,

Pasoema, Para Petani Madu Pelestari Hutan di Kolaka Timur

Keringat Hardin (50) mengucur deras. Beberapa batang bambu dibelah, dipukul-pukul dengan punggung parang hingga tercerai berai. Bilah-bilah bambu ini kemudian dibungkus dengan daun kelapa dan diikat kuat. Ujung dari belahan bambu yang berbungkus daun ini kemudian didekatkkan ke api unggun yang sudah disiapkan sebelumnya, yang lalu terbakar cepat dan menyisakan asap yang banyak.

“Ini adalah obor, asapnya berfungsi untuk mengusir lebah agar menjauh dari sarangnya,” jelas Hardin.

Tak berapa lama kemudian, Harmin (40) rekan Hardin, dibantu oleh dua orang lainnya, segera mengambil alih obor tersebut dan cekatan memanjati sebuah pohon besar yang menjulang tinggi, tempat sebuah sarang madu tertempel di salah satu dahan pohon tersebut.

Sayangnya, tak banyak madu yang dihasilkan pagi itu. Sarangnya masih terlalu muda dan memang belum tiba masa panen yang tepat. Jika panen berhasil, sebuah sarang bisa menghasilkan hingga 40 kg madu.

“Masa panen besar itu di bulan September – November tiap tahunnya. Ada juga di bulan April – Mei, tetapi jumlahnya sedikit. Kalau sekarang masih bulan-bulan transisi,” Harmin menjelaskan.

Hardin dan Harmin adalah petani pencari madu yang dalam hahasa setempat disebut Pasoema, yang tergabung dalam Koperasi Mopokoase Pasoema Uluiwoi (MPU) di Desa Tawanga, Kecamatan Uluiwoi, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara.

Pagi itu, Selasa (16/02/2016), kami mengunjungi para petani madu hutan ini di lokasi mereka, yang berjarak sekitar 120 km dari Kota Kendari, ibukota provinsi Sultra.

Pasoema biasanya merupakan sebuah kelompok kecil yang terdiri dari 3-5 orang. Mereka terdiri dari seorang pemanjat atau disebut sopir, sementara lainnya bertugas menyiapkan kebutuhan lain, seperti pembuatan obor untuk pengasapan dan pemrosesan hasil yang diperoleh. Di Desa Tawanga sendiri, terdapat sekitar 23 kelompok kecil pasoema yang tergabung dalam Koperasi MPU.

Menurut Kusman (35), Ketua Koperasi MPU, para kelompok kecil ini biasanya akan masuk hutan selama 5-7 hari. Sebelum melakukan pemanjatan, mereka melakukan survey terlebih dahulu. Jika menemukan sarang, pohon tempat sarang kemudian ditandai dengan nama atau inisial tertentu.

“Sebuah kelompok kecil, sekali masuk hutan bisa mendapat hasil hingga 250 kg, tergantung besar kecilnya sarang yang diperoleh,” tambah Kusman.

Para pasoema di Desa Tawanga, Kecamatan Uluiwoi, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara memanjat dan mengambil sarang madu dari atas pohon. Kadang tinggi pohon bisa mencapai 30 meter, umumnya pohon beringin. Foto: wahyu Chandra
Para pasoema di Desa Tawanga, Kecamatan Uluiwoi, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara memanjat dan mengambil sarang madu dari atas pohon. Kadang tinggi pohon bisa mencapai 30 meter, umumnya pohon beringin. Foto: wahyu Chandra

Dalam setahun hasil panen yang bisa diperoleh dari seluruh pasoema bisa mencapai belasan ton, tergantung pada musim. Pada tahun 2015, yang merupakan tahun dengan musim kemarau terpanjang, mereka memperoleh hasil hingga 12 ton.

“Tahun 2015 itu hasil panennya terbanyak yang pernah ada karena cuaca yang mendukung dan juga karena peningkatan keterampilan warga. Di musim kemarau, hasil panen memang akan sangat banyak.”

