,

Studi: Pertahankan Hidrologis Gambut di Semenanjung Kampar atau Wilayah ini akan Tenggelam

Sekitar 292 ribu hektar hutan tanaman industri (HTI) akasia yang telah berdiri di Semenanjung Kampar, Riau, dianggap tidak memenuhi syarat keberlanjutan. Demikian menurut laporan yang baru-baru ini dirilis oleh Wetlands International ketika mencermati wilayah yang merupakan salah satu kubah gambut terbesar di Asia Tenggara ini.

Salah satunya adalah karena pendekatan “business as usual” dalam praktik pengeringan gambut yang berpotensi “menenggelamkan” lahan. Lebih jauh, studi menunjukkan lahan yang telah dikeringkan menjadi tidak cocok lagi untuk pertanian, juga akan meningkatkan potensi banjir yang semakin luas dan tidak terkendali di masa datang.

Laporan ini disiapkan oleh Deltares, konsultan berbasis di Belanda, setelah menggabungkan antara citra LiDAR dan elevasi model untuk menyimpulkan lahan gambut yang ada di Semenanjung Kampar akan berada di bawah permukaan level banjir.

Selanjutnya, praktik pengeringan pun akan menyebabkan lahan gambut runtuh dan membusuk, melepaskan sejumlah besar karbon ke atmosfer, serta menjadi penyebab munculnya ancaman kebakaran tak terkendali seperti yang terjadi pada saat krisis kabut asap dan kebakaran yang lalu.

Asia Pacific Resources International Limited (APRIL), perusahaan pulp dan kertas terbesar kedua di Indonesia, amat memegang penting dalam mengontrol keseimbangan lahan HTI dalam wilayah konsesinya di Semenanjung Kampar.

Perusahaan ini memegang izin 220.061 hektar (70 persen saat ini telah dikeringkan) untuk perkebunan monokultur akasia. Pesaing utamanya, Asia Pulp and Paper juga telah mengembangkan sekitar 72 persen wilayah konsesi izin yang dimilikinya di wilayah ini yaitu sekitar 72.598 hektar.

Sebagai gambaran total lahan gambut di Sumatera bagian timur mencakup wilayah sekitar 700.000 hektar. Gambut di Semenanjung Kampar memiliki kedalaman minimum rata-rata 4,9 meter, bahkan lebih dari tujuh meter di beberapa daerah tertentu.

Pegembangan akasia HTI dan perkebunan sawit di Semenanjung Kampar, Riau. Image courtesy of Deltares
Area perkebunan eksisting  (mencakup skala kecil) dan konsesi yang belum digarap pada 2014. Image courtesy of Deltares

Gambut ini mengandung stok karbon bawah tanah dan permukaan di atas tanah yang besar. Survey keanekaragaman hayati yang dilakukan oleh Flora Fauna Indonesia (FFI) menemukan di wilayah ini terdapat 77 spesies yang masuk dalam daftar merah IUCN serta lima dari enam spesies kucing liar yang ada di Sumatera.

Menurut beberapa perkiraan, Semenanjung Kampar dapat mendukung habitat 60 harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), atau 15 persen dari populasi yang tersisa. Semenanjung Kampar pun sudah sejak lama dianggap sebagai wilayah hotspot keragaman hayati, wilayah prioritas bagi habitat harimau sumatera, dan area penting bagi keragaman burung, berdasarkan hasil penelitian WWF dan Conservation International.

Sampai menjelang akhir abad ke-20 wilayah ini relatif tidak tersentuh, baru di awal tahun 2000-an Kementerian Kehutanan mulai mengeluarkan izin konversi lahan untuk HTI. Pada 2014, 43,4% dari lahan gambut di Semenanjung Kampar sudah dikeringkan dan diubah menjadi perkebunan akasia, dengan tambahan 10,9% telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Akasia merupakan tanaman cepat tumbuh yang ditujukan untuk pemenuhan industri pulp, serat kayu dan kertas. Untuk dapat tumbuh di lahan gambut, rawa jenuh air alami harus dikeringkan. Akasia produktif ketika tingkat air dipertahankan 70-90 cm di bawah permukaan tanah yang dapat dicapai lewat pembangunan saluran drainase.

Harimau sumatera, spesies terancam punah di Sumatera, dimana Semenanjung Kampar merupakan salah satu habitatnya. Foto: Rhett A. Butler

Ketika rawa dikeringkan, bahan organik yang dikeringkan terkompresi dan terurai. Tanah yang dikonversi untuk tujuan pembukaan perkebunan, penambahan pupuk dan gangguan mekanis lainnya akan mengkatalisis dekomposisi, yang kemudian menjadi penyumbang utama penurunan tanah.

Dekomposisi pun menjadi agen pelepasan karbon ke atmosfer. Para peneliti menyebutkan bahwa Semenanjung Kampar mengandung 1,6 gigaton karbon, atau setara dengan membakar 13,6 milyar barel bensin. Kebakaran pada tahun 2015 yang lalu di Semenanjung Kampar pun terjadi pada saat lahan untuk perkebunan dikeringkan.

Selain emisi karbon, kubah-kubah gambut (peat dome) dapat tenggelam akibat perubahan hidrologi alami dari tanah pada saat pengeringan. Limpasan yang terjadi dari peristiwa hujan lebat menyebabkan potensi banjir yang berkepanjangan. Akibat dari permukaan air yang tinggi dari luapan sungai dan air laut menyebabkan banjir akan menggenangi perkebunan dan tanaman.

Menurut penelitian, pada tahun 2014 sekitar 31 persen dari perkebunan yang ada di Kampar sudah mengalami banjir. Dengan mempertahankan kedalaman drainase pada level 40-90 cm, para peneliti memprediksi bahwa 83 persen dari lahan akan mengalami banjir signifikan dalam 50 tahun dan 98 persennya menjadi tidak akan produktif dalam 100 tahun ke depan.

Untuk membantu mengurangi laju penurunan, perusahaan seperti APRIL mulai mengadopsi praktik manajemen baru, yaitu mempertahankan tingkat air di level 40 centimeter di bawah tanah pada musim basah. Standard 40 centimeter ini mengacu pada regulasi tentang perlindungan gambut yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Namun, penulis laporan memperkirakan mempertahankan tingkat air yang lebih tinggi hanya akan mengurangi tingkat penurunan sebesar 20 persen ke tingkat 3,5 centimeter per tahun.

“Peningkatan manajemen air dapat memperpanjang masa hidup pengelolaan produksi di wilayah ini, tetapi umumnya ini tidak lebih dari 25 tahun,” jelas para penulis.

“Implikasinya penurunan gambut di lahan gambut tropis yang digunakan untuk pertanian akan selalu cenderung besar, bahkan dalam kasus kadar air dekat dengan permukaan,” jelas para peneliti lebih lanjut.

Dalam sebuah surat yang dikirimkan kepada APRIL, terkait dengan laporan dari Deltares, Wetlands International menyerukan agar perusahaan ini menghapus setahap demi setahap praktik pengeringan yang dilakukan di Semenanjung Kampar. Pihaknya menuntut perusahaan memulai proses pemulihan kondisi hidrologi dari konsesi yang telah dikeringkan di lahan gambut, serta mulai mengidentifikasikan jenis tanaman alternatif yang tidak memerlukan drainase.

Referensi:

Deltares. Assessment of impacts of plantation drainage on the Kampar Peninsula peatland, Riau. November 2015.

Tulisan Asli:

Indonesia’s peat peninsula being drained into oblivion, study finds. Mongabay.com

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,