang, kemungkinan muncul, karena kapal-kapal di bawah HPPI adalah kapal impor dengan kapasitas rerata di atas 200 GT. Namun, fakta tersebut bagi dia tetap merasa aneh karena seharusnya tidak ada alasan apapun lagi karena sudah masuk whitelist.

“Kecuali, jika memang kapal-kapal kami ini masuk blacklist. Tapi, kalau gara-gara kapal impor, masa kami harus hapus bendera. Itu kan prosesnya juga tidak sebentar karena harus ke Dephub dulu. Sementara, kami juga dirugikan karena kehilangan pendapatan,” papar dia.

Harus Ada Solusi

Ketua Komisi IV Herman Khaeron mengatakan, keluhan yang disampaikan para nelayan dan pengusaha tersebut bukan cerita baru bagi dia. Sejak kebijakan moratorium kapal eks asing diberlakukan pada 2014, keluhan sudah mulai bermunculan.

“Tapi sekarang sudah masuk ke tahap lebih rumit lagi. Ini harus ada solusi. Karena, apa yang disampaikan (Menteri Susi) dengan apa yang ada di lapangan itu berbeda realitasnya. Sekarang kita harus bisa mengungkap seberapa besar negatifnya,” ucap dia.

Sementara, dalam kesimpulan rapat yang dibacakan di akhir pertemuan, Anggota Komisi IV Ono Surono mengungkapkan, nelayan dan pengusaha sebaiknya menyiapkan gugatan hukum untuk menyelesaikan polemik tersebut. Karena, jika tetap dibiarkan, itu akan terus berlanjut tanpa ada solusi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,