Harga jual madu per kg bervariasi. Jika madu yang diproses dengan cara peras dihargai antara Rp 25 ribu – Rp 35 ribu. Sementara yang diproses dengan cara tiris yang lebih modern harganya bisa mencapai Rp 50 ribu per kg.

Koperasi MPU sendiri kini tengah mempersiapkan modernisasi pengolahan metode pengolahan madu dengan cara tiris, yang lebih higienis. Dengan cara baru ini, sarang madu yang diperoleh langsung diproses dengan cara memotongnya kecil-kecil di atas kasa penyaringan. Tetesan madu ini kemudian ditampung di sebuah ember hingga seluruh cairan di sarang lebah itu habis.

“Kalau dengan metode lama yang diperas kotoran-kotoran akan terikut, karena tidak tersaring dengan baik. Kita juga sudah mulai menggunakan sarung tangan plastik untuk mengurangi kontak langsung dengan tangan.”

Peralihan metode dan pembentukan koperasi ini sendiri difasilitasi oleh proyek Agroforestry and Forestry in Sulawesi: Linking Knowledge with Action (AgFor) di Sulawesi Tenggara.

Tidak hanya dengan pelatihan pengolahan madu secara tiris, mereka juga dilatih dalam hal pengemasan dan pemasaran produk. Para pasoema ini bahkan kini berkembang lebih jauh, tidak hanya memproduksi madu, tetapi juga produk turunan madu lainnya, seperti lilin dan sabun.

“Kita juga diajarkan agar pada saat panen tidak semua sarang diambil, tapi disisakan sedikit, agar lebahnya bisa bersarang kembali di tempat tersebut.”

Menurut Kusman, salah satu kendala yang dihadapi koperasi saat ini adalah modal usaha untuk membeli madu dari petani. Kemampuan koperasi baru bisa membeli sekitar 600 kg madu dari produksi 12 ton di tahun 2015 lalu. Kendala lain pada rumah produksi yang masih terbatas.

“Kita sudah ajukan permohonan bantuan ke Bank Indonesia untuk pembangunan rumah produksi namun belum ada respon sampai saat ini. Kita berharap juga nanti ada dukungan dari Pemerintah Daerah Kolaka Timur,” jelas Kusman.

Lebah sarang bisa menghasilkan madu 10-40 kg. Selain itu, tidak hanya madu, dari sarang madu juga bisa dihasilkan produk turunan lainnya, seperti untuk pembuatan lilin dan sabun. Foto: wahyu Chandra
Lebah sarang bisa menghasilkan madu 10-40 kg. Selain itu, tidak hanya madu, dari sarang madu juga bisa dihasilkan produk turunan lainnya, seperti untuk pembuatan lilin dan sabun. Foto: wahyu Chandra

Menurut Mahrizal, Kordinator AgFor Sulawesi Tenggara, setelah adanya pelatihan ini terlihat adanya peningkatan hasil produksi madu dari pasoema, karena kini mereka lebih teroraganisir dan terampil, bukan hanya dalam mengolah madu tetapi juga dalam melakukan survey penentuan lokasi sarang. Konflik-konflik antar pasoema juga bisa diminimalisir dengan lahirnya Peraturan Desa terkait pengaturan kepemilikan sarang.

“Kita fasilitasi lahirnya Perdes yang mengatur antara lain sanksi bagi pasoema yang menyerobot wilayah pasoema lain yang telah ditandai, berupa sanksi uang Rp500.000. Di masa lalu, praktik saling serobot ini adalah hal yang lazim terjadi dan kerap mengakibatkan konflik antar pasoema itu sendiri.”

AgFor juga memperkenalkan metode penilaian pasar secara rapid market and assessment (RMA). RMA adalah metode yang fleksibal dan efektif untuk mengumpulkan, pemrosesan, dan analisis informasi tentang pasar, termasuk rantai pasar dan pelakunya.

“Dengan metode ini, pasoema diajak untuk menggali informasi langsung dari pelaku pasar sehingga cepat diketahui kelebihan yang mereka miliki, tantangan yang dihadapi, serta tingkat persaingan pasar yang terjadi. Bekal pengetahuan ini akan menjadi dasar untuk mengusahakan perbaikan dan pengembangan produk.”

Menurut Mahrizal, setelah proses produksi yang lebih steril dan higienis dikuasai oleh para pasoema, maka tahapan selanjutnya adalah mendoronng dan membantu koperasi dalam pengemasan sendiri madu yang dihasilkan. Selama ini, proses bottling dan pengemasan masih dibantu oleh AgFor di Kota Kendari.

“Kita sementara mengupayakan agar proses bottling nya bisa dilakukan sendiri, sehingga keuntungan yang diperoleh bisa lebih besar lagi.”

Desa Tawangan sendiri dulunya merupakan daerah yang terisolir dari dunia luar. Beberapa tahun sebelumnya desa ini hanya bisa diakses melalui jalur sungai dan jalan kaki. Dengan adanya adanya pembangunan jalan dan jembatan, yang pekerjaannya selesai sejak 2015 lalu, akses ke desa ini mulai terbuka.

“Setelah mobil bisa masuk sudah banyak yang datang untuk membeli madu langsung ke pengumpul, tidak lagi melalui perantara. Kita juga bisa menjual hingga ke Kolaka,” ungkap Iskandar, Kepala Desa Tawanga.

Kini madu produksi  Desa Tawanga, Kecamatan Uluiwoi, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara sudah dikemas dalam botol 100 gr, 250 gr hingga 500 gr. Pemasarannya juga sudah lintas kabupaten, dan dipasarkan di berbagai tempat. Foto: wahyu Chandra
Kini madu produksi Desa Tawanga, Kecamatan Uluiwoi, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara sudah dikemas dalam botol 100 gr, 250 gr hingga 500 gr. Pemasarannya juga sudah lintas kabupaten, dan dipasarkan di berbagai tempat. Foto: wahyu Chandra

Meskipun sifatnya musiman, penghasilan dari madu ini bisa menjadi sumber penghasilan tambahan bagi warga. Penghasilan utama masih pada perkebunan kakao, merica, nilam dan bawang merah. Dari usaha madu sendiri, tiap individu dalam setiap musim bisa menghasilkan hingga Rp3 juta – Rp5 juta. Sementara pengumpul bisa memperoleh penghasillan hingga Rp12 juta.

Menurut Iskandar, keberadaan pasoema ini juga sangat penting dalam ikut menjaga kelestarian hutan. Apalagi sebagian besar kawasan desa ini didominasi oleh hutan, yang terdiri dari hutan lindung seluas 5.000 hektar, hutan produksi 2.000 hektar, dan sisanya sekitar 1.000 hektar adalah area penggunaan lainnya, termasuk wilayah pengukiman warga yang didiami oleh 250 kepala keluarga dengan penduduk sekitar 1.086 jiwa.

“Dengan adanya pasoema ini, mereka juga bisa terlibat aktif menjaga hutan, setidaknya di wilayah-wilayah dimana mereka mencari madu selama ini. Apalagi aktivitas illegal logging masih banyak terjadi di daerah ini.”

Menurut Kadim, Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Konawe Timur, upaya untuk mendukung Desa Tawanga menjadi sentra produksi madu hutan terus dilakukan melalui berbagai kegiatan, baik kepada petani madu dan kelompok, ataupun bagi infrastruktur pendukung di Desa Tawangan sendiri.

“Selama ini kita sudah memberi dukungan berupa pembukaan akses jalan dan listrik, sehingga kini Desa Tawangan bisa diakses lebih mudah. Kita juga akan memberikan pelatihan-pelatihan, pemasaran produk dan mungkin nanti membantu dalam hal pembangunan rumah produksi yang lebih kondusif.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,